Catatan Si Aku
Nur Fadlan
Bermula ketika ayahku mengajak ke sebuah tempat bersejarah. ketika itu usiaku masih sangat muda. Aku baru masuk kelas satu SD (sekolah dasar) sekitar enam bulanan. Libur nasional yang menjadikan orang tuaku memilih untuk berlibur tapi tetap dalam koridor edukasi. Sebenarnya aku sangat tidak setuju dengan rencana mereka karena keinginanku untuk melihat gajah hidup di kebun binatang.
Di perjalanan aku sangat jengkel tapi aku tidak berani berontak, masih trauma dengan wajah sangar ayah ketika naik pitam satu minggu yang lalu. Waktu itu, saya tidak berangkat mengaji di rumah ustadah Faizah, saya lebih memilih untuk menyaksikan film kolosal "Kesatria Baja Hitam RX". Bayangkan kala itu adalah episode paling seru, pertarungan antara Kotaro Minami dengan Mr. Jark. Seru banget ...! Memori itu seakan cetak biru dalam kehidupan pribadiku.
Kijang Super berwarna biru kita naiki bersama, melaju dengan kencang tanpa menghiraukan nyangian angin-angin pagi menyambut mentari yang senantiasa memberi ruh kepada jamrut katulistiwa. "Bu ..." kata ku pilu. Aku duduk bersama ibu di bagian belakang sementara ayah memegang setir mobil dan di samping kirinya duduk kakak perempuanku. "Iya ... tadi pagi kan sudah minum susu, jangan terlalu banyak minum nanti pipis lho" jawaban ibuku melihat resahku.
Semua orang tidak ada yang tahu apa kemauanku. Aku hanya ingin melihat gajah hidup, aku sangat penasaran dengan monster gajah yang sangat kuat ketika bertarung dengan Kesetria Baja Hitam RX. Monster itu tahan pukul dan tendangan, ketika sang idolaku mengeluarkan jurus terdahsyatnya, pukulan dan tendangan maut. Sang monster mampu mematahkan dan menyerang balik dengan mengeluarkan semburan api lewat belalainya yang besar dan panjang.
"Lihat! Ini alas Roban, Fian" kata ibu sampil mencium tanganku. "Di sini ada gajah nggak, Bu?" tanyaku balik. "Gajah, Harimau, Kancil ada semua di sini" kata kakak perempuanku menimpali. Hutan itu tampak lebat dan angker, pohon-pohonnya menjulang tinggi seperti pilar-pilar Ionia dan Doria. Aku memeluk ibu erat-erat untuk menghilangkan rasa takutku, ibuku pun respek, dia mengangkat tangan kirinya dan menarikku lebih dekat ke dalam tubuhnya, tangan kirinya menjulur di punggungku sementara telapak tangannya yang halus menempel dan mengelus lengan atasku, wajahnya tersenyum meyakinkanku.
Sementar ayah tetap fokus dalam kemudinya, sesekali dia mengelap keningnya dengan handuk kecil berwarna putih, aku memperhatikannya, beliau juga memperhatikanku, matanya tampak di spion mobil tanda mengamatiku. "Fian takut dengan hutan?" ucapnya sambil senyum kecil. "Nggak ... " jawabku, aku membohonginya. Sementara kakak perempuanku terus bercerita dengan ayah mengenai sekolah dan pondok barunya. Dia memamerkan prestasi-prestasinya selama enam bulan di sekolah dan pondok barunya.
Di depan kami ada trowongan gelap yang menyeramkan, tampak tidak terurus dan dipenuhi tumbuhan alga dan lumut, nyaris warna dasar trowongan itu hilang menjadi kolaburasi warna hingga membentuk komposisi warna baru. "Bu, itu tempat apa?" tanyaku penasaran. "Trowongan itu adalah penghubung jalan pantura yang dibangun oleh VOC" timpal ayahku. "VOC ?" ucapku. "VOC adalah penguasa yang tidak sah yang telah menghegemoni negara kita selama tiga ratus lima puluh tahun" papar kakak perempuanku sambil membenai kerudung pinknya.
Mobil tetap melaju dengan cepat dan gesit membelah udara. Sesekali ada puso besar yang berlawanan arah dengan laju kami. "Afifah ..." ucap ayahku. Kakakku memutar lehernya dan melihat ke arah sumber suara yang terdengar sangat berwibawa. "Kamu tahu nggak, siapa pimpinan dari kerja rodi atas pribumi demi suksesnya jalan pantura?". Kakakku terdiam sejenak. Mulutnya komat-kamit, tangannya memegang keningnya seperti Bu Saunah ketika sedang mengabsen kelas satu akhir pekan kemarin. "Dandelesh ..." kata itu keluar dengan bening seperti ketukan pertama nada tinggi piano.
Mereka bercerita panjang lebar mengenai kolonialisme Hindia Belanda di Indonesia. Mulai dari latar belakang mereka datang ke tanah air hingga pada masa kemerdekaan. "Menurut kamu gimana, Fa?" ibu melontarkan pertanyaan kepada kakak parempuanku. Kakakku mengambil air mineral dan gelas kemudian menuangkan air itu ke dalam gelas. Dia meminum dengan perlahan dan memulainya dengan bismillâhirrahmânirrahîm. Setengah dari volum air dalam gelas itu lenyap. Kakakku menarik nafas dalam-dalam, punggungnya di sandarkan ke kursi dan mulai angkat bicara.
Sebenarnya orang-orang Eropa telah mengetahui bentuk keaneragaman kekayaan di dunia timur sudah cukup lama. Penjelasan itu membuatku semakin penasaran, dia menyampaikan dengan penuh keyakinan hingga pelukan erat ibu saya lepaskan. Saya duduk dengan tegak dan berusaha ingin mendengarkan dengan seksama suara lembut kakak perempuanku. Karena aku yakin, dia akan bercerita suatu hal yang belum pernah aku dengar. Dua hari yang lalu, di serambi rumah kami kakak perempuanku bercerita kepadaku seharian tentang dongeng Ali Baba, pelawak Bac-Bac, Aladin dan teko ajaib, tentan Sultan Harun ar-Râsid serta kisah tentang tiga pangeran bersaudara yang selalu bertengkar hingga akhirnya bersatu.
Cerita-cerita dari kakakku sangat menarik sehingga aku tidak pernah melewatkan bagian dari cerita itu walau satu kata. Dia meneruskan penuturannya. Orang-orang Eropa memeras otaknya untuk mencari sebuah jawaban, bagaimana untuk bisa sampai di dunia timur dan ikut serta dalam menikmati kekayaan yang sangat luar biasa itu.
Cerita dari mulut ke mulut sering mengekspos bahwa dunia timur sangat kaya di kalangan komunitas masyarakat Eropa. Emas, perak, rempah-rempah dan lain sebagainya tersedia dalam jumlah yang sangat besar.
Di tambah lagi, ketika perdagangan di Laut Tengah ditutup karena suatu tatanan sistem politik masa itu. Sehingga orang-orang Eropa tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi dalam hari-harinya. Suplai rempah-rempah di Laut Tengah ditutup, pada akhirnya kebanyakan dari mereka memutar otaknya untuk keluar dari permasalahan vital mereka.
Kakak saya meneruskan minumnya hingga volum air dalam gelas yang dipegangnya benar-benar habis. Dengan perlahan dia meletakkan gelas tersebut pada kotak plastik yang berada di antara kursi yang ia tempati dan kursi pengemudi.
"Yang dikatakan Ifa itu benar ..." sambung ayahku. Memang seperti itulah adanya kenapa orang-orang Eropa memilih imigrasi ke berbagai belahan dunia. Suara ayah terdiam, tiba-tiba ayah mengurangi kecepatan laju mobil hingga berhenti. "Ada apa, Pa?" tanya ibu. Ayah tidak menjawab. Dia malah sibuk membolak-balik setumpukan kertas yang ada di depan kemudi mobil. "Ma, papa kayaknya lupa bawa SIM dan STNK ..." sambil terus membolak-balik beberapa kertas dan berulang kali memasukkan jemerinya ke saku celana.
"Kayaknya tertinggal di atas maja kamar ..." tutur ayah cemas. "Saya lupa membawanya tadi malah sibuk mempersiapkan beberapa makanan untuk bekal perjalanan kita" tambahnya. "Santai aja yah, udah saya bawa kok," tutur ibu sambil membuka tas tenteng coklatnya. "Ni ...." sambil menyodorkan surat-surat penting tersebut. "Alhamdulillah" ucap ayah lirih. Sementara kakak perempuankuku memegangi tanganku yang berada di samping kanan sisi kursi yang dia duduki. Mungkin dia masih tramua karena saya sering usil dengannya. Tiga hari yang lalu waktu dia baru pulang dari jawa timur aku mencubit lengannya hingga suaranya keluar tanda kesakitan.
Tangan lembutnya memegang erat tanganku, sesekali tangan kirinya mengelus permukaan kulit tanganku secara perlahan. "Fian ..." ucapnya sambil menarik tanganku ke arah depan. Aku pun tertarik hingga dada depanku sejajar dan menempel bagian belakang kursi yang dia tempati. Dua tanganku memeluk dan mengitari lehernya hingga berbentuk lingkaran penuh. Salah satu dari tangannya menarik lingkaran yang terbentuk dari kedua tanganku ke bawah untuk menghindari tarikan ke belakang yang bisa mengakibatkan dia tercekik.
"Kamu tahu nggak, makanan gajah?" pertanyaan itu keluar dari bibir lembutnya. Aku terdiam tanda tidak tahu. "Kamu tidak tahu ya ..." kalimat susulan yang menjadikan darahku beredar lebih deras. "Aku tahu" jawabku parau. "Apa?" tanyanya tegas. "Nasi" jawabku dengan mantap. Dia mulai menjelaskan animalia jenis ini secara perlahan. Gajah itu tinggal di hutan, dia tidak bisa memasak beras menjadi nasi sehingga tidak mungkin kalau dia makan nasi.
0 komentar:
Posting Komentar