Welcome to Nur Fadlan Blog

Senin, 30 November 2009

Formulasi Sekulerisme Versus Qordhowi


Judul : Ad-Dhin wa as-Siyâsah

Pengarang : DR. Yusuf al-Qordhôwi

Penerbit : Dar asy-Syurûq

Kota terbit : Kairo

Tahun terbit : 2007

Cetakan : Pertama

Tebal buku : 242 halaman

Ukuran : 23 X 15 cm

Cover : Biasa

Tema : Politik

Resensator : Nur Fadlan


Dalam perjalanannya umat manusia senantiasa membuat miniature-miniatur kecil. Dari sini mereka mampu berinteraksi dengan golongan yang mereka anggap sebagai komunitas yang sejalan. Tentunya itu semua tidak terlepas dari benturan-benturan paradigma, hingga akhirnya muncul pemahaman untuk mendirikan aturan-aturan dalam kehidupan yang komunal. Tidak bisa bipungkiri bahwa setiap individu pastinya memiliki pemikiran yang berbeda dan dalam sebuah komunitas manusia hendaknya membuat semacam aturan hingga harmonisasi dari perkumpulan itu dapat dicapai.


Dalam perjalanannya ternyata komunitas itu membutuhkan sebuah figur yang mampu mengelola dan mengatur komunitasnya supaya dapat mencapai hal yang diharapkan. Pertaruan dan saling berebut menjadi sang penentu kebijakan pun terjadi di fase ini. Dari sini, mulai lahir yang namanya politik. Politik tidak hanya berhenti sampai di sini saja, ternyata dia menalami metamorfosis untuk terus berkembang termasuk dalam bernegara. Sekarang timbul pertanyaan besar, apakah ada koherensi antara politik dan agama?


Dalam buku Ad-Dhin wa as-Siyâsah, sang penulis membahasnya dengan begitu gamblang. DR. Yusuf Qordhowi, membagi buku ini dalam lima bab pokok. Bab pertama menjelaskan tentang memahami arti kata ad-dhin dan kata as-siyâsi. Penulis menggiring pemahaman ini dari intepretasi menurut fuqoha' hingga sampai pada kelompok filusuf.


Dalam perjalanannya, agama dan politik selalu mengalami perdebatan panjang. Tidak peduli apakah politik itu masuk dalam ranah agama Islam atau agara lainnya, Krinten atau Yahudi. Politik dianggap memiliki peranan dalam menentukan beberapa hal yang berkaitan dengan agama. Di sini DR. Yusuf Qordhowi menjelaskan dalam bab yang ke duanya tentang korelasi antara agama dan politik dalam sudut pandang agama. Tidak lupa sang penulis pun melengkapi dengan politik menurut worldview kaum sekuleris.


Dalam bab yang ke dua ini, kaum sekuleris menolak bahwa Islam memiliki ajaran yang universal. Menurut mereka Islam hanyalah norma-norma kebaikan yang mengatur perihal kehidupan bermasyarakat umat manusia. Mereka masih terkekang dalam trauma panjang terhadap agama. Apalagi kalau mereka mendengar kata agama Kristen. Hegemonial Kristen terus-menerus menjangkiti mereka hingga mereka sangat alergi dengan kata 'agama'. Kaum sekuleris lebih memilih hidup dalam kebebasan, memisahkan hal-hal prinsipil agama dengan kehidupan manusia. Misalnya dalam berpolitik mereka lebih suka dengan konsep-konsep baru yang condong pada ajaran sekulerisme dari pada menginduk pada agama.


Traumatik mereka hingga memilih jalan sekuler liberal akibat trauma terhadap sejarah hegemoni Kristen, ketidak autentikan Bibel serta kerancuan dalam triniatas. Hal ini yang mengakibatkan mereka keluar dari orbit agama ketika menjalankan roda politik. Menurut mereka politik adalah produk manusia bukan produk Tuhan, sehingga Tuhan tidak mempunyai otoritas untuk mengatur kehidupannya. Termasuk dalam berpolitik.


Kemudian sang penulis menjelaskan dalam poin yang kedua dari bab kedua ini tentang hakikat politik. Apakah agama berasal dari politik ataukah sebaliknya. Hal ini sangat menarik sekali, karena hal tersebut bisa bersentuhan dengan tokoh Al-Mawardi. Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthoniyah-nya menjelaskan tentang hukum-hukum sang penguasa. Uniknya lagi dalam buku ini Mawardi menulis pengantar sebanyak dua puluh halamam yang senantiasa membenarkan tentang penguasa dan dalam mematuinya. Lebih menarik lagi ketika, salah seorang pemikir sekuler sedikit memberikan tuduhan dan kritik terhadap Mawardi. Dalam bukunya Naqt al-aql al-arabi, DR. Abid al-Jabiri menuliskan dalam prosa panjang tematik itu menuduh mati-matian Mawardi sebagai tokoh yang pernah mengislamisasikan aturan-aturan kekaisaran Persia dalam kitab al-Ahkam as-Sulthoniyahnya. Menurut Jabiri, keharusan patuh mutlak terhadap kekaisaran adalah budaya Persia yang pernah diislamisasikan oleh Mawardi sehingga dari sini, apakah agama produk politik ataukah sebaliknya? masih dalam tahapan perdebatan antara pemikir progresif dan konservatif.


Kemudian DR. Yusuf Qordhowi memaparkan dalam poin berikutnya, tentang politik; apakah lebih condong pada agama ataukah maslahah? Di sini mengingatkan pada perjalanan Muhamad Iqbal dalam membentuk formulasi negara Islami di Pakistan. Tapi apa yang terjadi, sampai sekarang Pakistan belum mampu untuk menjadi obyek sesuai dengan yang diinginkan Muhamad Iqbal. Pemerintah dan rakyatnya masih menggunakan asas sekuler dalam menjalankan aturan-aturan bernegara. Tidak menutup kemungkinan bahwa formulasi-formulasi kenegaraan yang diproyeksikan Muhamad Iqbal masih begitu melangit dalam tahapan aplikatif.


Kemudian DR. Yusuf Qordhowi, memaparkan pula perihal apakah politik itu stagnan ataukah dinamis. Tentunya perjalanan sebuah politik mengalami beberapa perkembangan akibat semakin majunya teknologi dan semakin kompleknya permasalahan yang menyelimuti kehidupan manusia. Politik terus berkembang seiring dengan perkembangan waktu, tidak ada kata stagnan bagi politik. Komplektisitas politik mengalami lompatan-lompatan yang begitu jauh untuk menempuh sebuah tujuan. Di sini DR. Yusuf Qordhowi mengamini perihal dinamisnya politik dalam perjalanannya.


Bab berikutnya DR. Yusuf Qordhowi menjelaskan tentang agama dan negara dalam Islam. Apakah keduanya memiliki keterikatan ataukah keduanya keluar dari rahim yang berbeda. Ilustrasi Nabi Muhammad perihal dua hal itu sangat kentara dalam perjalanannya di Madinah. Nabi di samping menjadi seorang pimpinan agama sekaligus menjadi pimpinan komunalitas masyarakat Madianah saat itu.


Di sini disinyalir, bahwa agama dan negara adalah satu rahim dan bukan bagian yang terpisah sebagai mana yang dituduhkan oleh kelompok sekuleris. Mereka lebih menganggap negara dan agama adalah sesuatu yang terpisah dan sangat susah untuk diketemukan. Di sini, DR. Yusuf Qordhowi menjelaskan bab ini dalam beberapa poin yang begitu menarik. Awalnya beliau mengajak pada pemahaman hak Islam dan negara. Hal ini menempati urutan yang sangat luar biasa menurut Qordhowi. Islam adalah agama terbesar di dunia, hendaknya memiliki pandangan hidup yang menggerakkannya dalam skala dunia. Hingga akhirnya Qordhowi kurang begitu interest terhadap ideologi sekulerisme dan aplikasinya dalam bernegara. Menurutnya kalau kita masih memiliki ideologi yang lebih baik dari pada sekulerisme, kenapa harus memilih sekulerisme.


Berikutnya, Qordhowi menggiring pada umat muslimin untuk memahami politik Islam sebagai mana mestinya. Boleh mengkritisi tapi tetap dalam norma dan memberikan solusi, tidak langsung berasumsi untuk merekonstruksi atau mendekonstruksi politik yang pernah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Menurutnya, lebih menitik beratkan pada konsep tambal sulam atau revisi. Kalau sang pendahulu kita memang ada di dalamnya kecacatan, maka hal tersebut tidak perlu kita pertahankan. Dan kita boleh menyerap beberapa hal yang baru yang belum pernah ada masa dulu tapi kalau itu layak dan sesuai dengan norma-norma agama hendaknya hal tersebut harus terus direalisasikan. Mengingat sebuah politik adalah mengalami dinamisasi.


Tentang negara Islam, Qordhowi mengatakan bahwa idealisasi dari konsep negara kontemporer adalah seperti itu. Harusnya setiap dari kita terus mengimprovisasi segala sesuatu yang mengakibatkan semakin dewasanya konsep-konsep dalam bernegara walau pun masih menyisahkan sedikit konsep sekulerisasi. Tapi perlu diketahui bahwa tidak semua konsep sekuler itu pelapukan terhadap politik Islam, cuman ketika hal tersebut masih bisa kita temukan dalam pandangan hidup umat Islam kita hendaknya mengambil dari Islam dulu. Jangan terburu-buru dengan produk yang ditelurkan oleh orang-orang barat karena kita tidak tahu sumbernya, apalagi dalam catatan Karen Amstrong, konsep itu lahir akibat traumatik terhadap agama. Bisa diambil benang merah bahwa konsep sekuler adalah konsep yang sedikit bertentangan dengan aturan Illahiyah karena lahir dari trauma agama, produk dari Tuhan.


Berikutnya, Qordhowi memaparkan bahwa negara Islam adalah negara syura (musyawarah) untuk mengambil mufakat. Seperti yang kita ketahui konsep ini adalah konsep terbaik sampai saat ini, kenapa demikian? Pengambilan secara mufakat akan mengurangi subyektifitas konklusi yang akan didapatkan. Berbeda dengan konsep sekulerisme. Konsep ini dalam pengambilan keputusan, selalu mengirimkan wakilnya yang mereka belum tahu secara mendalam hakikat sang utusan itu. Banyak kejadian dari konsep mengirimkan wakil adalah keputusan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan atau keluar dari koridor agama diakibatkan subyektifitas personal. Yang menjadi catatan di dalam pemahaman Qordhowi adalah konsep syura harus diaplikasikan di dalam kehidupan manusia dari kehidupan yang terkecil hingga skala yang lebih besar, bernegara.


Tentang negara Islam yang sampai sekarang hanya bergulir pada wacana, Qordhowi memaparkan bahwa hal tersebut memang pernah tertelan oleh waktu dan kondisi yang tidak bersahabat. Cuman perintisan kembali adalah bukan bentuk dari keterlambatan. Dari sini tampak sekali subyektifitas Qordhowi dalam memenangkan konsep negara Islam ditimbang sekuler. Dalam hal ini, pemikir dan negarawan Mesir, DR. Said Asmawi memaparkan dalam berbagai bukunya perihal politik Islam. Menurutnya Islam adalah agama yang memiliki multi inteprestasi, sehingga dari sini konsep apa pun pada hakikatnya adalah sesuai dengan Islam, termasuk sekulerisme. Dalam poin ini Qordhowi sedikit memaksakan kehendak untuk mengatakan bahwa paradigma Islam hendaknya dimenangkan dari pada paradigma sekulerisme. Padahal menurut pemikir lainnya tidak seperti itu.


Seperti yang kita ketahui bersama bahwa negara Islam 'sistem khilafah' sangat langka bahkan nyaris tidak ada dalam perjalanan politik dewasa ini. Sehingga terasa sangat aneh ketika Qordhowi memaksakan kehendaknya dalam mengalahkan sekulerisme. Padahal menurut berbagai pandangan, Said Asmawi termasuk juga Hasan Hanafi mengajak kita untuk melakukan reinteprestasi terhadap al-Qur'an dan al-Hadist supaya mendapat terobosan lebih maju dalam penataan kehidupan manusia, termasuk berpolitik. Jadi titik tolak Qordhowi tidak sepenuhnya kita amini dan ikuti, karena apa pun itu, tidak terlepas dari subyektifitas personal.


Bab keempat, Qordhowi membuat peratanyaan; apakah sekulerisme koheren dengan zaman sekarang ini ataukah tidak? Bahkan malah merusak ideologi negara. Tentunya Qordhowi mengamini bahwa sekulerisme merusak paradigma bernegara dikarenakan sebuah pemahaman yang salah dan terus dipertahankan. Pandangan ini hendaknya kita kritisi secara lebih mendalam apakah benar semua konsep sekulerisasi bertentangan dan merusak paradigma bernegara. Tentunya, jawabannya bermacam-macam tergantung dari sudut pandang mana memandangnya. Dan di sini Qordhowi sangat radikat dalam menarik benang merah, sekulerisme adalah perusak.


Kalau boleh sedikit menarik dalam dimensi yang agak luas, apa pun itu dan relevan terhadap aturan-aturan Islam hendaknya dipertahankan. Tanpa harus membuat brand ini area larangan dan itu area anjuran.


Dipenghujung bukunya, DR. Qordhowi memaparkan tentang langkanya negara yang menggunakan basis Islam. Dari situ beliau mengajak kepada teman-taman yang sependapat untuk merealisasikan konsep-konsep itu hingga membumi.

* * *

Biodata

Nama : Nur Fadlan

No Hp : 0166749884

Email : habile9me@yahoo.co.id

Univesitas : Azhar

Fakultas : Syari'ah wal Qonun

0 komentar:

Posting Komentar