Welcome to Nur Fadlan Blog

Senin, 30 November 2009

Wayang Kulit Berbenih Cinta[1]


Nur Fadlan[2]


Panas matahari sangat luar biasa. Sengatannya menjalar bagaikan api. Aku menatap ke depan, menara Eifel masih tampak tegak mencakar langit. "Sialan bus belum lewat juga" sepaanku karena panas semakin menjadi-jadi. Aku menunggu bus sudah dua puluh menit tapi belum datang juga. Aku paling benci dengan menunggu, "Dasar sopir-sopir sialan ngapain mereka..." umpatku.


"Sahrul!" suara dari arah samping kananku. Aku belum bisa mengenalinya karena dia masih tiga yard dari tempat berdiriku. Tampak samar-samar dia berlari ke arahku. Seorang cewek, siapa ya? aku memasukkan tangan kedalam saku baju untuk mengambil kaca mata.


"Dari mana Corinna? Kok masih di sini" tanyaku. Sekarang dia di samping kananku.

"Dari Information Center" jawabnya sambil mengambil kertas tisu di dalam tasnya. "Ni untukmu!" sambil menjulurkan tangan putihnya ke arahku. Gila, dia tampak sangat cantik sekali walaupun wajahnya dipenui dengan peluh yang bercucuran.


"Makasih" tanganku meraih kertas tisu itu. Aku langsung mengusapkan ke kening dan dahiku. Seperti mahasiswi lainnya, Corinna memakai celana pendek dari bahan khaki dan blus putih tanpa lengan. Rambutnya diikat kebelakang hingga tampak dagunya yang tersusun sangat sempurna.


Corinna adalah warga negara Prancis. Aku bertemu dengannya disalah satu mata kuliah Asian Culture[3]. Dia termasuk mahasiswi pengagum kebudayaan di dunia.

"Mau pulang juga?" tanyanya.

"Iya" jawabku.

"Kamu tadi baca iklan di Information Center?" tambahnya. Tangannya mengambil botol air mineral dari dalam tasnya.


"Belum, aku tadi tergesa-gesa ingin cepat ke rumah." Sesekali aku mencuri pandang ke arah wajahnya. Pancaran keanggunan yang sangat luar biasa terukir dalam wajahnya.

"Itu dia yang kita tunggu-tunggu" ucapnya sambil menunjuk ka arah angkutan kota. "Ayo!" dia menarik tanganku. Akupun mengikuti di belakangnya. Tangannya terasa sangat hangat dan lembut. Kami naik angkutan itu. Matanya melihat tajam ke arah tempat duduk. Sepertinya dia mencari dua tempat duduk yang kosong. "Sini aja, aku masih mau ngobrol sama kamu" ucapnya sambil senyum manis.


"Ok." Jawabku tanda setuju.

"Kamu tadi bilang cepat-cepat mau ke rumah ada urusan apa?" tanyanya sambil melihatku. Wajah putihnya tampak bercucuran keringat lagi. Rasanya aku ingin mengelapnya. Tak taunya, secara spontan dia langsung mengelap dengan kertas tisu di tangannya.

"Aku sangat ngantuk, tadi malam tidak bisa tidur karena masih ada paper[4] kuliah." Jawabku sambil meletakkan punggung ke kursi bus.

"Oh gitu" ucapnya. "Nanti malam bisa ketemuan di ruang 1 Maison de Unesco kan?" sorot matanya penuh harap.


"Emangnya ada apa di sana? Pagelaran." Tanyaku ingin tau.

"Tadi aku baca di Information Center, ada pamplet pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Manteb Soedharsono" jawabnya penuh keyakinan.

"Yang benar" aku nyaris tak percaya.

"Iya, pamplet itu ditulis dengan bahasa Inggris dan Prancis sehingga tidak mungkin aku salah" paparnya kepadaku. "Dah sampai ni, turun dulu ya nanti saya telfon" dia bergegas menuju pintu keluar. "pè re[5]" ucapnya kepada pengemudi tanda mau turun.


Pikiranku masih lalu-lantan tak karuan, fisik yang sangat lemah, informasi dari Corinna tentang pagelaran Wayang Kulit yang belum saya terima. Semuanya menumpuk dalam pikiranku seperti telur di atas tanduk. Ingin aku jatuhkan saja rasanya.

Aku menatap keluar, beberapa pertokohan dan tempat tinggal tampak menjulang dengan tegap. Aku teringat pada menara Monas di Jakarta. Usia enam tahun aku pergi kesana bersama ayah, ibu dan kakak perempuanku. Rasanya kenangan itu menjadi coretan sejarah yang tidak bisa aku lupakan. Aku sangat merindukan tanah air Indonesia, keluarga serta temen-temenku di sana. Kalau Corinna benar, nanti malam ada pagelaran Wayang Kulit rasanya rinduku bisa tertawarkan.

"pè re" ucapku tanda mau turun. Aku melompat keluar, kedua telapak kakiku mendarat di aspal yang mendidih. Aku berdiri di depan tempat tinggalku. Bangunan itu basar dan sangat tinggi, rasanya aku ingin putus asa saja menaiki lantai tiganya.

Aku tinggal di lantai tiga. Apartemen itu sudah saya tempati selama tiga tahun enam bulan. Aku sangat nyaman tinggal di situ. Di samping tempatnya yang sangat nyaman dan indah aku tidak mengeluarkan sepeser uang pun untuk mencicil apartemen itu. Aku mendapat beasiswa dari Research Fellow The Habibie Center[6] untuk program Megister dan Doktoral. Biaya perkuliahan dan living cost[7] ditanggung oleh lembaga ini.


Aku naik tangga dengan terhuyung-huyung. Kepalaku pusing tujuh keliling, tadi pagi aku belum sarapan. Setelah melewati pendakian yang sangat melelahkan akhirnya aku tiba di depan pintu. Jemariku meraba kantong celana untuk memastikan keberadaan kunci pintu. "Sialan! Dimana aku menaruhnya" keluhku. Aku menaruh tas punggung sejajar dengan kaki. Aku memeriksa di setiap bagiannya, akhirnya aku temukan di pojok saku tasku.

Aku masukkan kunci itu ke pintu. Kleg... kleg... kleg, setelah tiga kali memutarnya, aku dorong pintu itu dengan energi terakhirku.

* * *

"Om Sahrul, Anita di ajarin sepeda ya" suara itu muncul tanpa tau asal-muasalnya. Tiba-tiba dia muncul di depanku sambil memberikan senyum manis. Di sekitarku adalah kebun hijau yang terhampar sangat luas. Aku merasa tempat itu adalah tempat yang sangat asing. Aku belum pernah mengunjunginya sebelumnya. "Om Sahrul kok diam aja?" anak perempuan itu terus bertanya. Aku kebingungan anak itu siapa?, dari mana asalnya?, ini tempat apa? serta bagaimana dia tau namaku?.


"Kamu Anita?" tanyaku.

"Iya Om. Sekarang aku sudah kelas satu SD" jawabnya sambil menarik tanganku ke arah sepedanya. Anita adalah anak pertama dari kakak perempuanku. Di samping sangat lucu dia adalah keponakanku satu-satunya. Ketika aku ke Prancis Anita masih berusia tiga taunan, aku meninggalkannya saat lucu-lucunya. Sekarang aku bertemu lagi dan dia mengatakan kalau sudah kelas satu SD. Rasanya ingin mencium serta memeluknya dan tidak akan melepaskan lagi.

Rasa kangenku yang membludak, akhirnya aku menggendong dan mancium keningnya.

"Om Sahrul akan ngajarin Anita naik sepeda." Ucapku sambil meletakkan pipiku di pipi tipisnya yang lembut. Dia mengangguk tanda setuju.

"Makasih Om" jawabnya sambil senyum dan mencium balik pipiku.

Kring... kring... kring... bunyi yang menghancurkan suasana indahku. Anita yang ku peluk tiba-tiba menghilang, hamparan kebun hijau yang sangat luas tiba-tiba lenyap digantikan dengan pemandangan di ruang depan apartemen. Pandangan ini sangat tidak asing bagiku. Mataku mulai terbuka dan mencari keberadaan jam dinding rumahku. Jarum jam itu menunjukkan pukul 05.35 pm. Berarti aku sudah membujurkan badanku di sofa selama 3 jam. Aku menghampiri telfon dan mengangkatnya.


"Hallo?" ucapku.

"Le soir[8], Sahrul" suara di ujung sana.

"Corinna" tebakku. Suaranya yang khas membuatku cepat mengenalinya.

"Tadi aku sudah memesan dua tiket, jam 06.15 tunggu aku di depen rumahku ya!" ucapnya dengan penuh semangat.


"Kok kamu yang jadi mesan tiket?" kesopanan ala Indonesiaku.

"Aku tau tadi dirimu kelelahan, sehingga aku saja yang memesan. Gimana? udah tidurkan." Ucapnya seperti memperhatikanku.

"Sudah" jawabku.

"Udahan dulu ya, saya mau siap-siap" ucapnya dengan sangat nyaring.

"Dandan yang cantik" rayuku.

"Hah! Bisa aja" jawabnya. "Sampai ketemu" tutupnya.


Mimpi indah bertemu Anita, punya teman sebaik Corinna serta nanti malam menyaksikan pagelaran Wayang Kulit rasanya menjadi obat kangenku. Sudah empat tahunan aku tidak menyaksikan Ki Manteb memainkan wayang-wayangnya. Ki Manteb mengingatkanku pada jawa tengah saja. Aku dibesarkan orang tuaku di jawa tengah bahkan sampai sekarang mereka masih tinggal di sana.


Sehabis mandi aku langsung menunaikan shalat Ashar. Rasanya shalatku tidak khusu' sama sekali karena pikiranku terus berputar-putar tidak karuan. Selesai shalat aku langsung memilih kemeja putih dan bawahan hitam untuk saya kenakan.


Aku langsung meluncur ke rumah Corinna. Kebahagiaan campur dengan kekaguman yang sama sekali tidak aku pikirkan sebelumnya. Nanti malam aku akan menyaksikan pagelaran Wayang kulit ditemani mahasiswi yang sangat cerdas dan cantik. Alih-alih mimpi apa aku bisa mendapat karunia sebesar ini.


Aku sudah sampai di depan pintu aparteman Corinna. Ting tung... bel rumahnya aku pencet. Aku menunggunya dengan sangat sabar. Dua puluh detik kemudian sosok cantik jelita membukakan pintu. Senyumnya menebar ke sekitarku serasa mentari pagi yang bangun dari tidurnya.


"Sahrul kamu lebih awal 15 menit. Aku sangat suka dengan cowok yang disiplin." Ucapnya. Hatiku berdebar kencang seperti beduk parang. "Duduk dulu, ada beberapa hal yang mau saya persiapkan." Tambahnya. Pesona wajah yang sangat luar biasa sekarang ada di dekatku.


"Mulainya jam berapa?" tanyaku.

"Kita masih punya waktu satu jam tapi kita harus sampai di sana setengah jam sebelum acara dimulai" tegasnya.

"Keluarga kamu dimana?" tanyaku sambil mengamati foto-foto di dinding rumahnya.

"Ayahku pindah tugas ke Le Havre[9]" jawabnya di balik pintu kamar. "Meskipun demikian mereka mengunjungi ku setiap akhir bulan" tambahnya.


"Berapa kilo meter dari Paris?" tanyaku penasaran.

"Sekirar 220 kilo meteran" jawabnya. Corinna keluar dari kamarnya dengan mengenakan kaos panjang dan bawahan jeans.


"Untungnya sekarang sudah ada pesawat terbang sehingga jarak tidak menjadi masalah lagi." Paparku.

"Benar, Yuk berangkat, kita harus sampai tepat waktu" ajaknya.

* * *

Jam 06.25 pm kami tiba di gedung Maison de Unesco. Gedung ini tampak sangat indah dan megah. Lampu-lampu penyambut malam bersinar menambah keindahan tatanan kota Paris. Kami pun segera mencari ruang 1 Maison de Unesco.


"Kamu tau tempatnya?" tanyaku pada Corinna.

"Tau dong, aku dah tiga kali masuk ruangan itu" jawabnya. Rambutnya yang dibiarkan terurai menambah pesona ayu di wajahnya.


Kami pun berjalan beberapa meter hingga sampai di depan pintu ruang itu. Corinna masuk duluan sementara aku mengikutinya dari belakang. Ternyata setelah pintu masuk utama ada pintu masuk lagi untuk penarikan tiket. Corinna memberikan dua tiket tanda dirinya dan diriku telah memesan kursi. Petugas mengangguk dan langsung mempersilahkan kami masuk.

Ruangan yang sangat luas dan megah. Ruangan itu mampu menampung dengan kapasitas 1400 orang. Ruang 1 Maison de Unesco sudah dipenuhi pengunjung pecinta seni.

Jam tujuh tepat. Ki Manteb Soedharsono dan rombongan memulai pagelaran Wayang Kulit. Gedung itu sangat penuh hingga balkon-balkonnya sesak dengan pengunjung. Ki Manteb mengangkat judul Sesaji Rajasuya. Semua pengunjung hening mencoba untuk mengambil pesan nilai yang tersirat dalam lakon itu.


Pengunjung yang tidak tau bahasa jawa disediakan brosur-brosur luks. Brosur ini disediakan oleh UNESCO dengan menggunakan bahasa Inggris dan Prancis. Tulisan dalam brosur itu memuat tentang wayang kulit dan seputar Ki Manteb.

"Bagus sekali nilai-nilai yang tersirat dalam lakon Sesaji Rajasuya..." kata Corinna sambil melihatku.

"Benarkah!" kataku.

Tidak terasa jam telah menunjukkan pukul 09.00 pm. Meskipun pagelaran dilangsungkan dalam dua jam tapi tidak mengurangi jumlah pengunjung walau sedikit pun. Para pengunjung terhuyung-huyung keluar dari gedung itu. Mereka guman terhadap pementasan Wayang Kulit yang sangat dahsat oleh Ki Manteb.


Sementara aku dan Corinna tetap asyik mengobrol di luar gedung Maison de Unesco.

"Sahrul kita ke sana yuk!" ajaknya sambil menunjuk merara Eifel.

"Kamu nggak pulang?" tanyaku.

"Aku masih mau ngobrol denganmu tentang Wayang Kulit" nada suara terindahnya yang membuatku menyetujui permintaannya.

"Oh gitu, Ayo!" tandaku setuju.

Kami berjalan menyusuri malam yang sangat indah. Pertama kalinya aku ditemani wanita paling cantik yang pernah ku temui. Bintang-bintang yang bertebaran di atas kami seakan-akan menjadi saksi malam itu.

Kamipun sudah berada di dekat menara Eifel. Lampu warna-warni seakan-akan menambah keindahan malam. Di sana kami bercerita, bercanda hingga pagi. Tiba-tiba hatiku mendesah, "Corinna apakah kau merasakan seperti yang ku rasakan?" []

Kairo, 10 Agustus 2008 ☻



[1] Cerpen pertama, Kairo 10 Agustus 2008

[2] Anggota FLP cabang Mesir. Kritik dan saran kirim ke habile9me@yahoo.co.id

[3] Kebudayaan Asia.

[4] Tugas perkuliahan; berbentuk tulisan.

[5] Pere bahasa prancis artinya pak. Sering dipakai untuk panggilang orang yang lebih tua.

[6] Sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengembangan intelektual anak bangsa.

[7] Living cost artinya biaya hidup.

[8] Le Soir bahasa prancis artinya sore

[9] Le Havre salah satu kota besar di Prancis.

0 komentar:

Posting Komentar