Schizophrenia
Nur Fadlan
Musim dingin tiba dengan penuh nanah hati. Hatiku tak tahankan diri hingga bernanah. Sakit. Dan sangat sakit. Yang bisa aku lakukan saat ini hanya memandangi kenangan-kenangan itu. Kenangan di mana bersama pujaan hati. Calon belahan jiwa yang aku kagumi. Sunggu aku tidak bisa membayangkannya, kenapa kejadian seperti itu benar-benar terjadi. Aku sungguh sakit dan do'aku mudah-mudahan dia tetap baik-baik saja di sana.
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah Sungai Nil. Lembah Musa dan Fir'aun. Seolah-olah mengetahui rasa sakit ini dan berusaha menghibur hati. Air Nil pun tidak kalah, tetap tenang dan tidak berisik. Seakan-akan mengetahui aku sedang membutuhkan kesunyian dan ketenangan hati. Semuanya seakan melihatku penuh dengan keibaan. Iba karena aku kehilangan rasa cinta dan dicinta.
Jembatan 6 Oktober yang aku pijak ini, menjadi saksi bisu di mana cinta kasih, kami bangun bersama. Aku benar-benar sangat mencintaimu. Membangun bangunan cinta lebih megah dari pada Menara Kairo. Semuanya mengingatkanku pada sosok yang aku cintai. Kalau pun ada orang yang menghabiskan waktunya untuk menata ekonomi dan keuangannya, ada pula yang menghabiskan waktunya untuk belajar demi mencapai sebuah asa. Tapi aku hanya ingin menghabiskan waktuku di sisimu sayangku. Ada orang yang mati karena kecelakaan, ada pula yang mati karena bencana. Tapi aku hanya ingin mati di pangkuanmu cintaku. Aku membutuhkanmu seperti aku membutuhkan air dan udara. Kamu seperti darahku, senantiasa mengalir dalam tubuh untuk menghangatkan jiwa. Kamu di mana manisku? Aku hanya ingin memberikan satu rasa cinta pada manusia, hanya padamu sayangku.
Tampak bayangan fatamorgana kekasihku dari jarak 200 meter. Aku hanya mampu menatapnya. Banyangan itu semakin lama semakin jauh dan jauh hingga tersapu oleh dingin Kairo. Apakah dia sudah benar-benar tidak sudi menemuiku lagi? Kalaupun iya aku akan tetap menunggunya dari fajar pagi hingga matinya mentari.
Bersamaan dengan sapuan angin dingin terasa ada sentuhan tangan di bahuku dan aku rasa sentuhan itu adalah dari kekasihku.
"I miss you, Sayangku" ucapnya.
Aku hanya tersipu malu dan bahagia. Laksana mendapat sesuatu yang begitu berharga. Lebih berharga dari predikat guru besar.
"Aku sudah ke rumahmu dan membicarakan tentang pernikahan kita, semuanya sudah setuju" tambahnya.
Aku bahagia dan aku memeluknya dengan erat. Keluarga yang selama ini tidak menyetujui hubungan kami akhirnya Allah mengabulkan do'a beserta iringan tangisku. Akan tetapi orang di sekelilingku menatapku aneh dan bilang, "Majnun".
Kairo, 29 Desember 2009.
"Ketika Membayangkanmu. Ketika larut dalam cinta. Ketika semuanya menjadi fatamorgana."
0 komentar:
Posting Komentar