Menata Ulang Spiritualitas
Nur Fadlan
Pemerintah Indonesia mencanangkan wajib belajar 6 tahun sejak 1989. Ini bisa kita interpretasikan, betapa pembelajaran adalah begitu penting bagi kita semua khususnya dan manusia pada umumnya. Yang lebih menarik, para pandahulu kita juga pernah mengisaratkan kepada kita tentang urgensi pembelajaran karena hal tersebut akan meningkatkan mutu sumber daya manusia.
Bisa dilihat pada karya al-Janujî dengan karyanya yang sangat monumental yaitu Ta'lim Muta'alim. Kitab ini adalah bentuk konsep sang pembelajar untuk menjadi profil yang berhasil. Dalam sejarahnya kitab ini dikarang oleh beliau sekitar 600 tahun yang lalu sehingga bisa kita simpulkan bahwa bentuk pembelajaran sebenarnya sudah dirilis sejak dulu.
Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, manusia terus melakukan perbaikan guna menjawab semua tantangan dan penuh harapan menjadi manusia yang multi sukses. Di dunia barat sudah menemukan konsep-konsep dalam memahami elemen-elemen dalam diri manusia. di antaranya mereka sudah mampu menyelaraskan antara kerja IQ (Intelligency Quotient) dan EQ (Emotional Quotient).
Sehingga mereka tidak menganggap lagi IQ sebagai faktor utama dalam mendukung sebuah kesukesesan. Pasca mengenal IQ ternyata ada faktor lain yang ikut serta dalam mempengaruai proses kesuksesan seseorang. Tapi ada beberapa ganjalan yang sangat luar biasa ketika mereka sudah pada puncak kesuksesannya.
Kita melihat ke Jepang, apa fonomena tragis yang terjadi di sana. Masyarakat Jepang sangat aktif dalam mengejar sebuah karir sehingga kebanyakan dari mereka adalah figur-figur yang sukses, tapi apa yang terjadi ketika mereka sedang dalam sebuah maasalah atau rintangan, mereka kebanyakan menyambil jalan pintas atau bisa dikatakan sebagai bunuh diri untuk melampiaskan kegalalan dan keluar dari mesalah. Mereka menganggap bunuh diri adalah solusi terampuh untuk menghapuskan semuanya.
Di samping fenomena di atas, orang yang sudah berada pada puncak kesuksesannya mereka kebingungan perihal apa yang mau dilakukan lagi setelah memperoleh kesukessannya yang begitu gemilang. Tidak sedikit dari mereka kebingungan dan pada akhirnya, mereka mengambil jalan pintas juga yaitu bunuh diri akibat mereka tidak mengetahui untuk mengapa mereka hidup? dan untuk apa mereka diciptakan?
Fenomena seperti di atas tidak hanya terjadi di Negara Jepang tapi juga terjadi di negara-negara maju di dataran Eropa dan Amerika. Demografi dunia terakhir mencatat bahwa penduduk Negara Jerman adalah penduduk terbanyak kedua yang melakukan aksi bunuh diri karena merasa kebingungan untuk memahami filosofi dari kehidupan itu sendiri.
Sehingga dalam hal ini, penulis sedikit menarik benang merah bahwa mereka semua dalam hal ini adalah mayoritas penduduk Jepang atau negara serupa mengalami krisis spiritualitas. Dalam Islam sebenarnya telah memberikan pengajaran tentang spiritualitas yang begitu luar biaasa. Dalam kitab suci al-Qur'an Allah SWT telah menyebutkan bahwa Dia menciptakan kita semua dan jin hanya untuk beribadah.
Ayat di atas semacam menjadi worldview dalam hidup kita sehingga dalam hati kecil kita tercokol pesan exsplisit ayat ini yang begitu kuat. Dengan demikian kita akan selalu bersemangat dalam menghadapi segala macam cobaan. Dengan bangun rancang agama tentunya ketika kita menghadapi masalah dalam kehidupan ini kita tidak langsung putus asa karena pada dasarnya apa yang sedang kita alami semuanya adalah dari Sang Pencipta, sehingga kita tidak perlu mengeluh dalam menghadapinya.
Demikian halnya ketika kita berada pada puncak kesuksesan. Kita akan senantiasa mengingat dan mensyukuri ni'matnya. Berbeda dengan mereka yang tidak memiliki worldview agama yang baik akan kebingungan dan mengambil jalan pintas untuk menutup berbagai persoalan yang sedang melanda dirinya.
Ratusan tahun yang lalu para Salafus Saleh telah memberikan suri tauladan kepada kita perihal keseimbangan antara IQ, EQ dan SQ (Spiritual Quotient). Bisa kita lihat pada pribadi Ustman bin Affan, Umar bin Abdul Aziz, Abu Hanifa dan lain sebagainya. Mereka berhasil meraih sukses yang begitu monumental akibat keseimbangannya dalam menata spiritualitas mereka.
Dalam sebuah riwayat, Abu Huraira masuk Islam pada usianya yang ke-40 tahun. Hal tersebut tidak membuatnya sempit dan merasa terlambat. Apa yang terjadi? Beliau dibuktikan oleh kenyataan sebagai penghafal Hadist terbanyak dari golongan Sahabat Nabi SAW. Sukses ini pada dasarnya adalah bentuk keseimbangan beliau dalam menata IQ, EQ dan SQ. Penataan yang baik akan menelurkan sebuah prestasi yang sangat luar biasa. Tidak hanya dilihat pada Abu Huraira, kita juga bisa melihat pada Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain sebagainya yang tercatat sebagai periwatat Hadist terbanyak dalam perjalanan sejarah dunia Islam.
Yang lebih menarik lagi, satu figur dari Jepang yang berhasi mengelaborasikan antara IQ, EQ dan SQ hingga menjadi publik figur, Soichiro Honda. Beliau adalah pemprakaska perusahaan Honda yang tercatat sebagai perusahaan yang mampu menghempaskan sayapnya di dunia, termasuk di Indonesia.
Awalnya penulis berfikir kalau sosok ini adalah sosok yang begitu kaya dan hidup dalam dunia yang penuh dengan nuansa glamor. Tetapi premis itu salah! Beliau telah memahami makna filosofi sehingga senantiasa hidup dalam keadaan sederhana dan menikmati kesederhanaannya.
Tidak hanya beliau, orang terkaya sedunia, Bill Gates ternyata juga memahami makna filosofi kehidupan dengan begitu baik. Bayangkan! ternyata beliau menyumbangkan kekeyaannya 40 % secara periodik kepada kemanuisiaan. Sangat luar biasa ketika manusia mampu memahami makna dari spiritualitas itu sendiri. Tapi yang jelas tidak ada kata terlambat sebelum nyawa masih diizinkan Allah bersemayam di tubuh kita. []
0 komentar:
Posting Komentar