Welcome to Nur Fadlan Blog

Senin, 30 November 2009

Rumah Daerah Menjawab Paradigma Pendidikan Yang Pincang




Nur Fadlan



I. Pendahuluan

Hannibal, "Belajarlah dari masa lalu, tapi jangan hidup di dalamnya." Pernyataan ini, mengajak kepada kita untuk mengetahui dan mempelajari masa lalu, akan tetapi kita harus terus membuat kebijakan atau pandangan baru yang kita anggap sebagai komponen-komponen kemajuan bangsa.

Para pengambil kebijakan di negara tercinta, mengambil paradigma-paradigma pendidikan yang mereka anggap relevan dan mampu merekonstruksi pola pikir kerdil yang selalu menghantui anak bangsa. Dengan demikian, anak bangsa difasilitasi berbagai kebijakan guna pencapaian cita-cita bangsa yaitu pembangunan nasional.

Kemudian, bagaimanakah sikap para pengambil kebijakan terhadap mahasiswa luar negeri khususnya mahasiswa yang ada di Mesir? Secara fisik pemerintah daerah sudah memberi fasilitas kepada para mahasiswa di Mesir lewat pembangunan rumah daerah. Mengingat, nyaris tidak ada kegiatan kemahasiswaan di kampus kita. Rumah daerah ini, bisa kita jadikan ajang berlatih guna mengisi tanggung jawab anak bangsa di masa mendatang.

Di sisi lain, Al-Azhar University tetap mempertahankan paradigma klasiknya yang merupakan wajah dari Al-Azhar itu sendiri. Dari sini dapat kita lihat, peradigma yang sudah digagas pemerintah atau pun yang masih dipakai Al-Azhar University mempunyai beberapa karakteristik tersendiri. Apakah paradigma-paradigma itu merupakan langkah final atau masih bersifat erratic? (tambal sulam).

Kalaupun paradigma di atas masih belum final, berarti paradigma tersebut belum mampu menjadi bekal utuh yang mampu menelorkan generasi tangguh untuk merintis perkembangan bangsa. Bagaimana dengan mahasiswa di Mesir? Kampus yang gersang dengan kegiatan kemahasiswaan, kurangnya mahasiswa yang sadar intelektual, etos kerja yang berantakan, kedisiplinan yang semakin memudar. Apakah ini karakter dari calon penggagas kemajuan masa depan bangsa?

Lagi-lagi kita membutuhkan wadah untuk berbagi permasalahan, saling mengisikan semangat yang senantisa terkikis seiring bergulirnya waktu, serta melakukan kegiatan kemahasiswaan yang merupakan komponen-komponen kemajuan bangsa. Rumah daerah merupakan muara dari rancangan gerak kita ke depan, mengingat nyaris tidak ada kegiatan kemahasiswaan di kampus kita.

Di samping itu juga, kita bisa berlatih merancang dan merealisasikan paradigma yang kita anggap lebih komprehensif untuk menjawab semua tantangan bangsa di lingkungan rumah daerah.

II. Peranan dan Paradigma Pendidikan

Dalam tulisan yang berjudul Educated and Development: A Conflict Meaning karya John C. Bock (1992), mengidentifikasikan paranan pendidikan sebagai; Pertama, memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa. Kedua, mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial. Ketiga, untuk meratakan kesempatan dan pendapatan.

Ketiga peranan pendidikan di atas, kalau kita kaji secara mendalam memuat beberapa poin penting dalam mengisi elemen pembangunan bangsa. Peran pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan peran yang lain merupakan fungsi ekonomi. Kedua poin ini, sangat mendukung dalam bangun rancang kemajuan bangsa.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional, muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan mutu pendidikan. Ada pun kedua paradigma itu adalah; Paradigma Fungsional dan Paradigma Sosialisasi. Paradigma Fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Tindak lanjut dari paradigma ini adalah memunculkan Human Investment yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan atau dengan kata lain, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan investasi dalam bidang fisik.

Sedangkan Paradigma Sosialisasi melihat peranan dalam pembangunan adalah mengembangkan kompetensi individu. Kompetensi yang lebih tinggi dianggap diperlukan untuk meningkatkan produktifitas. secara umum, meningkatkan kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruan. Paradigma Sosialisasi ini, mengajarkan; Pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Setelah para pengambil kebijakan memakai dua paradigma atau salah satu dari paradigma di atas, tampak pengaruh yang muncul di antaranya; Melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistik dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Sedangkan mekanistik, menjadikan pendidikan dengan pola Input-Proses-Output. Pola ini, menjadikan sekolah atau universitas bagaikan proses produksi.

Pengaruh yang lain dari dua paradigma di atas adalah para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan inovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan.

III. Paradigma Al-Azhar University

Kegiatan belajar mengajar tanpa disertai daftar hadir, mahasiswa lebih cenderung pasif dari pada aktif, mayoritas dari mahasiswa hadir ke kampus hanya untuk meminta tasdiq (rekomendasi) untuk memperpanjang visa tinggal, membeli diktat kuliah, melihat jadwal ujian, melangsungkan ujian serta hal lain yang sifatnya aministratif. Fenomena di atas adalah gambaran nyata dari kampus tercinta kita.

Budaya di Al-Azhar University, mempunyai pengaruh penting kepada semua peserta didik dalam menentukan perkembangan suatu bangsa. Lebih mengerucut ke negara tercinta, Indonesia mempunyai beberapa tumpuk masalah belum terselesaikan. Kita, selaku kaum akedemisi mempunyai tanggungJawab untuk memecahkan atau mencari solusi cerdas dari derita bangsa yang berlarut-larut.

Lagi-lagi masalah paradigma, dua paradigma yang sudah dipakai di negara kita adalah bentuk adopsi dari negara-negara maju. Dengan harapan para sarjana mampu membawa lentera menuju kemajuan bangsa. Sekarang, selaku mahasiswa Al-Azhar kita berhak tahu paradigma apa yang dipakai oleh universitas paling tua itu.

Paradigma Al-Azhar University cukup rumit didefinisikan apakah Al-Azhar memakai paradigma fungsional atau paradigma sosialisasi. Rabaan global dari paradigma universitas yang memperoleh julukan masdarul ulum lebih dekat pada struktur paradigma sosialisasi dari pada paradigma fungsional. Akan tetapi, paradigma sosialisasi tidak sesederhana itu, paradigma ini terus-menerus mengembangkan kompetensi individu tapi tetap melakukan organize terhadap peserta didiknya. Hal ini, yang belum bisa kita katakan bahwa paradigma sosialisasi bersandingan dengan paradigma Al-Azhar University.

Hemat penulis, Al-Azhar University mempunyai paradigma tersendiri yang belum bisa disejajarkan dengan paradigma fungsional maupun paradigma sosialisasi. Paradigmanya senantiasa dipertahankan. Meski demikian, seiring dengan perjalanan waktu dan kebutuhan, paradigma Al-Azhar University mengalami sedikit perubahan dan revisi akan tetapi tetap dalam struktur paradigma pokok.

Analisa kritis akan bertanya-tanya, kenapa paradigma Al-Azhar University senantiasa dipertahankan? Padahal tuntutan serta tantangan zaman semakin kompleks. Apakah cukup bagi calon pembangun bangsa porsi pembelajaran yang hanya melibatkan ujian. Ringkasnya belajar untuk ujian. Padahal ketika peserta didik dilepaskan dalam lapangan kehidupan, secara otomatis mereka akan berbenturan dengan hal-hal kongrit yang sama sekali berbeda dengan teori-teori diktat kuliah.

Atau sebuah alasan kenapa kampus kita tetap mempertahankan paradigmanya? Secara garis besar setiap institusi mempunyai worldview (pandangan hidup) masing-masing, sehingga tidak menutup kemungkinan, kalau Al-Azhar University punya alasan sendiri kenapa tetap mempertahankan paradigma klasiknya.

IV. Kelemahan dan Masalah Yang Muncul

Paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi adalah kiblat nomer satu bagi para pengambil kebijakan di negara Indonesia. Seirama dengan itu, paradigma klasik Al-Azhar University senantiasa dipertahankan. Apakah ketiga paradigma tersebut merupakan langkah final untuk menelurkan sosok pembangun masa depan tanah air tercinta? Sedangkan perkembangan, kedewasaan, tingkat masalah, kebutuhan senantiasa berkembang sejalan dengan bergulirnya waktu.

Analisa kritis terus mengevaluasi, apakah paradigma yang diambil para pengambil kebijakan di Indonesia dan paradigma yang dipakai di kampus tercinta kita, sudah cukup untuk menjawab semua tantangan bangsa mendatang. Kajian mendalam menarik sebuah benang merah bahwa paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi mempunyai beberapa kelemahan di antaranya; Pertama, paradigma fungsional dan sosialisasi tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu.

Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth melainkan gerbong dalam pembangunan.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki anggapan bahwa pendapatan individu mencerminkan produktifitas yang bersangkutan. Asumsi ini sangat bertentangan dengan fakta di lapangan. Di dunia praktek, pengalaman kerja lebih diutamakan dari pada pengalaman akademis. Randal Collins, lewat karyanya The Credential Sociaty: An Historicaf of Education and Stratification (1979) mengemukakan; Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktifitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat diperoleh dari dunia kerja formal. Seirama dengan pernyataan tersebut, bisa dikatakan bahwa tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individu, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktifitas.

Kembali ke paradigma Al-Azhar University, paradigma klasik terus dipertahankan. Ringkasnya, paradigma ini senantiasa mewarnai pola pikir kita karena mau tidak mau paradigmanya akan bersentuhan dengan nalar peserta didik hingga empat tahun atau lebih. Kalau kita tarik paradigma ini lima atau sepuluh tahun mendatang di negara tercinta Indonesia, apakah cukup untuk menjawab semua tantangan kehidupan yang semakin kompleks?

Sebagai peserta didik dan kaum akademisi, tentunya kita lebih paham bagaimana paradigma Al-Azhar University, sebenarnya apa visi dan misi universitas itu, kenapa harus memilih worldview klasik itu, serta bagaimana nantinya ketika kita sudah pada lewel implementasi ke tanah air.

Kalau kita mengatakan paradigma Al-Azhar University sudah cukup untuk menjawab semua tantangan bangsa kita, kayaknya statemen ini terasa masih mengganjal. Apakah sesimpel itu tantangan dan kebutuhan masa mendatang bangsa? Jika kita mengatakan paradigma Al-Azhar University mutlak salah, rasanya juga belum bisa statemen ini kita jastifikasikan ke universitas tertua itu. Karena Al-Azhar University mempunyai tujuan tersendiri mengapa harus memilih pandangan hidup seperti itu.

V. Posisi dan Fungsi Rumah Daerah

Gass lewat tulisannya yang berjudul Education versus Qualifications (1984) menyatakan, pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Pernyataan di atas mengingatkan kita pada pengangguran terdidik Indonesia tahun 2001 yang mencapai 800 ribu dengan status tamatan perguruan tinggi. Dari fenomena itu, seharusnya kita mengambil langkah cerdas demi mengurangi resah bangsa kita.

John Stuart Mill, seorang ekonom Inggris menyatakan, "Kesuksesan suatu bangsa adalah akumulasi kesuksesan warganya." Pernyataan ini seharusnya menjadi batu loncatan gaya berfikir kita untuk selalu sukses, karena kesuksesan kita termasuk salah satu komponen dari kesuksesan bangsa.

Dari sekarang, seharusnya kita sudah mulai berfikir tentang kontribusi apa yang akan kita sumbangkan untuk negara paska studi? Langkah pertama tentunya pertanyaan, apakah hal yang kita dapat di bangku akademis cukup atau kurang? Seperti yang kita tahu, organisasi kemahasiswaan nyaris tidak ada di kampus kita. Padahal Indonesia akan terus membutuhkan orang-orang yang mempunyai skill menegemen, mandiri, disiplin yang tinggi, serta yang tidak ketinggalan adalah moral, nilai dan karakter yang baik.

Seirama dengan penuturan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "Pendidikan di Indonesia tidak boleh hanya terkait dengan transfer ilmu dan teknologi namun juga harus mampu membentuk nilai serta karakter bangsa." Pernyataan ini, secara tersirat menandung beberapa pesan kepada anak bangsa untuk selalu meningkatkan multi skill yang di butuhkan tanah air mendatang serta terus mempertahankan nilai-nilai luhur demi karakter bangsa.

Pertanyaan besar muncul bagaimana dengan mahasiswa yang ada di luar negeri, Mesir khususnya. Kampus yang gersang dengan kegiatan kemahasiswaan seperti diskusi, penetapan konsep kegiatan, motoring kegiatan, evaluasi, jurnalistik, pelestarian budaya dan hal lain yang bersifat positif.

Beberapa tahun yang lalu, masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) membuat kelompok sesuai dengan daerah masing-masing. Beberapa di antaranya melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu mahasiswa di Mesir dengan membangun rumah daerah sebagai sentral kegiatan kemahasiswaan.

Rumah daerah menempati posisi yang sangat penting dalam pematangan mahasiswa Indonesia di Mesir. Mengingat paradigma yang diambil Al-Azhar University sangat gersang dengan kegiatan kemahasiswaan. Sementara tuntuan, tantangan, kebutuan, kemandirian dari setiap individu paska studi harus benar-benar pada porsi yang tepat.

Rumah daerah bisa kita jadikan sebagai latihan dasar dalam mengelola tanah air. Bayangkan Indonesia mempunyai 45 propinsi, 421 kabupaten, 4040 kecamatan dan 70.000 desa, tanpa latihan dari awal sepertinya nonsen kita bisa membangun masa depan bangsa. Rumah daerah bisa berfungsi untuk mempertahankan budaya daerah, diskusi, latian jurnalistik, sarana komunikasi antar anggota tentunya untuk menggagas mega planing paska studi nantinya.

VI. Tawaran Solusi

Paradigma fungsional dan sosialisasi yang selama ini telah menjadi kiblat paradigma para pengambil kebijakan di Indonesia serta paradigma Al-Azhar University yang ikut serta dalam mewarnai pola pikir kita. Ternyata ketiganya belum mampu melakukan penggodokan secara utuh dan dalam porsi yang pas untuk tujuan pembangunan bangsa mendatang.

Lewat rumah daerah kita bisa menciptakan atmosfer paradigma terbaik guna menjawab semua tantangan bangsa. Paradigma pendidikan paling baru dan masih dianggap relevan terhadap pendidikan sekarang harusnya tidak bersifat linear dan unidimensional, melainkan peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan yang lain.

Sehingga, selaku kaum akademisi kita harus mengembangkan multi skill mulai sejak dini. Dengan kata lain, sejak di Mesir kita harus meningkatkan kualitas intelektual dan skill guna menjawab semua tantangan mendatang. Kalaupun di kampus tercinta kegiatan kemahasiswaan nyaris tidak ada, kita bisa melakukannya di rumah-rumah daerah. Di samping itu, kita juga bisa melakukan mega planing demi kemajuan bangsa yang senantiasa dibudayakan di rumah-rumah daerah.

Mega planing ini misalnya: Pertama, penggagasan pesantren intensif di luar pulau Jawa. Pesantren yang direncanakan, di samping terus meningkatkan sumber daya peserta didik dalam hal ini adalah intelektual dan praktek. Di samping itu, peserta didik diajak bersentuhan langsung dengan dunia produksi yang nyata, dengan tujuan untuk mengurangi rasa canggung ketika mereka berencana merintis proyek dengan skala mega paska studi yang tidak jauh beda dengan apa yang mereka pelajari dan lakukan ketika masa studi.

Rumah daerah menjadi terminal yang sangat strategis untuk penggagasan mega proyek. Di samping itu, antar anggota terdapat multi pengalaman dan latar belakang yang berbeda-beda, sehingga take and give akan semakin melengkapi pandangan kita untuk membangun bangsa. Misalnya, pesantren intensif terencana akan melibatkan peserta didik dengan proses produksi yang dianggap relevan pada daerah sekitar. Seperti peternakan ikan, tanam jati emas, peternakan sapi, pembuatan mebel, pabrik pakan ternak, produksi bahan bangunan dan lainnya.

Kedua, rumah daerah juga bisa berfungsi memperkuat relasi antar anggota. Tindak lanjut dari konsep relasi antar anggota adalah para anggota rumah daerah setelah kembali ke tanah air bisa mengembangkan pola kerja ala China. Pola ini sering disebut dengan Village/Township Enterprise (VTE) yaitu dikembangkan secara terpadu oleh pemerintah, pengusaha, pendidikan dan masyarakat skala desa dan kota. Semuanya dirancang rapi sehingga satu unit pemukiman secara bersama menetapkan jenis produksi yang akan mereka hasilkan.

Logikanya, dari sekian anggota rumah daerah tidak menutup kemungkinan akan ada yang menjadi pemerintah, seorang pengusaha ataupun akademisi sehingga mereka akan menerapkan pola kerja ala China seperti halnya yang sudah dijelaskan di atas. Dalam hal ini, rumah daerah akan ikut andil dalam pengembangan kemajuan bangsa.

Dua contoh di atas hanya sampel dari beberapa fungsi rumah daerah. Sedangkan fungsi lain dari rumah daerah masih banyak lagi. Seperti hubungan antar mahasiswa semakin akrab, budaya menagemen, diskusi, jurnalistik, perhatian terhadap budaya daerah serta masih banyak lagi manfa'at yang bisa kita ambil dari rumah daerah.

VII. Kesimpulan dan Penutup

Paradigma fungsional dan sosialisasi yang sangat diimpikan para pembuat kebijakan serta paradigma Al-Azhar University ternyata belum mampu membawa kita untuk menghantarkan pada komponen-komponen kemajuan bangsa.

Sebuah paradigma baru muncul berbarengan dengan paradigma yang masih pincang, yaitu paradigma pendidikan yang tidak bersifat linear dan undimensional, melainkan peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan yang lain.

Paradigma baru di atas, bisa kita kolaborasikan dengan keberadaan rumah daerah di Mesir, mengingat nyaris tidak ada kegiatan kemahasiswaan di kampus kita. Dengan kata lain rumah daerah kita jadikan ajang berlatih berbagai disiplin keahlian demi kemajuan bangsa Indonesia.

Demikianlah sebenarnya, kenapa rumah daerah disetujuai oleh pihak pemerintah, yang tak lain tujuannya hanya untuk mengembangkan multi skill bagi para mahasiswa Indonesia di Mesir. Wallahua'lam []

* * *


DAFTAR PUSTAKA

• Ibrahim, Marwah Daud. Mengelola Hidup & Merencanakan Masa Depan. MHMMD Production Simpul Madani, Jakarta, 2004
• Hauli, Amin. Al-A'mal Al-Kamilah Al-Mujtahidun fil Islam. Misriyah Al-Kitabah lil Ammah, Kairo, 1992
• Gymnastiar, Abdullah. Kiat Membentuk Pribadi Sukses. MQS Pustaka Grafika, Bandung, 2001
• Sulaiman, Fathiyah Hasan. Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali Solusi Menghadapi Tantangan Zaman. Dea Press, Jakarta, 2000
• Conveying Islamic Message Society. Stories of New Muslims
• Al-Hilali, Majdi. 38 Sifat Generasi Unggulan. Gema Insani, Jakarta, 1999
• Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer. Arkola, Surabaya, 1994

0 komentar:

Posting Komentar