Kisahku Menuju Negeri Kinanah
Nur Fadlan
I. Menunggu Pelatihan dari Depag
Bulan April 2007 menjadi sejarah terpenting dalam hidupku. Aku terus menelpon kantor Depag (Departemen Agama) dengan pertanyaan yang sama; Pak..kapan ada pelatihan? Pertanyaan ini sering saya ulang-ulang untuk memastikan kapan tanggal pelatihan calom mahasiswa baru di Mesir.
Aku dapat info dari kakak kelasku, bahwa sebelum berangkat ke Mesir biasanya calon mahasiswa baru yang memperoleh beasiswa dari Depag memperoleh fasilitas pelatihan gratis. Pelatihan ini bertujuan untuk pembekalan kepada mahasiswa supaya tidak canggung ketika berhadapan dengan keadaan Mesir. Seperti yang kita tahu Mesir mempunyai budaya dan bahasa yang berbeda dengan negara kita.
Di samping itu, kampus al-Azhar memiliki metode tersendiri untuk memcerdaskan anak didiknya. Metode ini belum bisa kita samakan dengan metode pendidikan yang ada di Indonesia. Apalagi ketika perbincanganku dengan kakak kelas tentang kampus al-Azhar semakin mengkrucut, mereka hampir semuanya sepakat kalau al-Azhar adalah sistem pendidikan yang tidak bisa kita anggap remeh.
Hal seperti ini mereka buktikan dengan; ada salah satu mahasiswa Indonesia yang menghabiskan waktu melebihi empat tahun hanya untuk menyelesaikan S1. pada awalnya aku sangat takut. Tapi berkat dorongan orang tua dan beberapa guru membuatku melangkah untuk mengikuti tes beasiswa al-Azhar. Akhirnya aku masuk sebagai calon mahsiswa al-Azhar.
Aku terus menunggu pelatihan itu, dengan harapan supaya aku cepat memperoleh bekal tentang ke-Azhar-an dan ke-Mesir-an. Jujur saja kakak kelas saya membuat nyaliku mengecil karena dia pernah menceritakan bagaimana perjuangan di hari-hari ujian. Setiap kali ujian setiap mahasiswa dihadapkan pada najah[1] atau tidak.
"Kamu kalau nilainya dibawah standar, tiga madah[2] saja tidak akan bisa naik kelas..!" ucapnya dalam salah satu percakapan kami.
Perkataan ini menjadi cetak biru sehingga aku terus menunggu masa-masa pelatihan dari Depag. Aku sangat penasaran dengan gambaran tentang Mesir dan al-Azhar. Hingga tidak jarang pada malam hari aku terus meminta pada Allah SWT untuk membuka kesempatan kepadaku untuk belajar di Universitas al-Azhar. Aku menunggu sudah satu tahun, lebih satu minggu tapi aku tetap tawakal pada Allah. Keyakinanku akan semuanya sudah digariskan Illahi Robbi yang membuaatku bisa terus bertahan.
Dalam desaku tidak seorangpun yang tahu kalau aku lulus tes untuk belajar di Mesir. Aku, orang tua dan saudaraku tidak pernah menceritakan tentang itu karena kami belum tahu kepastiannya. Paling-paling teman seangkatan sekolahku yang sering menanyakan; kenapa kamu tidak sekolah? Biasanya aku hanya menjawab dengan senyum dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
Teman-teman seangkatanku, baik yang dari SD (Sekolah Dasar), MTs (Madrasah Tsanawiyah) ataupun MA (Madrasah Aliyah) sering menanyakan hal tersebut. Mereka tahu kalau aku adalah termasuk anak yang pintar dan teladan sekolah sehingga mereka sering menanyakan perihal kuliah. Mereka juga tahu kalau aku termasuk anak orang yang lumayan berkecukupan kenapa tidak kuliah? Mereka melihat kakak-kakakku, semua kuliah. mungkin merasa aneh melihat tingkahku di rumah tanpa mempunyai aktifitas apa-apa selama satu tahun lebih.
Sebenarnya aku sangat sedih. Aku sudah ingin menimba ilmu seperti temen-temenku. Tapi orang tuaku senantiasa menguatkanku dengan sering mengajak ngobrol santai di kebun belakang rumah. Ayah saya sering memberi contoh perjalanan seorang penuntut ilmu sejati dan tantangannya.
Di belakang rumah saya ada kebun beraneka tumbuhan angiospermai[3] yang tumbuh menjulang menambah keindahan suasana sore. Biasanya ibu membuatkan susu manis untuk kita bertiga. Beliau biasanya ikut mendengarkan cerita-cerita ayah tentang orang-orang terdahulu.
"Kamu sabar saja... nanti kalau sudah waktunya pasti ada panggilan." Ucap ibuku. Lagi-lagi ucaapan seperti ini yang membuatku menjadi semakin kuat untuk menunggu panggilan pelatihan yang sangat melelahkan.
Aku menunggu dan menunggu hingga akhirnya keputusasaanpun menyelimutiku. Aku terombang-ambing. Aku bingung, masalah ini belum pernah menghampiriku. Merupakan suatu kebiasaan, aku kesusahan tidur karena memikirkan masalah ini, aku sering termenung di depan jendela memikirkan masalahku yang akan turut serta dalam mempengarui masa depanku mendatang.
Meski demikian aku tetap percaya kalau Allah pasti akan mengakabulkan do'a-do'aku. Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Hanya inilah sebuah ungkapan yang membuatku semakin kuat.
Aku terus menunggu meskipun sebenarnya aku sangat lelah. Secara pribadi aku sangat sedih. Tapi apa gunanya itu semua, aku pasrahkan diri, aku yakin ini semua adalah ujian dari Allah SWT.
Seiring dengan perjalanan waktu, semangatkupun senantiasa terkikis tapi hati kecilku tetap yakian kalau aku akan berangkat ke Mesir. Aku percaya itu, satu tahun lebih satu bulan aku tes dan dinyatakan masuk dalam seleksi jadi rasanya tidak ungkin jika tes yang sudah saya lakukan itu berbuah hanya sia-sia.
Aku senantiasa mengingat firman Allah yang berbunyi; waidzabluwakum ayyukum ahasanu amala. Ayat ini seakan memberi kekuatan yang sangat kuat dalam mempertahankan kepercayaanku akan keberangkatanku ke Mesir.
Waktu demi waktu terus berjalan, hingga pada akhirnya aku sampai pada sepertiga akhir dari bulan April. Tepatnya tanggal 21 handphonku berdering tanda ada panggilan masuk. Aku menghampirinya dengan sangat ragu, aku baca no pemanggil yag masuk. Kantor Departemen Agama..., lirihku. Aku percaya tidak percaya. Akhirnya aku beranikan diri untulk mengangkatnya.
2. Pelatihan di Klender Jakarta Timur
Hatiku berbunga-bunga luar biasa karena panggilan dari Depag untuk mengikuti pelatihan kunjung datang juga meskipun harus menunggu selama satu tahunan. Syukurku terhadap Allah SWT. Terima kasihku kepada orang tua yang terus membuatku semakin kuat. Rasanya aku belum bisa mengungkapkan rasa gembiraku untuk mengungkapkan rasa terima kasihku terhadap sang pencipta.
Aku adalah orang pertama kali yang akan belajar di luar negeri dalam keluargaku. Semua kakakku heran melihat prestasi yang aku peroleh karena aku berhasil mendapat beasiswa itu. Pikiranku semakin meluas; aku adalah orang kedua ke luar negeri di deerahku. Di daerahku ada salah satu tetanggaku yang pergi ke Jerman untukk menempuh program megister. Aku merasa agak besar hati; pertama bisa membanggakan orang tua yang kedua aku telah menuai cita-citaku sejak MTs; yaitu untuk belajar di luar negari.
“Tanggal 23 Agustus 2006, ada pelatihan di Klender Jakarta Timur” kata-kata ini terus memberikan motifasi kepadaku. Aku mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk tampil di pelatihan dengan sebaik mungkin. Aku tidak mau mengecewakan para tutor.
Malam tanggal 21 Agustus 2008, orang tuaku membuat semacam hajatan tanda syukur kehadirat Allah SWT. Aku adalah anak terakhir di dalam keluarga; sehingga orang tua terus membuat kesan menjelang keberangakatanku ke Jakarta. Waktu itu informasi dari Depag; sehabis pelatihan dari Jakarta, ada waktu satu minggu untuk persiapan dari rumah setelah itu berangkat ke Mesir.
Dalam acara besar-besaran ini, ayahku memimpin acara sendiri untuk tahaddus bini’mah[4] karena salah satu putranya ada yang mahu belajar di Mesir. Sesekali aku melihat wajahnya, aku melihatnya sangat bahagia dan bangga. Rasanya aku ingin terbang melihat ayahku berdiri memberi sambutan dengan sangat bahagia.
Di salah satu susunan acara aku dipersilahkan untuk angkat bicara. Akupun memenuhi permintaan pembawa acara. Aku berbicara dengan datar hingga para pendengar merasa haru. Aku meminta ma’af kepada semua yang hadir atas kesalahan yang aku perbuat terhadap mereka. Beberapa orang yang ada di depanku meneteskan air mata. Aku tak kuasa menahannya hingga akhirrnya air mataku tak tertahankan. Aku sangat menyayangi mereka. Mereka ikut serta mempengarui pola pikir saya dalam mendukung semangat dan cita-cita.
Setelah tiga jam, acarapun selesai. Para undangan terhuyung-huyung pulang dengan tertib. Aku melihat ibuku masuk kamar pribadinya. Dia menatapku sayu tanda memanggilku. Akupun menghampirinya, beliau menatapku seakan aku adalah orang yang ia kagumi.
“Bu.. aku menyayangimu, aku juga menyayangi Allah, Agama mengajarkan untuk mencari ilmu setinggi tingginya di samping itu kita juga harus berbakti pada orang tua,” ucapku. Aku menarik nafas dalam.
“dalam satu waktu aku belum bisa untuk berbakti kepadamu dan menuntut ilmu yang merupakan anjuran dari agama” aku tak tahankan diri melihat air mata ibuku menetes perlahan membasahi pipinya.
“Bu, serahkan aku kepada Allah SWT atau aku akan mengabdi kepadamu.” Ucapan ini membuat kami termenung lama. Hingga akhirnya ibuku mengangkat bicara; dengan lembut dia mengatkan.
“Aku serahkan dirimu kepada Allah.” Air matanya semakin mengalir dengan deras. Aku tak tahankan diri. Akupun ikun menangis menjadi-jadi.
Pagi hari tanggal 22 aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke Jakarta. Detik-demi detik terus berjalan hingga akhirnya sore haripun menyambut. Aku diantarkan kakakku ke terminal bus Kudus. Singkat cerita aku menaiki bus itu hingga sampai di Jakarta.
Aku mencari tahu alamat yang ditunjukkan Depag untuk pelatihan. Tanpa pikir panjang aku mendapatkan satu sopir yang siap mengantarkanku ke Pondok Pesantren Az-Ziadah. Tempat ini adalah tempat pertama aku menginjakkan kaki. Tapi aku tutupi semua perasaan canggung. Aku mulai kenalan dengan beberapa teman calon mahasiswa Al-Azhar juga.
Selama sepuluh hari kita memperoleh pelatihan dengan sangat baik. Para tutor menjelaskan tentang Al-Azhar dan aspek-aspek lain yag terkait dangan ke-Mesir-an. Aku mengikutinya dengan sanagt baik. Bahkan aku termasuk salah satu peserta pelatihan yang proaktif dalam proses pembibitan.
Sepuluh hari genap kita pulang ke rumah masing-msing untuk persiapan keberangkatan ke Mesir. Beberapa peserta pelatihan ada yang pulang ke rumah mereka ada juga yang tetap di Klender mengingat tempatnya yang sangat jauh dari ibu kota. Adapun teman-temanku yang tetap menetap di Klender adalah mereka yang berasal dari NTB (Nusa Tenggara Barat), Sulawersi, Kalimantan dan lain sebagianya.
3. Nunggu Lagi, Nunggu Lagi
Sepulang dari Jakarta; kebanggaan campur dengan kegembiraan yang sangat luar biasa. Hanya ada waktu sekitar satu minggu. Aku akan memanfaatkan untuk melepas rasa kangen dengan famili, teman, guru, tetangga serta apapun yang saya anggap istimewa.
Aku mengunjungi tempat nenek dan famili lainnya, ke rumah-rumah teman, ke rumah-rumah guru, nimbrunng bareng tetangga serta ke tempat-tempat yang aku anggap istimewa. Aku sangat senang dan bangga. Alhamdulillah.
Tiga hari setelah pelatihan itu, telfon dari Depag masuk dalam ponsel pribadiku. Aku mengira panggilan itu pertanda keberangkatanku sudah dekat. Tapi ternyata panggilan itu beda dengan yang aku duga.
“Usatadz Fadlan secepatnya mengirimkan pasport ke Jakarta untuk pengurusan visa.” Suara dari ujung sana.
Setelah perkacapan saya dengan pegawai Depag kalau tidak salah namanya adalah Pak Bill Bahtiar. Aku musyawarah dengan orang tua. Orang tuaku sempat mengerutkan keningnya.
“Kenapa tidak diambil ketika masih pelatihan di Jakarta?” ungkapnya. Aku diam tanpa komentar. Akhirnya ayahku mengatakan, “Ya udah besuk berangkat lagi ke Jakarta.” Tuturnya.
Sore hari setelah itu, aku berangkat ke Jakarta lagi. Singkat cerita aku sampai di sana pada pagi hari. Aku langsung mencari kantor Depag untuk menyerahkan pasport untuk kebutuhan visa. Setelah itu akupun pulang ke rumah lagi.
Dua minggu setelah pelatihan adalah bulan puasa. Tapi aku sudah membulatkan tekat untuk berangkat ke Mesir. Empat hari aku gunakan untuk ngobrol-ngobrol bersama dua orang tuaku. Kita sering meluagkan waktu pada sore hari untuk bicara panjang lebar tentang Mesir dan bagaimana nantinya setalah sampai di sana.
Satu minggu dari pelatihan sudah saya lewati, tetapi panggilan Depag belum kunjung datang juga. Aku kembali menelephon temen-temen dan kantor Depag tentunya. Mereka semua sepakat kalau panggilan memang belum ada dari pihak Mesir. Aku mencoba menjadi lebih sabar dalam menghadapi masalah ini.
Satu minggu lagi bulan puasa menyambut. Kebanyakan masyarakat di daerahku menyambutnya dengan sangat meriah. Di sisi lain aku sangat gelisah menunggu pemberangkatan yang semakin tidak jelas. Aku terus komunikasi dengan pihak Depag dan temen-temen senasip seperjuangan.
Bulan puasapun datang. Sesekali aku tanya sama petugas Depag, jawaban yang saya terima adalah; berangkatnya dipertengahan puasa. Kitapung menunggu waktu itu. Aku menceritakan tentang keberagkatanku kepada orang tua dan orang-orang di dekatku perihal masalah keberangkatan.
Pertengahan Ramadhan datang juga. Tapi panggilan tak ujung menyambut. Saya kebingungan. Hingga lima hari sebelum hari raya panggilan belum datang juga. Aku semakin sedih. Karena secara otomatis kalau kita terlambat datang di sana kita akan kesusahan dalam adaptasi terutama dalam masalah pemahaman muqoror (diktat) kuliah.
“Santai aja Fadlan, bersangkat setelah hari raya juga baik kok.” Nasehat ibuku. Alih-alih ungkapan ibuku yang menjadikan pendirianku semakin kuat.
Hari rayapun datang. Kakak dan familiku dari surabaya berbondong-bondong ke Jawa Tengah untuk silaturrahmi denagn sanak saudara di sana, termasuk ke rumah orang tuaku. Berbagai pertanyaan meluncur kepadaku perihal keberangkatan ke Mesir.
Akhirnya bulan syawalpun habis berganti menjadi bulan setelahnya. Panggilan yang kita nanti-natikan tidak kunjung datang. Aku sangat pusing, campur aduk tidak karuan.
Aku sangat malu dengan tetangga dan keluarga karena syukuran keberangkatan sudah kita lakukan sejak dua bulanan yang lalau. Singkat cerita kita akhirnya sampai pada bulan November. Bulan ini menjadi kenangan tersendiri dalam perjalanan hidupku. Tanggal 7 November 2007 empat puluh dari calon mahasiswa Al-Azhar mendapat panggilan. Hal ini membuatku semakin yakin. Mereka akan berangkan pada tanggal 12 November 2007.
Aku terus berkomunikasi dengan Depag dan teman-teman supaya tidak ketinggalan komunikasi. Hingga akhirnya tanggal 25 November 2007 empat puluh dari calon mahasiswa Al-Azhar berangkat ke Mesir.
Durasi setengah bulan ini menjadikan aku menarik premis bahwa lima belas hari lagi pasti aku dan kawan-kawan akan berangkat ke Mesir.
Tapi ternyata lain. Tanggal 15 Desember 2007 datang tapi panggilan bulum datang jua. Bahkan Desember nyaris habis kepastian berangkatpun belum datang. Aku terus menelpon temen-temen dan Depag. Hingga pada akhirnya jawabannya kita akan berangkat pada bulan Januari 2008.
Sementara itu kabar dari temen-temenku yang sudah berangkat mereka sudah melangsungkan ujian semester. Akupun tanya panjang leber tentang ujian tersebut.
Kita tunggu ternyata bulan Januari 2008 habis. Aku pusing campur bingung. Aku menyusun strategi baru. Waktu itu, di samping aku menunggu panggilan dari Departemen Agama aku juga belajar mempersiapkan tes masuk perguruan tinggi di Indonesia.
Bulan Maret 2008 habis tanpa ada bekas tanda panggilan ke Mesir. Aku sudah lunglai putus asa dan memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi Indonesia. Tapi tiba-tiba ada panggilan dari Depag pada tanggal 3 April 2008 untuk berangkat ke Mesir. Aku sangat senang. Kesenanganku membuat semangat baru.
Akhirnya tanggal 6 Aprel 2008 aku meninggalkan Indonesia. Aku yakin semuanya adalah ujian untuk menguji kita. Jadi apapun itu harus kita sikapi dengan dewasa.
* * *
0 komentar:
Posting Komentar