Partai Islam (Islam Politik) di Indonesia: Ilusi Panjang de-Ideologi
Oleh: Nur Fadlan[2]
"Al-Qur'an terutama adalah landasan agama, bukan sebuah kitab hukum. Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya di dalam Al-Qur'an, meskipun tentu saja Al-Qur'an menyediakan landasan bagi pencapaian keadilan dan kesejahteraan yang harus diakui oleh umat Islam. Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi cerah… rakyat di negara ini sendiri, lewat musyawarah dan lainnya dalam menyusun hukum-hukum negara itu."
[ Moh. Hatta ]
I. Prolog
Embriologi pemikiran politik dalam Islam sangatlah kaya. Dalam hal ini, Antony Black mengilustrasikan bahwa pemikiran politik Islam terbentang mulai dari masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Selain itu oleh Black juga memberi cetak biru bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.[3]
Heterogensi khazanah pemikiran politik dalam Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Meletupnya Revolusi Prancis, agama Kristen memparipurnakan pembahasan hubungan gereja dan negara, bahwa gereja harus terpisah dari negara. Sedangkan dalam tata hidup Islam, masih berkutat pada persoalan yang satu ini, sejak zaman konstruksi hingga sekarang.
Beberapa tesis akibat fenomena dia atas, sebagian pengkaji teori-teori politik menarik benang merah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis[4] agama. Sebagian lagi, lebih menyukai formulasi dari tesis yang dikembangkan Dr. Mahfudz. Konsep beliau melukiskan: hukum adalah produk politik, maka pergulatan antara hukum dan politik tidak dapat dihindarkan. Corak hukum yang diterapkan di masyarakat sangat diwarnai oleh aksi-aksi politis di parlemen. Hegemonial dan resesifial ideologi yang dipegang oleh suatu golongan dalam kursi parlemen akan mempengarui produk-produk hukum yang terlegalisasi.
II. Makna dan Sejarah Politik Islam
Politik dalam linguistika Arab dikenal sebagai rancangan huruf siyasah. Dalam tulisan literatur-literatur ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al-Muhith, siyasah berakar kata sâsa -yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha(mengurusinya, melatihnya dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al-amra artinya dabbarahu(mengurusi/mengatur perkara)
Dari definisi simantologi di atas, politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.[5] Dari definisi ini Politik Islam bisa diuraikan sebagai aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi,khittah perjuangan serta diskursus politik.
Terlepas dari definisi di atas, tentunya pembahasan politik dalam Islam berkaitan erat dengan sisi historis. Untuk memudahkannya, penulis menitik beratkan pada masa Islam itu tumbuh berkembang, masanubuwwah. Saat itu, nabi sudah memulai membentuk komunitas-komunitas dalam perjalanan hidupnya. Komunitas yang dibentuk nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir muslim, baik yang berparadigma reformis maupun fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir reformis lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai Masyarakat Madani, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut Negara Madinah. Setelah masa ini usai dengan penghujung wafatnya Nabi dan diteruskan oleh Khulafaurrasyidin. Masa ini mulai muncul gojolak-gejolak politik dan kepentingan hingga perpecahan dan beda pendapat mulai ke permukaan.
Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah (661-850 M), pemikiran politik Islam didominasi oleh perdebatan tentang sistem pemerintah atau lebih tepatnya hubungan khalifah dan negara. Kedua dinasti Islam ini cenderung menganut sistem pemerintah atau sistem politik yang tidak memisahkan agama dan negara. Bahkan agama yang direpresentasikan oleh khalifah cenderung mensubordinasi negara atau kehidupan politik di kedua dinasti.
Rekonsruksi yang dimulai pada tahun 850 M mulai membias dan menyebar. Dari bentuk agama dan negara sentris menjadi pemisahan agama dan negara, pemikiran dan praktek politik seperti ini menyebar pada dominasi dunia Islam. Kekuasaan dibagi antara sultan yang mengatur urusan militer serta menegakkan hukum serta ketertiban dan ulama yang mengatur urusan sosial serta keluarga. Di tahun 1000-1200 M, para pemikir muslim, seperti Al-Mawardi, Nizam al-Mulk, Al-Gazali, Ibn Rusyd, serta Al-Razi, menawarkan pemikiran politik jalan tengah atau pemikiran politik keseimbangan. Di masa-masa tersebut, sultan dan ulama saling bekerja sama dan saling melengkapi demi mencapai marcusuar kesuksesan.
Semacam fluktuatif pemikiran politik dalam Islam yang tercatat pada 1220-1500 M, bahwa ide penyatuan agama dan politik kembali mendominasi pemikiran para pemikir muslim. Ibn Taimiyah berdiri sebagai prototipe dalam mengamini memikiran penyatuan agama dan politik. Dalam hal ini, penelusuran dan pembuatan fase-fase untuk memudahkan dalam pengkajian, oleh Black menyebut masa ini, sebagai masa syariat dan pedang.[6]
Totalitas pemerintahan berdasarkan syariat berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan modern juga, yang meliputi Dinasti Utsmani, Dinasti Safawi dan Dinasti Mogul. Tentu saja Dinasti Utsmani, yang berpusat di Turki, menjadi dinasti paling terkemuka. Hingga akhirnya apresiasi Khilafah Islamiyah disematkan dalam dinasti tersebut. Namun, dinasti ini mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924. Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir reformis bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka lebih menitik beratkan pada paham pemisahan agama dan politik. Melihat bangkitnya Barat, para pemikir muslim menawarkan pemikiran modernisme dengan harapan mampu membawa umat Islam pada sistem yang lebih cerah. Fase ini oleh Black disebut sebagai abad modernisme.[7] Fenomena lain, tentang kemajuan Barat adalah memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam fundamentalis paling terkemuka saat itu adalah tokoh Ikhwanul Muslim, Al-Maududi serta Sayyid Qutb. Mereka menginginkan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Benang merah dari pemikiran mereka adalah menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik dalam kehidupan umat Islam di mana dan kapan saja.
Pada dasarnya kronologi pemikiran politik dalam Islam sejak masa nabi hingga masa kini nyaris tiada yang baru. Akan tetapi pemetaan-pemetaan pemikiran Islam secara runtut dan membentuk klasifikasinya sebagaimana yang dilakukan oleh Black, sangat membantu kita dalam memahami alur serta dinamika khazanah pemikiran politik dunia Islam. Sehingga kita bisa mengetahui bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.
Akan lebih menarik lagi jika pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik kita bawa ke nusantara. Bisa dimulai dari sejarah pertarungan Islam politik yang menginginkan dipositifkannya Hukum Islam,[8] dengan kelompok nasionalis-humanis[9] yang menentang ide tersebut, mulai prakemedekaan hingga kini, membuktikan betapa tajamnya perselisihan antara keduanya. Golongan Islam politik (partai Islam) beranggapan bahwa hanya dengan melembagakan Islamlah, hukum-hukum agama akan dijalankan oleh umatnya dengan baik. Sementara golongan nasionalis-humanis tidak dapat menerima ide tersebut dengan mendasarkan pada pluralitas budaya dan heterogenitas penduduk negara Indonesia.
Antara dua golongan ini terus menggelinding dalam bola panas. Islam politik merapikan gerakan nasionalis yang pada awalnya mengarahkan derap gerakannya menuju pembangunan konfrontasi ideologi dengan para pemimpin dan aktifis Islam politik. MASYUMI sebagai kendaraan dan gerbongnya, terutama dalam soal hubungan antara agama (Islam) dan negara Indonesia.
Fenomena memprihatinkan dialami oleh golongan yang berfikiran Islam politik. Hal ini tampak pada zaman orde baru, golongan Islam politik tampak masih dicurigai oleh pemerintah. Walaupun tokoh-tokoh Masyumi diperkenankan melakukan aktivitas politik, namun Soeharto tetap melarang bendera Masyumi dikibarkan lagi. Hingga akhirnya, lahirlah PARMUSI.[10] Kehadiran PARMUSI bukan tanpa rekaan. Ketika itu tokoh-tokoh Masyumi yang baru saja dibebaskan dari penjara dilarang memegang jabatan-jabatan penting di organisasi. Bisa dilihat pada waktu konggresnya yang pertama, tepatnya pada bulan Novembar 1968, Dr. Muh. Roem terpilih sebagai ketua umum partai ini. Tapi apa yang terjadi? terpilihnya Roem sebagai ketua ternyata tidak direstui oleh pemerintah Orde Baru. Begitulah secara singkat perjalanan pemahaman Islam politik (partai Islam). Tampak jelas bahwa kekalahan menimpa pada golongan Islam politik. Sampai pada akhirnya pemerintah Orde Baru memberlakukan asas tunggal bagi semua partai politik; suatu keputusan yang betul-betul menenggelamkan orientasi politik golongan Islam politik. Dari sini Orde Baru teridentifikasi sedang bergairah melakukan proyek sekularisasi politik, de-Islamisasi dan de-ideologi. Salah satunya bisa dilihat aksi kelompok Limited Group[11] di Yogyakarta. Mereka aktif menyuarakan sekulerisasi yang kemudian diikuti oleh pidato sekulerisasi Nurcholis Majid, 2 Januari 1970 di Menteng Raya 58, yang berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat".
Gambaran sekilas perjalanan golongan Islam politik di kancah perpolitikan nasional sangat jelas, bahwa golongan Islam politik, dalam perseteruannya selalu menemui kegagalan.[12] Padahal sebagaimana yang kita ketahui mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Dalam tatarannya ini patut kiranya kita mengajukan pertanyaan mengapa golongan Islam politik selalu menemui kegagalan? Lebih lanjut dapat diajukan pertanyaan lagi, berangkat dari tesis yang Dr. Mahfudz di atas, bersamaan dengan kekalahan politis golongan Islam politik (partai Islam), bagaimana keberadaan hukum Islam dan prospeknya di masa depan jika kita menganggap bahwa golongan ini merupakan representasi golongan yang memperjuangkan hukum Islam secara institusional?
Fenomena historis di atas penulis hendak mensintesakan dengan menarik teorinya Clifford Geertz. Bisa diperhatikan peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok yang berfikir tentang politik Islam, Islam politik dan nasionalis. Polarisasi tias tipologi pemikiran ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif mengikuti asumsi politik aliran.
III. Legitimasi Hukum Islam Politik Vis a Vis Paradigma Antroposentris
Kelompok yang memiliki pemikiran Islam politik senantiasa mengetengahkan dalil: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri di antara kalangan kalian” (An Nisaa: 59)[13]. Kelompok ini mengajak re-thingking dalam memahami ayat ini. kekawatiran mereka adalah ayat ini hanya dipahami secara global dan digunakan untuk mewajibkan masyarakat untuk taat kepada pemerintah Republik Indonesia. Menurut mereka peninjauan kembali atau meluruskan posisi ayat ini secara proporsional sangat diperlukan. Golongan ini menganjurkan untuk memahami siapa orang-orang yang beriman dalam ayat tersebut dan kaitannya dengan realita Pemerintahan Republik Indonesia. Kontek ayat"Hai orang-orang yang berima..." adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. "...taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri di antara kalangan kalian” ulil amri adalah pemimpin dari kalangan kalian, yaitu pemimpin muslim atau pemimpin yang mukmin, itu adalah pengertian sederhananya. Jadi, pemimpin yang harus ditaati adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi "Hai orang-orang yang beriman". Orang yang beriman atau orang muslim yang berdasarkan pada Al-Qur'an, Sunah dan Ijma adalah orang yang beriman kepada Allah dan kafir pada thaghut.
Sedangkan thaghut menurut golongan Islam politik dapat diidentifikasi sebagaimana kontek ayat berikut“Barang siapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah al wutsqa” (Al Baqarah: 256)[14]. Al ‘urwah al wutsqa adalah buhul tali yang amat kokoh, yaituLaa ilaaha illallaah, artinya barang siapa kafir kepada thaghut dan iman kepada Allah, maka dia itu orang yang mengamalkan Laa ilaaha illallaah, orang yang sudah masuk Islam, karena pintu masuk Islam adalah dengan perealisasian Laa ilaaha illallaah sebagaimana rukun Islam yang pertama. Orang tidak dikatakan beriman kecuali jika dia beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut. Jika orang beriman kepada Allah tapi dia tidak kafir kepada thaghut maka ia bukan orang yang beriman, ia bukan muslim. Hal ini menurut golongan Islam politik adalah berdasarkan nash Al-Qur’an. Maka dari itu Allah dalam ayat ini mendahulukan kafir kepada thaghut, supaya tidak ada yang mengklaim dirinya beriman kepada Allah padahal ia belum kafir kepada thaghut dalam tahapan praksis yang dia kerjakan.
Sedangkan golongan yang lebih menitik beratkan pada pendekatan antroposentris kurang begitu sependapat dengan penafsiran ayat yang hanya pada sisi teosentris. Golongan ini selalu melihat sisi sosial, antropo, epistem, heterogensi dan budaya. Oleh karenanya mereka memiliki asumsi terdapat kerancuan pemahaman terhadap terminologi hukum Islam yang ingin diperjuangkan secara politis. Hukum Islam dipandang sebagai sebuah barang yang harus berlabelkan Islam. Dan harus dipositifkan dan dengan berwajah brand hukum Islam, padahal aturan-aturan yang ada dalam Islam tak lebih dari norma-norma hukum yang menjadi standar nilai demi kesejahteraan, keadilan dan kemaslahatan masyarakat. Dengan demikian aturan-aturan yang digali dari Islam tidak mesti berwajahkan hukum Islam.[15] Substansi menempati peringkat tertinggi demi humanisme dari pada brand-brand fanatis yang mengakibatkan separatisme yang akan menyelimuti atmosfer Indonesia.
Kemudian golongan Islam politik (partai Islam) kurang melihat faktor sosiologis-politis. Padahal sosiologis-politis menjadi pertimbangan bijak dalam merumuskan apa yang mereka sebut dengan hukum Islam. Seharusnya formatur Islam politik memiliki paradigma ganda sebelum menggelontorkan pemikirannya. Isu-isu yang berbau keagamaan tidak dikemas ke dalam bahasa-bahasa politik yang lebih fleksibel. Bahkan lebih cenderung konfrontatif dengan mengatas namakan agama. Sehingga pada gilirannya golongan ini akan terjebak pada pilihan hidupnya (melegalisasi hukum Islam) sendiri yang terkesan kaku dan radikal. Tidak menutup kemungkinan generalisasi terhadap umat Islam pun lambat laun akan mengasumsikan Islam sebagai agama yang tidak ramah lingkungan.
Hal-hal tersebut di atas, yang akan dijadikan landasan dalam penelusuran lebih komprehenship. Jika secara terminologis Hukum Islam diletakkan dalam tataran norma hukum, dan secara sosiologis-politis ia dirumuskan sesuai dengan pemahaman pluralitas budaya dan heterogenitas penduduk, Insya Allah Hukum Islam akan menemukan formatnya yang lebih luwes dan tidak ditakuti oleh golongan-golongan non-muslim atau golongan nasionalis Indonesia.
IV. Aspek yang Melatar Belakangi Partai Islam dan Worldview Islam Humanis-Sosiologis
Partai adalah lokomotif untuk mencapai pada posisi legislasi, eksekutor dan yudikator negara Indonesi. Dari sini pemikiran Islam politik bercita-cita untuk memegang stik holder tertinggi dalam trias politika sistem negara Indonesia. Oleh karenanya mereka menggunakan kendaraan partai Islam untuk mencapai tujuan itu dan bercita-cita merekonstruksi konstitusional yang menurut anggapan mereka kurang tepat. Selain itu, mereka juga memiliki paradigma partai Islam untuk mencapai islamisasi global. Semua cita-cita itu, dalam paradigma Islam politik tidak terlalu berlebihan serta tidak bertentangan dengan sejarah perjalanan Rosullullah. Dalam perjalanan sejarah Rosulluh terbagi menjadi dua fase, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis.[16] Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio masyarakat Islam mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua pembangunan masyarakat Islam itu berhasil dibentuk pula. Dalam fase ini juga, kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral, siklikat dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu. Dalam hal ini, golongan Islam politik mengkaji aspek politik, menurut mereka Islam telah mengukir sejarah dalam rancang bangun politik. Sehingga selaku generasi yang hidup setelah semuanya terbentuk hendaknya umat Islam tidak perlu berinovasi, merekonstruksi atau mendekronstruksi formulasi tatanan politik yang telah dicontohkan shalafush shaleh terdahulu. Umat Islam hanya perlu re-aplikasi pada tatanan politik yang telah dicontohkan.
Sehingga prinsip-prinsip Islam politik sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Percontohan era saat itu, mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, pemikiran teoritis saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk teori-teori politik secara lengkap.
Oleh karenanya kelompok yang berfikiran Islam politik mendapat sejarah yang membenarkan formulasi pemikirannya. Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan pembaharu, dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar dakwah agama[17]: maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain. Hal ini lah yang membuat kelompok Islam politik semakin berapi-api untuk membumikan sistem shalafush shaleh terdahulu.
Demi penguatan data dan cita-cita mereka (Islam politik), yaitu membumikan ajaran agama Islam, termasuk dalam berpolitik, menurut sebagian golongan Islam politik tidak ada manfaatnya jika mereka mendatangkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena kelompok lain dianggap tidak mau mendengarkannya. Kelompok Islam politik juga tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena selain mereka dianggap dengan sengaja telah mencampakkannya. Oleh karena itu, golongan Islam politik hanya mengutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan orientalis yang golongan ini sebutkan telah mengutarakan hal itu (tentang Islam politik) dengan redaksi yang jelas dan tegas. Golongan Islam politik melakukannya supaya para pembaru-pembaru itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Dari sini dapat ditangkap, keinginan golongan Islam politik begitu gencar dalam memenangkan konsep re-aplikasi hukum terdahulu. Oleh karenanya, mereka mengetengahkan pendapat-pendapat para orientalis untuk menguatkan, kalau dulu Islam sempat memiliki sistem ala Islam, kenapa sekarang tidak!. Adapun pendapat yang mereka ambil dari orientalis sebagai berikut:
- Dr. V. Fitzgerald berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain".[18]
- Prof. C. A. Nallino berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".[19]
- Dr. Schacht berkata: "Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori konstitusi dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".[20]
- Prof. R. Strothmann berkata: "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau negarawan".[21]
- Prof D.B. Macdonald berkata: "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".[22]
- Sir. T. Arnold berkata: "Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".[23]
- Prof. Gibb berkata: "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".[24]
Tidak hanya berhenti di situ, golongan Islam politik juga mengetengahkan fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan, bangunan masyarakat politik ini atau negara, telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju tataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at al-Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Pada faktanya, kedua bai'at ini merupakan suatu titik transformasi dalam Islam.[25] Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan negara Islam. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang didiskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, kontrak sosial yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua muslim pada khususnya dan para pengkaji agama dunia pada umumnya. Dalam hal ini, bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia. Abstaksi inilah yang menjadi salah satu pijakan utama golongan Islam politik untuk terus menyuarakan legalisasi hukum Islam di Indonesia.
Framework golongan Islam politik menganggap negara Islam lahir dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Maka dari itu, golongan Islam politik sangat menyesalkan jika ada seseorang yang mengingkarinya, apalagi jika itu adalah golongan yang masih mengaku muslim. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Padahal tidak ada alasan untuk mengingkari sejarah itu. Dari fakta-fakta ini, bukti sejarah yang menurut golongan Islam politik dapat digunakan sebagai data autentik, atas politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah mereka gunakan tadi, yaitu sistem Islam adalah sistem politik.
Berbeda dengan paradigma kelompok yang berfikir tentang politik Islam. Mereka lebih menekankan pada nilai-nilai Islam, menurut mereka Islam bukan merek melainkan substansi yang harus ada dalam setiap lini kehidupan. Islam adalah cahaya kebenaran sehingga semua sistemnya selalu koheren dengan kehidupan manusia. Kelompok ini menganggap fondasi ideologi yang memilih jalan Islam politik mengalami kerancuan terminologis. Ketika kita mengatakan hukum Islam, ada pertanyaan yang sangat mendasar untuk diselesaikan. Apakah hukum Islam tersebut dimengerti sebagai sebuah rule yang memiliki bangunan sistem hukum secara independen dan utuh atau ia berada pada tataran norma hukum yang untuk itu keberadaannya adalah sebagai ground fundamental norm of law.[26] Dengan demikian Hukum Islam merupakan sumber dari segala sumber hukum yang mampu berintegrasi secara luwes dengan hukum-hukum lokal asalkan sejiwa meski tanpa berkulitkan hukum Islam.
Kalau kita flash back pada apa yang terjadi saat Rasulullah datang dengan hukumnya. Pada saat itu, orang di dataran Arab telah mengadopsi berbagai macam adat. Praktek adat ini dalam banyak hal telah mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat. Walaupun hukum adat tidak dilengkapi oleh sanksi dan otoritas waktu,[27] perannya yang penting di dalam masyarakat tidak diragukan lagi.[28] Kalau pun Rasullullah humanis dalam melihat hukum kenapa kita sekarang harus islamisasi brand.
Berikutnya, dari kaca mata sosiologis. Hukum Islam tidak dilihat sebagai suatu penemuan yang begitu saja, tumbuh entah dari mana asalnya dalam dinamika masyarakat, namun ia betul-betul diproduk dan digali dari tengah-tengah komunitas. Hubungan antara gejala sosial dengan proses sosial adalah hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Di mana proses sosial diartikan sebagai cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorang dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada,[29] dan di sinilah proses pembentukan hukum itu terjadi. Oleh karenanya, sisi ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Dan hendaknya menjadi salah satu logika pijakan dalam melihat hukum dan praksisnya.
Maka tidak bisa dipungkiri bahwa, hukum sebagai hasil proses kebudayaan merupakan suatu refleksi dari cara berfikir, pandanan hidup dan karakter suatu bangsa. Ia adalah merupakan cerminan dari pola pikir dan kondisi mental suatu masyarakat. Apabila hal ini yang terjadi, proses ditaatinya suatu hukum akan datang dari masyarakat itu sendiri karena memang ia berasal dari masyarakat. Patut kita simak apa yang dilakukan Nurcholis Majid dengan konsep Sekulerisasi[30] atau Desakralisasi. Abdurrahman Wahid denganPribumisasi Islam,[31] dan Munawar Sadzali dengan Reaktualisasi Hukum islam. Di mana konsep-konsep itu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan sosial budaya, tanpa harus kehilangan ide dasarnya. Sehingga pemikiran Islam politik jika dibenturkan dengan pola pendekatan ini, akan terpental jauh dan meronta-ronta dalam tataran sosialisasi dan aplikasi.
Selain aspek sosiologis, juga ada aspek politis untuk menyuarakan koherensi hukum Islam dengan hukum Politik Indonesia. Ada studi kasus menarik dalam hal ini, yaitu ketika rezim Orde Baru bubar di panggung politik nasional terjadi polarisasi ideologi dari partai-partai yang muncul. Secara umum dalam partai politik dapat dipetakan antara golongan Islam politik, yang mengidentifikasikan dirinya dengan partai Islam dan golongan nasionalis (kebangsaan). Di luar partai politik juga terdapat gerakan-gerakan kultural yang mengusung wacana Negara Islam dan pelembagaan Hukum Islam sebagai pijakan gerakannya. Polarisasi tersebut mengingatkan kita juga pada konstelasi politik di zaman Orde Lama. Hal ini menarik untuk dicermati, kalau tidak malah menghawatirkan. Bukan saja oleh karena kekhawatiran kambuhnya lagi peristiwa traumatis pada diri umat Islam di era itu.[32] Namun juga telah terjadi pengkerdilan peran agama yang mestinya universal dan inklusif. Fungsi agama yang mestinya menjadi sumber teologis-etis bagi setiap aspek kehidupan telah dilokalisir untuk melegalisasikan langkah-langkah politis sebuah golongan. Ini adalah kesalahan besar.
Dari sini, akan semakin meruncing pada sebuah konklusi yang mana Islam Politik atau partai Islam memiliki tiga kelemahan vital. Pertama, Islam politik tampak sangat kaku dan frontal ketika ia mengibarkan Islam sebagai asas partai. Kedua, Islam politik yang ditampilkan ini tampak mengalami cukup kesulitan kalau bukan kegagalan dalam mensintesakan landasan teologis atau filosofis mereka dengan realita sosio-kultural dan politik yang ada.[33] Ketiga, sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh aktor-aktor politik golongan ini mengesankan kurang dewasa dan kurang realistis.[34]
V. Masa Depan Partai Islam
Pada era reformasi dewasa ini terdapat multi partai. Ada yang mengindikasikan partai dengan pemahaman Islam politik ada juga yang mengindikasikan dengan partai yang memakai paradigma politik Islam. Penulis belum berani untuk mengklasifikasi partai-partai yang ada di saat ini dengan dua identifikasi, yaitu partai Islam (Islam politik) dan partai nasionalis (tetap memasukkan nilai-nilai agama dalam aspirasi publik). Adapun partai yang berbau keagamaan dan sempat penulis invetarisir adalah: Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya. Tentunya, partai-partai itu memiliki visi dan misi membangun hukum yang komprehenship, mungkin perbedaannya pada paradigma Islam politik dan politik menurut Islam. Dekade akhir ini, munculnya partai-partai yang dilatar belakangai orang-orang Islam yang berada di atas angka 50-an (meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu) telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah repolitisasi Islam, sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik. Dari sini penulis memberi cetak biru bahwa Islam memiliki muatan hukum yang komprehensif dan tidak terkesan sebagai agama politik. Sehingga pemikiran Islam politik bisa penulis katakan kurang tepat. Pendekatan pemahaman yang lain, mungkin ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia. Dibandingkan dengana agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam yang omnipresence. Ini merupakan suatu pandangan bahwa di mana-mana kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi tindakan-tingkah laku manusia dan tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu. Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu totalitas. Apa saja ada dalam Islam, Islam sebagai sumber hukum yang komprehenship, siklikat dan tidak parsial. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sehingga jargon "innal Islam dinun wa dawlah" penulis rasa kurang tepat. Dan masa depan Islam politik di Indonesia penulis kira kurang bisa berkembang dan hanya bisa bermimpi untuk de-ideologi atau re-edeologi. Penulis memiliki opini bahwa sistem dalam konstitusi bangsa Indonesia sudah pada standar aplikasi hukum Islam, tidak perlu membuat formulasi legalitas atas nama Islam. VI. Epilog Ketika kita mengangkat istilah hukum Islam, maka ada dua hal yang akan segera muncul. Pertama, ia adalah hukum yang memuat nilai-nilai Ilahiyah. Kedua, ia adalah sebuah fenomena hukum layaknya hukum-hukum lain yang diwarnai oleh sosio-kultur masyarakat setempat. Kedua hal ini akan mengantarkan pada suatu sikap yaitu sejauh mana kita mampu menerapkan hukum tersebut sesuai dengan kemauan Ilahi. Sementara pada satu sisi kita mesti merumuskan sebuah tata hukum yang digali dari sosio-kultur masyarakat sebagai standar perumusannya. Tentunya cita-cita hukum seperti ini harus dirumuskan dan diaplikasikan menjadi fakta hukum yang komprehensif. Dalam merumuskan rancang bangun konsep Islam politik (partai Islam) hendaknya kita melihat aspek di sekitar kita secara komprehensif. Setidaknya aspek terminologis, sosiologis dan politis ada dalam pertimbangan penyusunan konsep. Paling tidak tiga asek ini dapat dijadikan stimulan mendasar yang cukup untuk dijadikanframe menuju langkah yang lebih jauh dan toleran. Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan tiga aspek itu serta paradigma antroposentris hukum Islam dalam faktanya lebih egaliter dan mengakomodasikan seluruh kepentingan setiap elemen masyarakat khususnya di Indonesia. [] |
[2] Masuk anggota IKAMARU tahun 2007, mahasiswa Universitas Al-Azhar Fakultas Syari'ah wal Qonun (bulan Oktober 2009), peminat kajian sastra, pemikiran dan politik Middle East, [membuka asmara pada kosmologi dan akan menutupnya setelah menuai hujan cinta, bulan (dinda "diksi khusus untuk dirinya") tetap temani daku dalam liku dan pilu], nenek moyang saya (Majapahit) pernah menghina Kerajaan Mongol dengan memotong telinga utusan terpilih dari sebrang, padahal merekalah yang meruntuhkan Dinasti Ustmaniyah di Turki, saya tidak takut dengan bangsa manapun meski saya lahir dengan jubah Indonesia, keberanian itu sudah dicontohkan oleh Gadjah Mada. I love Indonesia, let's Oksidentalism...
[3] Antony Black, The History of Islamic Political Thought: from the Prophet to the Present, diterjemahkan oleh: Abdullah Ali dan Mariana Arietyawati, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, Serambi, Jakarta, 2006, cetakan pertama, hal. 19.
[4] Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings". Dengan buku ini ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar. Dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", sebagai berikut: "Ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang secara berturut-turut terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka", hal. 2.
[5] Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Cetakan pertama, hal. 15.
[6] Antony Black, The History of Islamic Political Thought: from the Prophet to the Present, dialih bahasakan oleh: Abdullah Ali dan Mariana Arietyawati, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, Serambi, Jakarta, 2006, cetakan pertama, hal. 58.
[7] Ibid, hal. 87.
[8] Hukum Islam tersebut penulis batasi dengan dengan hukum Islam muamalah yang dipisahkan dengan ibadah. Dengan asumsi bahwa hukum Islam Muamalah intervensi ide manusia dapat mesuk.
[9] Bahasa sederhananya adalah: mereka lebih menyukai pemikiran politik menurut Islam yang humanis dan toleransi bukan yang radikalis serta anarkis. Islam tidak perlu melembagakan hukum Islam karena Islam bukan brand (merek), yang lebih substansial adalah nilai-nilai Islam dalam tahapan praksis.
[10] Kelahiran PARMUSI menjadi urgen ketika dilihat bahwa pemerintah Orde Baru saat itu cukup khawatir akan ketiadaan mekanisme politik untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan konstituen politik yang membahayakan. (lihat: Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998, hal. 133).
[11] Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh "The Seculer City" nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawan Rahardjo, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. (Lihat: Karel Steenbrink, Patterns of Muslim-Christian dialog in Indonesia, 1965-1998, dalam Jacques Waardenburg,Muslim-Christian Perception of Dialogue Today, Leuven, Peeters, 2000, hal. 85.
[12] Sadar akan kegagalan demi kegagalan yang dipertontonkan oleh tokoh-tokoh politik Islam, di awal tahun 70-an generasi muda Islam mengubur orientasi politiknya dari Islam Politik menuju Islam Kultural (terlepas dari tingkat keberhasilan dari gerakan ini). Nurcholis Majid mengambil "Desakralisasi Islam" atau Sekulerisasi Islam dengan jargonya,"Islam yes, Partai Islam no". Kemudian Abdurrahman Wahid dengan gerakan "Pribumisasi Islam" dan lain-lain.
[13] Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Su'ud, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Medinah Munawwarah, 1990, hal. 128.
[14] Ibid, hal. 63.
[15] Setidaknya kesimpulan penulis didapatkan pada jawaban Moh. Hatta terhadap kelompok agama yang menghendaki bentuk negara adalah negara Islam yang pada gilirannya memberlakukan hukum Islam secara kelembagaan. Jawaban tersebut antara lain berbunyi: "Al-Qur'an terutama adalah landasan agama, bukan sebuah kitab hukum. Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya di dalam Al-Qur'an, meskipun tentu saja Al-Qur'an menyediakan landasan bagi pencapaian keadilan dan kesejahteraan yang harus diakui oleh umat Islam. Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi cerah… rakyat di negara ini sendiri, lewat musyawarah dan lainnya yang menyusun hukum-hukum negara itu." (lihat, Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institusions, Berkely, Los Angeles, London: University of California Press, 1972, hal. 40.
[16] Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah itu (periode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam. Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", hal. 27. In the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi fisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap (seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu) bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah hanyalah berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
[17] Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, yang berjudul: Al-Islam wa Ushul al-Hukm.
[18] Dalam: "Muhammedan Law", cetakan pertama, hal. 1.
[19] Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, hal. 198.
[20] Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, hal. 333.
[21] The Encyclopedia of Islam, vol. IV, hal. 350.
[22] Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, hal. 67.
[23] Dalam: The Caliphate, Oxford, 1924, hal. 30.
[24] Dalam: Muhammedanism, 1949, hal. 3.
[25] Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini penulis sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al-Maktabah at-Tijariah al-Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al-Umam al-Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. penulis cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu (disamping point-point yang disepakati sebelumnya) adalah untuk saling bantu-membantu dalam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.
[26] Istilah tersebut penulis pakai untuk mengartikan bahwa Islam hadir dengan seluruh rambu-rambu aturannya demi keadilan, kesejahteraan dan ketentraman masyarakat secara menyeluruh. Dan rambu-rambu tersebut bersifat global tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Sehingga ia harus dibahasakan sesuai dengan pluralitas masyarakat tertentu. Disinilah kesempatan hukum Islam.
[27] Ducon, B. MacDonald, Development of Muslim Theology Jurisprudence and Constitutional Theory, Darf Publisher Limited, London, 1985, hal. 68.
[28] Mahmasani, Falsafah al-Tasyri' fi al-Islam, Dar al-Kasysyaf li an-Nasyr wa al-Tiba'ah wa al-Tauzi, Beirut, 1952, hal. 181-182.
[29] O.K. Chairudin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 87.
[30] Paham Sekulerisasi ini setidaknya ditemukan dalam empat artikel Nurcholis Majid, seluruhnya dikumpulkan dalam karyanya: Islam ke-Modernan dan ke-Indonesiaan, Mizan, Bandung, 1987, hal. 215-256. Di mana istilah tersebut sebagai upayanya untuk mengingatkan universalisme Islam dengan kenyataan-kenyataan Indonesia dewasa ini.
[31] Pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau Sikretisme, sebab Pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia) di dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah (substansi) hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma-norma (keagamaan) demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash. Dikutip: Bachtiar Effendy, Dalam Islam dan Negara, hal. 149. Dari Abdurrahman Wahid, Salah Jika Dipribumikan?, Tempo, 16 Juli, 1991, hal. 19.
[32] Pada zaman Orde Lama, golongan Islam sering kali dicap sebagai pemberontak negara. Untuk menyebutkan beberapa contoh bisa dilihat pada DI/TII, PERMESTA, PRRI, dan lain-lain. Sehingga Kuntowijoyo sampai pada kekhawatiran dengan apa yang disebut mitos pembangkangan Islam terhadap negara dan birokrasi. (Lihat: Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Intepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991, hal. 133-137.
[33] Bachtiar Effendy, Dalam Islam dan Negara, hal. 128.
[34] Contoh fenomena semacam ini ditunjukkan ketika pemerintah Orde Baru berusaha menata kembali format politik Indonesia. Beberapa pemimpin Indonesia generasi lama bersikap reaktif. Suatu sikap yang oleh para pengamat dipandang kurang dewasa.
0 komentar:
Posting Komentar