Hermeneutika Versus Relativisme Tafsir
Ditulis Oleh : Nur Fadlan
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman,pikiran penghuni bumipun semakin komplek.Disamping mereka berusaha terus untuk mencoba memenui segala kebutuan juga sibuk menggali semua disiplin ilmu pengetahuan.Seperti yang ditulis oleh Michael H. Hart dalam bukunya Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah-sudah ditranslet dalam bahasa Indonesia- menunjukkan bahwa mereka mengisi perkembangan dunia lewat pengaruh,pemikiran serta penemuan mereka.
Sekarang ini di Eropa,perkembangan teknologi tampak gemilang tapi disamping itu mereka dalam teologi,mengalami beberapa problem,untuk lebih jelasnya sebagaimana dibawah.
TRAUMA EROPA DAN PERSEBARAN KRISTEN
Sebelum memulai pembahasan mengenai Hermeneutika,alangkah baiknya kalau kita beck ke dalam perjalanan Western Civilization yang telah mengalami The Dark Ages,dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 M bersamaan dengan mulai munculnya hegemoni Gereja yang berperan sebagai institusi tunggal serta dominan.Fenomena ini berakhir hingga bangkitnya masyarakat Eropa atas pencerahan yang muncul dari salah satu ilmuan Islam -Ibnu Rusdy- waktu itu disebut denganrenaissance,terjadi sekitar abat XIV.[2] Sebenarnya sebelum agama Kristen pengaruhnya meluas -membentang di daratan Eropa dari Italia sampai Irlandia- mengalami tekanan berabat-abat dari Imperium Romawi,baru setelah Kaisar Konstantine mengeluarkan Edict of Milan,pada tahun 313 M.Kemudian tahun 392 M dikeluarkanlah Edict of Theodosius "Kristen sebagai state religion",dari Roman Empire.[3]
Pada masa itulah sejarah Kristen berubah total dari kekangan menjadi kebebasan,bahkan tercatat,''Gereja merupakain institusi yang memberikan alternatif rekonstuksi kehidupan''.Dari sini pengaruh Gereja menjadi semakin kuat,apalagi tahun 1085 Kristen Spanyol dengan bantuan tentara Perancis berhasil mempertahankan Toledo.Serta tahun 1091 M Count Roger berhasil merebut Sicily yang sebelumnya dikuasai oleh orang Muslimin.[4] Dari kukuatan yang superpower dan komprehensif oleh Gereja maka para agamawan Kristen -Paus- berusaha untuk mempertahankan pengaruhnya melebihi raja-raja yang ada di Eropa,terbukti ketika terjadi konflik antara Paus Gregory VII dan Raja Henry IV pada pertengahan abad XI. Konflik bermula ketika Gregory melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat Gereja,Raja Henry merasa kalau pengangkatan raja juga berasal dari Tuhan maka dia tetap akan ikut campur ketika ada pengangkatan dan pemberhentian bishops yang mengatasnamakan sebagai pejabat Tuhan.Kemudian Gregory mengambil langkah pengucilan,tidak lama Raja Henry langsung menyerah dan minta ma'af pada pihak Gereja.[5] (Jika Paus mengucilkan seorang penguasa ,maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan,karena itu ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen –Cristendom- ).
Setelah itu,penguasa Gereja berusaha mencengkram mutlak masyarakat Eropa,dengan menata politik serapi-rapinya dan melibas musuh-musuh Gereja dan kaum Heretics(kafir).Untuk memusnahkan lawan politik ( antara Khatholik-protestan,antar sekte,dll)dan kaum heretics Maka penguasa Gereja mendirikan institusi-institusi cabang.Dalam buku Holy War The Crusades and Their Impact on Today's World karangan Karen Armstrong -mantan biarawati dan penulis terkenal- menggambarkan bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah INQUISISI,yang merupakan instrument terror dalam Gereja sampai abad XVII.
Inquisisi menjadi salah satu kenapa Barat trauma dengan teologi Kristen,bahkan ketika mereka mendengar ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan Gereja,Paus,Kristen langsung mengingatkan kepada kemunafikan,pengkafiran, penyiksaan,pembunuan,dan hal-hal negative lainnya.Maka ketika abat XIV yang diwarnai dengan penerjemahan global,terutama karya-karya islam yang dirasa selaras dengan kehidupan barat serta dibarengi dengan perpecahan dan konflik dalam agama Kristen itu sendiri.Tergambar dalam sebuah film berjudul "Elizabeth" yang dibintangi oleh Cate Blanchett,menunjukkan perebutan tahta Inggris antara Khatolik dan Protestan,yang bermula dari pemisahan diri Raja Henry VIII(1491-1547) dengan Paus.Tahta Inggris akhirnya jatuh ketangan Protestan(Anglikan)setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai ratu Inggris menggantikan Queen Mary yang Katolik.
Seiring dengan penerjamahan global,pemikiran Ibnu Rusdy –renaissance- berkembang pesat di Eropa bahkan menjadi fundament inspiration gerak bangsa Eropa.Dari sinilah pikiran-pikiran pembaharu mulai dari sedikit-demi sedikit muncul.Bernard Lewis menulis,"pada masa ini barat mulai memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan mereka mulai memahami tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya".[6] Sebab dari sinilah salah satu penulis Eropa –Leeuwen- menyatakan,"Christianity's gift to the world"(sekuler adalah hadiah Kristen kepada dunia).[7]
Kristen disini dalam artian khusus yaitu,agama Kristen yang sudah mengalami modifikasi yang tidak murni lagi(bukan berasal dari Yesus).Statemen ini selaras dengan apa yang ditulis pemikir Eropa kenamaan yaitu Michael Baigent,Richard Leigh serta Henri Lincoln bahwa,"Kristen yang dikenal saat ini bukan berasal dari zaman Yesus melainkan berasal dari Konsili Nicea.[8]
Kembali kepada kenapa barat memilih asas sekuler,karena pada hakikatnya mereka ingin bebes tanpa adanya skat termasuk agama.Sebagaimana tulisan Chadwick,"Liberal is free from restraint,the liberal state must be the seculer state".[9] Tampak ketika paska Reformasi Prancis 1789 M,ada 3 hal penting yang menjadi pandangan hidup mereka yaitu:dalam bidang Teologi,mereka mengembangkan konsep Teologi Inklusif dan Pluralis yang menolak klaim Kristen sebagai satu-satunya agama yang benar,dalam bidang sosial juga tampak penghapusan konsep formal religion,terakhir dalam pengkajian kitab suci,mereka mengembangkan Hermeneutika yang mendekonstuksi konsep Bibel dan mengembangkan historical criticism.Dalam kesempatan ini kita akan lebih mengfokuskan pada pengkajian Hermeneutika,yang akan dijelaskankan pada sub-sub judul di bawah.
PERJALANAN HERMENEUTIKA
Hermeneutik atau hermeneutika adalah serapan dari Hermeneutics, kata hermeneutics sendiri merupakan derivasi dari Yunani hermeneuein yang artinya mengungkapan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata.Bisa diartikan juga menerjemahkan atau bertindak sebagi penafsir'[10]. Makna yang diinginkan dari hermeneutika sebenarnya,usaha untuk menjelaskan dari sesuatu yang relatif samar ke sesuatu yang lebih terang.Filusuf asal Yunani –Aristoteles- pernah menggunakan istilah hermeneutika sebagai judul bukunyaPeri Hermeneias.Pergeseran makna hermeneutika dari arti bahasa menjadi arti istilah merupakan perubahan makna secara revolusi. Para ahli semantik sepakat bahwa peralihan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks kitab suci mereka.Jadi istilah hermeneutika beralih makna dari sekedar makna bahasa, menjadi makna teologi, dan kini menjadi makna filsafat.[11]
Hermeneutika dikembangkan oleh Stoicisme (300 SM) sebagai ilmu interpretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam (ma‘na al-daqîq) dari sekedar pengertian literal. Metode ini selanjutnya dikembangkan oleh Philo Alexandria (20 SM.-50 M.), seorang Yahudi yang dianggap bapak alegoris. Metode alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam teologi Kristen. Namun, pentransmisian ini ditentang madzhab literal (ahl al-zhâhir-nya Kristen) yang berpusat di Antioch. Menyadari tajamnya perbedaan dua konsep tersebut, seorang teolog dan filosof Kristen Augustine (354-430 M) mencoba mengkompromikan keduanya dengan mengambil jalan tengah, yakni dengan memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori tentang simbol (semiotik). Teori ini diproyeksikan untuk mengantisipasi munculnya kesewenang-wenangan interpretasi alegoris terhadap teks Bible dan pemahaman terlalu harfiyyah (literal).[12] Hermeneutika terus berkembang dalam teologi Kristen, terutama pada masa penggabungan filsafat Aristoteles dengan doktrin-doktrin Kristiani yang dilakukan Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Dalam teologi Kristen, Bapak Fahmi Zarkasyi mengutip pernyataan Van A Hervey yang menegaskan bahwa ‘‘karena perdebatan dalam soal hermeneutika inilah akhirnya mengakibatkan timbulnya kelompok Protestan Liberal dan Kristen Ortodoks.’’[13] Hermeneutika tidak berasal dari tradisi pengkajian Bible, tetapi metode asing yang diadopsi untuk menghadapi problem otentisitas Bible. Akhir-akhir ini, fenomena seperti itu telah memberikan inspirasi bagi munculnya istilah inspiratif namun menggelikan,dalam studi kasus,kalangan Islam yang setuju dengan hermeneutika adalah ‘‘Islam Protestan Liberal’’, sedangkan yang menolak adalah ‘‘Islam Ortodoks’’.
Perkembangan berikutnya adalah metamorfosis hermeneutika dari bentuk teologi menjadi bentuk metodologi pemahaman. Periode ini merupakan periode keemasan yang tak lepas dari hasil analisis brilian Schleirmacher mengenai ‘pemahaman’. Ia bermaksud membingkai hermeneutika menjadi seni penafsiran yang dapat diterapkan pada teks apapun, baik dokumen hukum, teks keagamaan, atau karya sastra.[14]
TAFSIR DAN TAKWIL DALAM ISLAM
Tafsir secara harfiah berarti penjelasan atau komentar. Dalam QS. al-Furqan: 33 dinyatakan:‘‘Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil. Melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar yang paling baik penjelasannya (tafsir).’’
Menurut Abu Hayan, tafsir ialah ilmu yang menerangkan metode pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, serta hal-hal lain yang melengkapinya. Abu Hayan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisi yang agak jlimet tersebut sebagaimana berikut ini:
Kata-kata ‘‘ilmu’’ adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. Adapun kalimat ‘‘yang menerangkan metode pengucapan lafal-lafal al-Qur’an’’, mengacu pada ilmu baca. Kata-kata ‘‘petunjuk-petunjuknya’’ adalah pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafal-lafal itu. Ini mengacu pada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu tafsir. Kalimat ‘‘hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun’’, meliputi ilmu sharaf, ilmu i’râb, ilmu bayân dan ilmu badî’. Kalimat ‘‘makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun’’, meliputi makna hakiki (makna harfiah) dan majaz (metaforis), dan kata-kata ‘‘hal-hal yang melengkapinya’’, mencakup pengetahuan tentang nâsikh-mansûkh, konteks yang melatari turunnya al-Qur’an (sabab al-nuzûl), informasi kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Menurut Bapak al-Zarkasyi, tafsir adalah disiplin ilmu untuk memahami dan menjelaskan makna (meaning) pesan-pesan Allah swt. yang diturunkan kepada Muhammad saw., serta menerangkan hukum dan hikmahnya.
Pandangan ketiga meletakkan tafsir sebagai pisau analisis yang melacak kronologi turunnya ayat, susunan kalimatnya, kisah-kisahnya, termasuk turun di kota Mekah atau Madinah, tentang janji dan ancaman, larangan dan perintah, serta keteladanannya.[15]
Dalam Ensiklopedi Fiqh (Mausû’ah al-Fiqhiyyah), tafsir didefinisi-kan sebagai ilmu untuk menjelaskan makna teks-teks al-Qur’an, bentuk kata-katanya dan kronologi turunnya, dengan bahasa yang mampu menunjukkan secara konkret.[16]
Meskipun para ulama mendefinisikan tafsir secara beragam, namun secara garis besar terdapat benang merah jika dilihat dari obyeknya, yakni disiplin ilmu yang membahas tentang makna-makna yang tersembunyi di balik teks.
Sedangkan, takwil secara etimologis berasal dari kata ‘‘awwala’’, yang berarti mengembalikan makna yang sebenarnya. Sedangkan secara terminologis, ulama salaf memberikan dua pengertian:
1) Penjelasan kalam Allah swt., baik sesuai dengan makna lahir maupun batin. Pengertian ini merupakan pandangan ulama yang menyepadankan antara tafsir dan takwil. Sehingga, keduanya berada dalam satu obyek masalah. Takwil dalam pengertian ini populer pada periode ulama klasik (salaf), seperti yang terlihat dalam komentar Mujahid; ‘‘Sesungguhnya ulama itu tahu mengenai takwil (tafsir)-nya ayat al-Qur’an’’. Ibn Jasir ketika menguraikan makna ayat terbiasa mengatakan: ‘‘Demikian takwil (penafsiran) firman Allah itu’’. Alhasil, jika ahli takwil berbeda pendapat mengenai makna ayat al-Qur’an, semuanya menyepadankan kata takwil sama dengan tafsir. Berangkat dari ini, tafsir dan takwil dapat diterjemahkan sebagai exegesis, commentary maupun interpretasi alegoris.
2) Menurut ulama yang membedakan antara tafsir (exegesis, commentary) dan takwil (interpretasi alegoris), takwil merupakan metode yang bertugas menyibak makna teks[17] yang tersembunyi dan membutuhkan perenungan kontemplatif serta usaha intensif atas dasar indikasi-indikasi yang menunjukkan makna. Pendeknya, tafsir menjelaskan makna luar (zhâhir) tanpa harus melalui proses sulit.[18] Adapun takwil menjelaskan ‘‘makna yang tersembunyi’’ dengan melalui usaha sulit. Contohnya firman Allah swt.:
يخُْرِجُ الحَيَّ مِنَ المَيِّتِ
Jika firman itu diartikan ‘‘proses burung keluar dari telur’’, pemaknaan semacam ini disebut dengan tafsir. Tapi ketika diartikan ‘‘memisahkan orang mukmin dari golongan kafir’’ atau ‘‘memisahkan pemikir dari orang bodoh’’, hal itu dinamakan takwil.[19]
Dari sini dapat dimengerti, bahwa secara teoritik dan praktik terdapat perbedaan orientasi signifikan antara tafsir dan takwil. Sisi perbedaannya, menurut al-Maturidi, tafsir secara pasti dapat menyingkap makna sesuai dengan kehendak Tuhan, sementara takwil bersifat spekulatif karenacenderung mengambil salah satu makna yang dianggap lebih unggul, dan tidak ada kepastian makna teks.[20]
Takwil dalam pengertian ini merupakan definisi yang populer dalam tradisi ulama kontemporer (muta’akhirîn). Muhammad Husayn al-Dzahabi menegaskan, definisi ini diambil dan diaplikasikan oleh mayoritas pemikir kontemporer dalam segala bidang, baik yudisial Islam (fiqh), teologi, Hadîts, maupun ajaran esoteris (sufi). Semua disiplin tersebut menerapkan arti takwil dengan pengertian terakhir.
Adapun tafsir isyâri (tafsir sufi) yang secara metodologis mendasar-kan diri pada pengalaman batin mufassir atau pada teori tasawuf, dan tafsir rasional (ra’yu) yang mendasarkan diri pada proses penalaran, pada dasarnya merupakan salah satu representasi praktik takwil. Hanya saja dalam tradisi literatur Islam, istilah takwil dalam disiplin kajian al-Qur’an jarang dipakai dan terlanjur dibebani dengan makna negatif. Itulah sebabnya masyarakat Muslim lebih akrab menyebut kitab tafsir al-Qur’an daripada kitab takwil al-Qur’an.[21]
Perjalanan tafsir dimulai saat al-Qur’an pertama kali diturunkan, Rasulullah SAW berfungsi sebagaimubayyin atau pemberi kejelasan terhadap ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Melalui beliaulah para sahabat dapat mengetahui arti dan maksud kandungan al-Qur’an. Nabi sendiri dikenal responsif terhadap segala permasalahan yang terkait-kelindang dengan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan atau penafsiran, sehingga banyak di antara pertanyaan para sahabat yang dijawab oleh Nabi secara terperinci, walaupun tak jarang ada pula yang hanya dijelaskan secara global.
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, para sahabat dituntut melakukan ijtihad sebagai upaya mengetahui kandungan makna al-Qur’an yang belum pernah dijelaskan Nabi saw. di masa hidupnya. Kalangan sahabat yang paling berwenang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an itu adalah mereka yang berkompeten dalam bidang penafsiran, yakni para sahabat yang telah mendapat penjelasan langsung dari Nabi selama masa pewahyuan. Mereka memperbincangkan al-Qur’an sebatas tentang sabab nuzûl-nya dan makna-makna ayat yang terdengar dari Rasul, baik secara oralmaupun tranferensial. Ketika mereka tidak menemukan penjelasan dalam Kitabullah atau keterangan Nabi, cara yang ditempuh adalah dengan merujuk pada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab.[22] Umar bin Khathab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah‘ya’khudzukum ‘alâ al-takhawwuf’ kepada penyair Arab dari kabilah Huzayl. Penyair itu menjawab artinya adalah ‘berkurang’. Seketika itu Umar merasa puas dan menganjurkan mempelajari syair-syair masa jahiliyah dalam rangka memahami al-Qur’an.[23]
Imam Suyuthi, mencatat sepuluh orang sahabat yang dinilai mempunyai kompetensi menginterpretasikan al-Qur’an. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibn Mas‘ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka‘ab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa al-Asy‘ari, dan Abdullah bin Zubayr.[24] Di antara kesepuluh sahabat di atas, Abdullah bin Abbas[25] dikenal sebagai sahabat yang paling kapabel sebagai mufassir ulung. Bahkan Nabi Muhammad saw. menjulukinya sebagai Tarjuman al-Qur’an (juru bicara al-Qur’an), sebuah julukan yang tentu bukan sekedar gelar kosong tanpa makna.[26] Masing-masing sahabat, jika disusun sesuai tingkatan-tingkatannya, Abdullah bin Abbas-lah orang yang pertama, kemudian Abdullahbin Mas‘ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka‘ab dan seterusnya.
Memasuki periode tâbi‘în, di berbagai kawasan bermunculan para generasi penafsir (thabaqât al-mufassirîn) yang tak lain merupakan murid-murid para sahabat di atas. Para sahabat yang memang bertempat tinggal di berbagai kota itu mempunyai murid-murid di kawasan masing-masing. Dari murid-murid sahabat inilah ilmu tafsir berkembang luas ke berbagai penjuru. Berdasarkan informasi historis, di Makkah terdapat thabaqât al-mufassirîn seperti Sa‘id bin Jabir, Mujahid bin Jabr, Atha’ bin Rabbah, Ikrimah, dan Thawus bin Kaysan. Mereka adalah murid-murid sahabat Ibn Abbas. Sedangkan di Madinah terdapat nama Muhammad bin Ka’ab dan Zayd bin Aslam yang merupakan murid Ubay bin Ka’ab, serta Anas bin Malik yang merupakan salah satu tokoh terkemuka di kota Madinah. Sementara di Irak terdapat nama Hasan al-Bashri dan Amir al-Sya‘bi, yang berguru kepada sahabat Abdullah bin Mas‘ud.
Dari tâbi‘în ini kemudian lahirlah pakar-pakar dari generasi tabi’ al-tabi’in. Di antara tokoh terkemukanya ialah Yazid bin Harun al-Sulami (w.117 H.), Syu‘ban bin al-Hajjaj (w. 160 H.), Waqi‘ bin Jarrah (w. 197 H.), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H.), Rauh bin Ubadah al-Bashri (w. 205 H.), Abd al-Razaq bin Hamam (w. 211 H.), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H.), dan Abd bin Humayd (w. 249 H.).[27]
APAKAH AL-QUR'AN MEMBUTUHKAN HERMENEUTIKA?
Mengapa teolog barat menggunakan metode hermeneutika untuk pengkajian kitab suci(Bibel)? Jawabannya adalah karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Aliran yang meyakini bahwa lafaz Bible itu Kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible.[28]
Keadaan itu berbeda dengan kaum Muslimin, yang bisa memahami Kalam Tuhan dari al- Qur'an baik "on the line" ataupun "between the line." Kaum Muslimin sepakat bahwa al- Qur'an itu adalah Kalam Allah yang ditanzilkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Kaum Muslimin juga sepakat bahwa secara harfiah al-Qur'an itu dari Allah. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur'an secara harfiah adalah ibadah dan diberi pahala; menolak bacaan harfiahnya adalah kesalahan; membacanya secara harfiah dalam shalat adalah syarat, dan memahami al-Qur'an secara harfiah juga dibenarkan, sementara terjemahan harfiah dan alihbahasanya tidak dikatakan sebagai al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya pernah menyatakan bahwa di antara pemahaman al-Qur'an itu adalah sejenis tafsir yang semua orang dapat memahaminya (la ya'dziru ahad fi fahmihi). Pemahaman yang seperti ini sudah tentu merujuk pada pemahaman lafaz harfiahnya. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz-lafaz harfiah al-Qur'an.
Perbedaan selanjutnya,bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa-bahasa Eropah yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, termasuklah bahasa Indonesia yang banyak mengambil dari Bible bahasa Inggris. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu originality.Fenomena seperti ini sama sekali tidak terjadi ditubuh Islam.
Bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur'an lebih baik dari Allah SWT atau Rasulullah SAW.? Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai al-Qur'an, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir, dan bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, yang diperlukan adalah ta'wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ta'wil juga tidak sama dengan hermeneutika, karena ta'wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafaz harfiah al-Qur'an. Jadi sebagai suatu istilah, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.[29]
Apalagi kemudian hermeneutika menjadi subjek filsafat,dilanjutkan dengan lahirnya berbagai macam aliran pemikiran. Walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanyalah menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada. Di sana ada Hermeneutics of Betti yang digagaskan oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada Hermeneutics of Hirsch yang digagaskan oleh Eric D. Hirsch (1928) seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika; ada Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.
Jika hermeneutika-hermeneutika itu ingin diterapkan untuk kajian al-Qur'an, hermeneutika yang mana yang ingin diambil? Lalu, mengapa hanya mengambil hermeneutika tertentu dan menolak yang lain? Kemudian, apa jaminannya hermeneutika yang diambil itu betul-betul menunjukkan pengertian yang sebenarnya mengenai al-Qur'an? Bukankah apabila mengambil hermeneutika tertentu, berarti itu pun sudah masuk dalam "school of thought" tertentu? Kalau begitu dimana objektifitasnya? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang lain.
PENUTUP
Untuk menutup makalah ini,kami akan mengutip salah satu pendapat Muhammad Asad(Leopold Weiss)mencatat bahwa peradaban barat hanya mengikuti tuntutan ekonomi,social dan kebangsaan.Tuhannya mereka yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan,kenikmatan duniawi saja.mereka mewarisi watak Romawi Kuno dalam berkuasa.serta menawarkan konsep keadilan ala Romawi perlu diingat konsep itu hanya berlaku pada bangsa Romawi saja.[30]
Dari pernyataan Asad menunjukkan bahwa barat tidak akan berhenti memasukkan worldview(pandangan hidup) mereka kedalam tubuh Islam,termasuk salah satunya adalah hermeneutika ditawarkan untuk mengkaji Al-Qur'an.
Beda dengan Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,Al-Qur'an senantiasa terjaga serta menaungi umat Islam dalam mengarungi kehidupan di dunia.Terbukti bahasa Al-Qur'an tetap satu bahkan terjemahan dari Al-Qur'an tidak bisa dikatakan Al-Qur'an.Disamping itu Al-Qur'an tidak bisa lepas dari kehidupan kaum muslimin,dalam hal ini tampak dalam shalat,syarat sahnya adalah membaca surat Al-Fatihah.
Tafsir bukanlah hermeneutike,keduanya mempunyai sudut pandang yang berbeda.demikian juga takwil tidak bisa disamakan dengan hermeneutika karena takwil tidak bertentangan dengan tafsir.
Kami kira sampai disini dulu,untuk pembahasan yang lebih detail akan kita kaji dalam Forum Diskusi dan Kajian IKAMARU Republik Arab Mesir. Mohon ma'af atas segala kesalahan dan kekerangan.
[1] Disampaikan dalam diskusi IKAMARU RAM(13 Oktober 2007)
[2] Peter de Rose,Vicarts of Christ:The Dark Side of the Papacy,(London:Bantam Press,1991),hal.155
[3] Dengan Edict tersebut,Constantine melarang persekusi terhadap semua jenis monoteisme di Romawi.ia juga memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh gereja untuk menjadi bagian dari administrasi pemerintahan.Jasa Constantine dalam sejarah perkembangan Kristen diakui banyak pihak.ia memelopori Konsili Nicea 325 M,yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja.Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian Orthodoxy.Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy.Dalam konsili ini ,aspek-aspek ketuhanan Jesus diputuskan melalui voting.(Lihat Michael Baigent,Richard Leigh,Henry Lincoln,The Messianic Legacy),New York:Dell Publishing 1986,hal.36-42
[4] Karel Armstrong,Holly War……,(London:McMillan London Limited,1991),hal.62-63
[5] Eric O. Hanson,The Chatholic in World Politict,(Princeton:Princeton University Press,1987)hal.24-26
[6] Bernard Lewis,What Went Wrong?:Western Impact and Middle Eastern Response,(London:University of California Press,1993),hal.115
[7] Pendapt Leeuwen dikutip dari buku Mark Juergensmeyer,The New Cold War,(London:University of California Press,1993),hal.16-17
[8] Michael Beigent,Richard Leigh,Henry Lincoln,The Messianic Legacy,(New York:Dell Publishing,1986),hal.36-42
[9] Owen Chadwick,The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century,(New York:Cambridge University Press,1975),hal.27
[10] Ahed Framz Kramleky, Manahij'l Bahtst fi'l Dirosat al-Islamiah, Bairut,2004, hal. 250
[11]Dr.Ugi Suharto, Apakah al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika?, dalam Majalah Islamia, Edisi perdana, Maret 2004, Khairul Bayan.hal. 46-47.
[12] Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, hal. 3-4. Disampaikan dalam Workshop Pemikiran Islam dan Barat di IKAHA, 3-5 Juni 2004
[13] Hamid Fahmi Zarkasyi. Op. cit., hal.11.
[14] Ilham B. Saenong, Sejarah Kalam Tuhan, terj. The Hermeneutical Problem of The Qur’an in Islamic History karya Muhammad Atha’ al-Sid, cet. I, 2004, Teraju Mizan, hal. 11.
[15] Dr. Muhammad Husayn al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, cet. II, 1976, vol. I, hal. 14.
[16] Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, Wizârah al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, vol. I, hal. 44.
[17]Secara umum dapat dikatakan bahwa istilah teks dipergunakan dalam dua bidang epistimologi yang saling mempengaruhi yaitu bidang “analisa wacana” dan “ilmu tentang tanda” atau semiotika (semiologi). Dalam semiotika, konsep teks bermakna luas, mencakup seluruh sistem tanda yang dapat memproduksi makna secara umum. Dalam cakupan konsep ini teks linguistik termasuk di antaranya (baik teks al-Qur’an, Hadîts, kesusastraan, maupun teks dalam dokumen hukum), sebagaimana teks- teks non-linguistik, seperti pesta, simbol, model coktail, terutama seni-seni audio-visual, seperti musik, patung iklan, karikatur dan lainnya. Namun, istilah “teks” dalam “analisa wacana terbatas” hanya pada sistem tanda bahasa yang dapat memproduksi makna secara umum.
[18] Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’an,
[19] Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait. Op. cit., vol. XIII, hal. 94.
[20] Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqany. Loc. cit.
[21] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
[22] Dr. Muhammad Husayn al-Dzahabi, Op. cit., hal. 57-58 & 63.
[23] Abi Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Farnathi, al-Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, Dâr al-Rasyâd al-Hâditsah, vol. I, h. 25-26
[24] Sahabat Nabi lainnya yang penafsirannya dapat dijadikan pegangan adalah Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah al-Anshari, dan Umm al-Mu’minîn Aisyah ra. Namun penafsiran yang diterima dari mereka tidak sebanyak tafsir yang diterima dari sepuluh sahabat yang telah disebutkan di atas. Lihat Dr. Muhammad Husayn al-Dzahabi. Op. cit., h. 63.
[25]Ibid, h. 75
[26]Ibid, h. 35.
[27]Mana’ Khalil al-Qathan, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’an, (pent.) Drs. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an,
[28] Encyclopaedia Britannica, Literal interpretation asserts that a biblical text is to be interpreted according to the "plain meaning" conveyed by its grammatical construction and historical context. The literal meaning is held to correspond to the intention of the authors. This type of hermeneutics is often, but not necessarily, associated with belief in the verbal inspiration of the Bible, according to which the individual words of the divine message were divinely chosen. Extreme forms of this view are criticized on the ground that they do not account adequately for the evident individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors.
[29]Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan: Indeed, it was because of the scientific nature of the structure of the language that the first science among the Muslims - the science of exegesis and commentary (tafsir) became possible and actualized; and the kind of exegesis and commentary not quite identical with Greek hermeneutics, nor indeed with the hermeneutics of the Christians, nor with any 'science' of interpretation of sacred scripture of any other culture and religion.
[30] Muhamad Asad,Islam at The Crossroads,(Kuala Lumpur.The Other Press),hal.26-29.Edisi pertama buku ini dicetak tahun 1934 oleh Arafat Publications Delhi and
0 komentar:
Posting Komentar