Hallaj
Al-Hallaj
“Sang Esoteris Dengan Wordlview Aneh”[1]
Ditulis Oleh : Nur Fadlan
Mereka menganggapku mampu mengerjakan apapun. Dan aku tidak mampu memberi mereka penjelasan yang dapat membebaskan mereka dari ketersesatan anggapan tersebut, maka mereka tetap dalam anggapannya bahwa diriku berkuasa mengabulkan do'a, bahkan kata mereka, diriku dianggap memiliki berbagai mu’jizat yang nyata. Siapakah aku ini, sehingga segala sesuatu meski diserahka kepadaku?
[Al-Hallaj]
Prolog
Abad ketiga Hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah Teologi dan Tasawuf Islam. Pada abad ini cahaya Ilmu Teologi dan Sufi benar-benar bersinar terang. Meruncing pada dimensi Suci, di abat ini para Sufi seperti Sari as-Saqathy, al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya. Di tengah pergolakan intelektual filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung dan aneh yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan kelompok kaum Sufi pun ada yang kontra bahkan memusui. Beliau adalah Husain bin Mansur al-Hallaj. Beliau adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam,[2] sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Metamorfosis kedawasaan dalam kerohanian Islam bias dikatakan sangat cepat berkembang untuk segera menuai tingkat yang lebih tinggi. Umat Islam di saat itu, mulai menata kehidupan mereka dan memilih jalan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan makrifat dan tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli Sufi dan Syiah pada abad tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang menunjukkan keanekaragaman dalam kehidupan mistik. Bisa dilihat pada sosok seperti al-Ghazaly, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), al-Harith al-Muhasibi (857 M) serta Husein Ibn Mansur al-Hallaj (858 M). Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah tuntas untuk dibahas, karena pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majelis, benang merah sangat susah untuk diketemukan. Yang terjadi malah upaya untuk saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik. Salah satu tokoh sufi Islam hidup pada saat tatanan sosial yang begitu amburadul sehingga dalam hal ini, menjadi sebuah ketertarikan tersendiri dalam mengkaji lebih dalam tentang sosok ini. Beliau adalah al-Hallaj, figur sufi kontraditif karena memiliki worldview yang berbeda dengan sufi lain pada masanya. Untuk lebih jelasnya sebagaimana berikut.
Biografi dan Menimba Ilmu
Nama lengkap al-Hallaj adalah Husain ibn Mansur al-Hallaj. Beliau adalah salah seorang ulama sufi yang hidup pada pertengahan abat ke 3 Hijriyah. Kota Thur adalah saksi bisu dari kelahiran beliau, daerah ini bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara. Tepatnya tanggal 26 Maret 866M (244H). Beliau merupakan seorang keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Agama Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 Masehi yang paling terkenal. Dalam kurun waktu antara 253-262H, beliau dibawa ayahnya, seorang penyortir wol (Hallaj), berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz, Tustar, Nahr Tira, Qurqub, dan tepat di tengah negeri Arab, Wasit. Bayi Hallaj benar-benar terarabisasi di kota megah Suni Hanbali, yang mewarisi aliran terkenal para pembaca al-Qur’an.[3] Yang menjadi nilai tersendiri dalam sebuah pengkajian sosok sufi al-Hallaj adalah beliau terpidana mati dan disaksikan oleh ratusan umat saat itu.
Mayoritas ulama Islam menganggap kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah, hal tersebut adalah sesuatu yang sangat mustahil.[4] Kaum sufi sezaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut. Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, tapi pada hakikatnya hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, mengilustrasikan kepada kita tentang legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa AS) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."[5]
Awal dunia akedemisnya, Beliau mengkaji Grammer Arab, membaca Al-Qur'an, Tafsir dan Ilmu Teologi. Ketika berusia 16 tahun, beliau menyelesaikan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Suatu hari pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari[6], seorang sufi yang berani dalam menyebarkan ruh hakiki Islam. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan kelas tinggi, misalnya puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Dari cerita ini, Al-Hallaj memutuskan untuk pindah ke Tustar dan berkhidmat kepada sufi ini. Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, Beliau berjumpa dengan Amr al-Makki[7] yang secara formal mengajarkan secara mendalam tentang Ilmu Tasawuf. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Setelah itu, beliau meninggalkan Amr dan mencari kedewasaan spiritual lainnya. Bisa dikatakan pertemuan al-Hallaj dan Amr diakhiri dengan suasana yang tidak harmonis.
Menjadi Murshid (Sang Guru)
Pasca perpisahan al-Hallaj dengan Amr, Beliau selalu membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain. Tentunya setelah dialog tentang pandangan sufi al-Hallaj, banyak reaksi yang bermunculan akibat ide-ide beliau, baik reaksi positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hallaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah.[8] Di Bashrah, beliau memulai mengajar, memberi kuliah, dan mengangkat beberapa murid. Al-Hallaj merupakan satu sosok yang getol melakukan dakwah publik (khutab), baik dilakukannya di pasar-pasar (aswaq), di pertemuan (majalis), dan di masjid-masjid. Sebagai figur publik, yang kerap berkhotbah secara mencolok, lahirlah tiga kelompok penentang, yakni dari kalangan sufi, para ahli fiqh, dan politikus. Secara umum yang membuat Hallaj dinilai kontroversial dan membuat kesalahan adalah karena ia (1) menyebarkan berita-berita tentang keajaiban-keajaiban ifsya' al-karamat; (2) karena da'wat al-rububiyat, perampasan kekuatan Tuhan, yang imam saja hanyalah petugas temporal, menurut Sunni, petugas spiritual dan sementara; (3) karena kejahatan zandaqa alias ajaran cinta Ilahiah.
Melihat tipologi pemikiran al-Hallaj, sang ayah mertuanya juga sangat tidak cocok dengan pandangan-pandangan al-Hallaj. Sehingga, hubungan mereka pun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Tanpa pikir panjang, beliau pun kembali ke Tustar bersama dengan istri dan adik iparnya.[9] Di Tustar beliau terus mengajar dan meraih keberhasilan yang gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik antara mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj.[10] situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam sendau gurau di dalam keindahan dunia yang fana.
Pada akhirnya al-Hallaj menembus dunia baru, dunia sufi beliau tinggalkan selama beberapa tahun, tapi al-Hallaj tetap terus mencari hakikat tentang Tuhan. Pada tahun 899M, beliau mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanan panjangnya nya, beliau mampu bertatap muka dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi dan latar belakang, di antaranya: Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Di samping itu, al-Hallaj juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian beliau aplikasikan dalam karya-karyanya. Ketika sudah tiba kembali di Tustar, beliau langsung mulai lagi aktifitasnya, mengajar dan memberikan kuliah. Beliau berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta, kosmologi dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Sehingga dengan metodologi pengajarannya, beliau dijuluki Hallaj al-Asrar[11]. Beliau berhasil menarik sejumlah besar jamaah, namun tipologi ajarannya yang tidak lazim dicerna oleh logika umat saat itu, akhirnya sejumlah ulama takut, dan ia pun dituduh sebagai orang yang mempercayai mantra.
Salah satu ajaran beliau yang telah dianggap oleh sejumlah ulama menyimpang dari rel-rel ajaran agama adalah sebagaimana ilustrasi berikut; al-Hallaj berkata, “Barang siapa yang sudah sampai pada tujuannya, dia tidak memerlukan perantara lagi, dia diperbolehkan mengabaikan perantara-perantara tersebut. Syariat boleh saja dilaksanakan tapi tetap dalam koridor sekedar formalitas; karena pelaksanaan syariat itu terkadang menyebabkan timbulnya halangan dalam menyelamatkan diri mereka.”[12] Pendapat ini oleh sebagian ulama saat itu dianggap sangat membahayakan bagi aqidah umat Islam, karena menganggap syariat hanyalah suatu perantara saja dan suatu ketika seseorang diperkenankan untuk mengabaikannya.
Di samping itu, al-Hallaj juga mengajarkan bahwa Tuhan itu memiliki sifat Lahut dan Nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana suatu tingkat di mana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatlah lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk Hulul-Nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral yaitu roh.[13]
Setelah satu tahun di Tustar, beliau menunaikan ibadah haji yang kedua.[14] Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad. Beliau memilih negeri ini karena mengetahui bahwa negeri ini adalah negeri yang sangat terkenal para tokoh sufinya. Di negeri ini beliau pun mulai bersahabat dengan sufi-sufi terkenal, diantaranya; Nuri dan Syibli.
Pada tahun 906M, beliau memutuskan untuk mengajak menatap cahaya kebenaran kepada orang-orang di negeri Turki dan orang-orang kafir. Sehingga perjalanan beliau sangat panjang dan melelahkan. Perjalanan beliau yang tercatat, diantaranya; pernah berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah pula seiring dengan pematangan spiritualitas beliau.
Dalam dakwah terakhirnya, al-Hallaj menampilkan keajaibannya sebagai mukjizat, atau aksi langsung Tuhan dan tanda-tanda misi publik yang diperintahkan Ilahi, seperti nabi menampilkan itu, dan tidak lagi sebagai keramat sederhana atau anugerah individual yang diberikan sembunyi-sembunyi oleh Tuhan kepada orang-orang alim yang ditarik dari dunia.[15] Al-Hallaj menampilkan di hadapan publik baik doktrin yang diwahyukan maupun keajaiban yang mendukungnya. Korelasi antara keajaiban dan doktrin adalah unik dalam hagiografi Sunni. Karena itulah para sufi meninggalkannya. Akan tetapi banyak juga dari mereka yang mengikutinya. Ini terbukti meskipun menolak pakaian putih (suf), al-Hallaj masih dianggap salah satu dari mereka. Kenyataannya al-Hallaj tidak meninggalkan bahasa teknis mereka, bahkan mengatakannya di depan publik.
Karomah-Karomah
Husain ibn Manshur al-Hallaj memiliki begitu banyak karomah semasa hidupnya. Menurut Anthhar -muridnya- suatu hari al-Hallaj melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu, biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Tentunya hal seperti ini membuat orang lain keheranan.
Selain itu, beliau juga mampu mengetahui keinginan dari seseorang sehingga julukan al-Hallaj al-Asrar terbesat dalam dirinya. Panggilan ini mengandung maksud bahwa beliau ternyata mampu membaca pikiran orang lain dan menjawab pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya. Di samping dua abstraksi di atas, ada kejadian aneh lain yang pernah dialami al-Hallaj. Saat menunaikan ibadah haji yang ke dua, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengutarakan maksudnya kepada para jamaah untuk memakan manisan. Semua muridnya kebingungan lantaran semua perbekalan telah habis. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Setelah beberapa menit kemudian, al-Hallaj kembali dari pekatnya malam sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh para pengikutnya. Al-Hallaj kemudian meminta semua muridnya untuk makan bersama. Seorang murid al-Hallaj penasaran dan ingin tahu dari mana sang guru memperoleh makanan tersebut. Ketika mereka kembali dari pengasingan diri, sang murid ini mencari seseorang yang mengetahui asal kue itu. Akhirnya salah seorang warga kota Zabib,[16] mengetahui bahwa kue itu berasala dari kotanya. Sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj mempeoleh kue itu secara ajaib. "Tak ada seoranh pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat", katanya sambil terkagum-kagum.
Pada kesempatan lain, al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju kota Mekkah. Di suatu tempat sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara. al-Hallaj pun mengambil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta hlawa, al-Hallaj membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka. Usai memakannya, mereka mengatakan bahwa kue itu khas suatu daerah di Baghdad, Irak dan negara sekitarnya. Mereka pun bertanya bagaimana al-Hallaj mendapatkannya dari negeri yang amat jauh tersebut. al-Hallaj pun menjawab bahwa Baghdad dan padang pasir adalah sama dan tidak ada jarak diantaranya.
Kemudian mereka pun meminta kurma, al-Hallaj sejenak berdiri terdiam dan menyuruh mereka berdiri dan menggerakkan tubuh mereka seperti sedang menggoyang-goyang pohon kurma. Ketika mereka melakukannya makan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka. Sungguh sangat mengagungkan.
Sastrawan Sufi
Pada masa muda, al-Hallaj sangat giat dalam mempelajari Tasawwuf di bawah bimbingan seorang sufi terkenal Amar al-Makky setelah pertemuan singkat dengan Sahal al-Tustury, yg juga salah seorang tokoh sufi terkenal. Khirqah[17] yang dipakainya merupakan symbol fana dan pelepasan diri dari duniawi versi jamaah sufi. Beliau juga meljalin hubungan baik dengan Junaid,[18] sampai akhirnya al-Hallaj mendapatkan izin dan memiliki murid-murid dan para pengikut yang beliau ilustrasikan dalam puisi-puisi beliau sebagai "Sahabat-Sahabat dan Kerabat". Al-Hallaj berbeda pendapat dengan para sufi masanya ketika mulai berbaur dan bergaul dengan khalayak ramai dan pada akhirnya ia meninggalkan dunia sufi. Beliau juga sempat keliling untuk berziarah ke negeri India. Dan sekembalinya dari pengembaraan beliau ke Bagdad serta menjadi seoarang guru yang menyampaikan nasehat-nasehat dan berbicara tentang keluh kesah cintanya dalam menyebarkan ide-ide reformisnya.
Al-Hallaj meninggalkan beberapa kumpulan puisi tentang keluh kesah cinta sufinya, juga kumpulan prosa puitis dalam buku besarnya yang berjudul al-Tawaasin..[19] Isyarat terhadap peran al-Hallaj dalam bersosial sebenarnya juga kita dapatkan dalam sumber-sumber literature Arab klasik, misalnya Asthakhry.[20] Begitulah kepedulian al-Hallaj atas fenomena sosial saat itu, sehingga beliau menebarkan puisi-puisi sufinya sebagai obat pelipur lara.
Hukuman Mati
Pada tahun 912M al-Hallaj pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya, bisa dikatakan bahwa ibadah ini adalah ibadah haji yang terakhir. Ibadah ini oleh al-Hallaj dilaksanakan selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M beliau merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap dari dirinya, sehingga beliau mampu bertatap muka dengan Sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah al-Hallaj mengucapkan, “Ana Al-Haqq” dalam keadaan ekstase.[21] Perjumpaan ini membangkitkan dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah kepada menusia dengan menjadi hewan kurban. Al-Hallaj rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, tetapi juga demi dosa-dosa segenap manusia di muka bumi.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar dari mulut al-Hallaj: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka." Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri. Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Bahkan tidak hanya penguasa kelompok agamawan juga tidak begitu sependapat dengan pandangan-pandangan al-Hallaj.[22] Adapun masalah anggapan pengikut Hambali dan ketidak senangan Syi’ah terhadap al-Hallaj masih dipertanyakan. walau Massinion menegaskan demikian, namun tokoh-tokoh lain seperti Gold Thesir, De Boure dan Adam Mitz tidak membicarakannya. Begitu juga sebagian sumber-sumber Arab klasik tak menyebutkannya. Dan bahkan sebagian lagi malah menyatakan kalau al-Hallaj adalah pengikut Syi’ah seperti perkataan Asthakhry dari Ibnu Hauqal bahwa al-Hallaj pada awalnya adalah Da’i Fathimiyah.[23] Dan juga pernyataan Ibnu Nadim dalam al-Fahrasat bahwa al-Hallaj awalnya mengajak untuk ikut Keluarga Muhammad.
Pada tahun 918M, al-Hallaj diawasi, dan pada 923M beliau ditangkap. Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu al-Hallaj terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Beliau dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas amarahnya, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar al-Hallaj dieksekusi.
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, al-Hallaj berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa beliau sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan kepada banyak orang.[24] Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya. Akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid’ah, “Akulah Kebenaran.” Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran beliau hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian.” Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan.”
Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!. Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, “pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali.”
Beberapa hari sebelum dieksekusi, al-Hallaj berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa beliau akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri. Al-Hallaj berkata kepada mereka: “Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?” tanya mereka. “Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!” jawabnya.
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa beliau telah membebaskan mereka semua. “Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” tanya mereka “Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman,” jawabnya.
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, “Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!” Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, “Jangan takut, putra Manshur.” Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada aqidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai aqidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk dieksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika Beliau melihat kerumunan orang, al-Hallaj berseru lantang, “Haqq, Haqq, ana al-Haqq.”[25] Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. “Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?” tanya orang-orang. “Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku,” jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:
Kekasihku tak bersalah
Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah
perhatikan sang tamu
Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan
menggelar tikar pembantaian
Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama
bersama dengan singa
tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela beliau menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdo’a dan berjalan menuju puncak itu. Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, “Apa itu tasawuf?” al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?” tanya Syibli “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya! “, jawab al-Hallaj. Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, “Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?”. Al-Hallaj menjawab, “Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku peroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik.”
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?. Al-Hallaj menjawab “Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya.”
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, “Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah.”[26] Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, “Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!”
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. “Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?” tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati. “Mengapa,” tanya mereka. “Engkau membasahi lenganmu dengan darah?” al-Hallaj menjawab, “Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah.”
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, “Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu.” Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur’an: “Orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar.” Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu kekasih.”
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, “Akulah kebenaran”, sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah. Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan agar tubuhnya di bakar saja. Yang membuat tambah heboh, abu jenazahnya berseru, “Akulah Kebenaran!.”
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Dalam sebuah riwayat, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, “Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami.”
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, “Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?” Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.
Al-Hallaj diadili dan dihukum mati di Baghdad tahun 922 M, tetapi fakta kematiannya baru dikenang dalam sejarah Islam satu abad kemudian, pada 1046 M, dipelopori antara lain oleh wazir Baghdad, Ali Ibn al-Muslim. Wasir itu seorang profesional pada pengadilan resmi, dengan mengakui ketulusan dan kebenaran al-Hallaj yang dikutuk tersebut.
Pendapat Tentang al-Hallaj
Dalam dunia tasawuf, Al Hallaj bukan nama asing. Ia terkenal dengan kata-katanya yang populer, sekaligus kontroversial, "Ana'l-Haqq", yang artinya 'Akulah Sang Kebenaran (Tuhan)'. Di Indonesia pengalaman Hallaj kerap disejajarkan dengan apa pengalaman Syeh Siti Jenar. Keduanya dianggap telah mengidentifikasikan dirinya dengan Tuhan. Hallaj dan Siti Jenar sama-sama dihukum mati dan sama-sama pula kisahnya melegenda.[27]
Massignon mencatat bahwa sosok al-Hallaj di beberapa negara Muslim diingat dan dimunculkan sebagai sosok yang memiliki karamah dan keajaiban, kadangkala sebagai orang yang mabuk cinta kepada Tuhan, dan kadang-kadang pula seorang dukun gadungan. Di Iran, Turki, dan Pakistan, di mana banyak beredar karya-karya besar Persia, terdapat sebuah gaya dalam puisi yang dinisbatkan kepadanya, yaitu ekstase Ilahiah yang mereka sebut "Mansur Hallaj". Memang dialah yang dari atas tiang gantungan, mengucapkan teriakan apokaliptik tentang pengadilan di hari pembalasan: Ana'l-Haqq.
Banyak pendapat umum yang mengatakan Al hallaj mati karena ajaran mistiknya yang terkenal Ana al-Haqq. Tidak banyak kaum muslimin yang mengetahui dengan persis apakah sebenarnya yang terjadi terjadi terhadap kasus yang didakwakan kepadanya. Benarkah al-Hallaj penganut faham Ittihad (Pantheisme)[28] yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan mistik Katholik, atau ajaran Zanadika, tentang cinta kasih manusia terhadap Allah sebagai suatu daya tarik material antara sumber cahaya dan percikan-percikan yang mengalir dari sumber itu (emanasi). Di kalangan kaum mistisi sendiri banyak yang berpendapat, bahwa kesalahan al-Hallaj ialah menyiarkan dimuka umum kebenaran-kebenaran esoteris (merenggut selubung rahasia). Konon kabarnya as-Sibli mengatakan kepada seorang utusan menjelang eksekusinya, pergilah mencari Husein ibnu Mansur dan katakan kepadanya, "Allah telah memberikan kepadamu jalan untuk mengetahui salah satu rahasia -Nya , tetapi karena engkau menyiarkan kepada umum, maka kau harus merasakan pedang."[29]
Ada yang berpendapat, bahwa ajarannya mengenai manunggalnya Allah dan manusia tidak dibenarkan, namun dapat dimaafkan sebagai suatu ketidaktelitian hiperbolis, akibat kekuatan ekstasis.[30] Sementara para sufi moderat tidak memberikan komentar terlalu banyak atas kejadian ini. Mereka hanya berpendapat bahwa al-Hallaj hanyalah menghayati firman Allah dalam surat Thaha: 14, “innani Ana Allah laailaha illah Ana fa'budni.”[31]
Sedangkan al-Ghazaly yang juga membahas pengalaman para mistisi menandaskan, bahwa ekstasis itu bukanlah terleburnya makhluk dalam Allah sebagai kesatuan dalam identitas (ittihad) juga bukan manunggalnya atau penyatuan antara dua pihak yang berada pada tingkat "ada" yang sama, tetapi penyatuan itu hanyalah seolah-olah dan ucapan-ucapan para mistisi yang mengalami kedahsyatan Allah, sehingga hendaknya kita pandang sebagai hiperbola, kiasan yang melebih-lebihkan, akibat kemabukan cinta kasih.[32]
Sebagai seorang pengkaji hendaknya kita tidak terburu-buru dalam menarik sebuah benang merah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: innahu bikulli syaiin muhithun, Sesungguhnya Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu (Fushilat:54)[33]; selanjutnya kullu syai in halikun illa wajhahu, dan tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (al-Qasas: 88)[34]; juga pada ayat : Nahnu akrabu ilaihi min hablil waridi, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (Qaaf: 16)[35]; falam taqtuluuhum walakin 'l allaha qatalahum wama ramaita idza ramaita walakin 'l allaha rama, Maka ( yang sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (al-Anfaal : 17).[36]
DB Mc. Donald menafsirkan ungkapan-ungkapan ini sebagai expression of implicit pantheism atau in philosophical language immanential monism . Pandangan ini harus juga ditafsirkan eksplisit, namun bahwa ada peluang bagi suatu penafsiran pantheis, memang tak dapat disangkal. Perkembangan seterusnya membuktikan, bahwa peluang itu memang ada. Banyak mufasir takut terjebak kepada makna hiperbolis atau mutasyabihat, sehingga mereka tidak berani menterjemahkan arti yang sebenarnya.seperti dalam surat Fushilat:54 Bahwa yang meliputi segala sesuatu adalah dhomir Hua, yang menunjukkan sosok orang ketiga tunggal yang melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi dengan alasan apa mereka menggantikan arti Hua ( Dia), menjadi sebuah sifat yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan kita tahu bahwa sifat itu ada, karena ada wujud (Hua ) tempat bergantungnya (sandaran) sifat. Inilah yang saya maksudkan bahwa dhomir Hua menunjukkan bukan kepada sifat-Nya, akan tetapi wujud secara sempurna (bikamalaatihi). Yaitu kesempurnaan meliputi Dzat, sifat, af'al dan Asma'. Dhommir Hua menunjukkan Wujud, sedangkan sifat, af'al dan Asma merupakan diluar Diri-Nya (wujudnya) tetapi bergantung kepada Diri-Nya, karena adanya disebabkan oleh Dzat (sosok). Beberapa Mufassir menterjemahkan :"Kekuasaan-Nya lah meliputi segala sesuatu", ada juga yang menterjemahkan : "Ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu" dan banyak lagi terjemahan / tafsiran pada sekitar sifat-sifat-Nya. Hanya ulama' yang memiliki ilmu makrifat kepada Allah yang berani terang-terangan menterjemahkan : "Dia (Dzat) Meliputi Segala Sesuatu", sehingga kata Dia tidak ditafsirkan kedalam makna atau digantikan dengan bentuk yang lainnya. Saya berprasangka, kemungkinan besar para Mufassir ragu-ragu menterjemahkan kalimat hiperbolis, karena dikhawatirkan memasuki wilayah konflik politik yang sedang marak masa itu, yaitu adanya perintah penguasa melarang pandangan Wihdatul Wujud yang di gagas oleh al-Hallaj.
Ali As-Shabuni menafsirkan, innahu bikulli syai in muhith; Sesungguhnya Allah Ta'ala Meliputi segala sesuatu dengan pengetahuannya (ilmu-Nya), baik secara global maupun tafshila (mendetail): tafsir Shafwatut Tafaasir: Juz III hlm. 129. Lebih tegas lagi Syekh Nawawi memberikan keterangan dalam tafsir al -Munir, Allah merupakan Subjek Yang Meliputi Segala Sesuatu, Dia sebagai fail (subjek) al-'Alimu yang mengetahui semua maklumat yang tidak ada batasnya. Dia Mengetahui yang dhahir dan yang tersembunyi dalam diri orang-orang kafir. Sedangkan penafsiran beliau mengenai wanahnu aqrabu ilaihi min hablil waridi ( Qaaf: 16). Fa ka anna dzatuhu ta'ala qaribatun minhu ..yaitu seolah Dzat itu sendiri yang lebih dekat dari urat leher.[37] Didalam Tafsir Munir karangan Syekh Nawawi dijabarkan fallahu ta'ala aqrabu ilal insaani min 'uruqihi almukhalithi lahu, Allah lebih dekat terhadap Manusia daripada keringatnya yang bercampur baginya.[38]
Kemudian, baik syekh Nawawi maupun Ali Ash shabuni menafsirkan kullu syaiin halikun illa wajhahu, sebagai Segala sesuatu pada hakikatnya adalah fana (binasa) kecuali Dzat-Nya Yang Kekal dan Quddus. Dari pendapat tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa kita tidak bisa memungkiri adanya konsep-konsep Qurani yang menjadi sumber timbulnya atau menjurus kedalam paham penyatuan atau pantheisme. Memang masih bisa diperdebatkan dari mana pengaruh-pengaruh yang membuat doktrin tersebut muncul. Menurut Massignon perkembangan tersebut ada akarnya dalam Alqur'an sendiri.[39] Sedangkan menurut sementara ahli lainnya, perkembangan tadi disebabkan karena kontak dengan aliran-aliran mistik Kristen di Suria serta Neoplatonisme, atau pengaruh dari Syi'ah dengan ajarannya mengenai inkarnasi Zat keallahan dalam diri Ali dan para pengikutnya.[40] Atau karena pengaruh dari India.[41]
Dalam ajaran Tasawuf, para sufi mendahulukan pemahaman kerohaniannya melalui tahapan (martabat) untuk mencari Tuhannya, yang biasa dikenal dengan ajaran martabat tujuh. Diharapkan ajaran ini bisa membantu memberikan petunjuk bagi kita untuk meluruskan pemahaman tauhid dan menguak tabir rahasia para sufi dalam menyelami ekstasis, yang terkadang menimbulkan polemik dan absurditas, yaitu menempatkan Allah sebagai wujud yang tak tergambarkan (asy-Syura: 11)[42] dan tidak ada individuasi maupun presepsi. Prinsip ini didasari ayat yang menyatakan Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya.
Didalam penghayatan mistisnya, para sufi menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sendiri; sehingga muncul kesadaran "Yang wajib ada adalah Yang Mutlak", laa maujuda illallah. Sebenarnya hal ini merupakan prinsip monotheisme, yang dibawa oleh Rasulullah saw dalam misinya, yaitu menafikan segala bentuk tuhan-tuhan selain Allah, " laa ilaha illallah" ….. pada hakikatnya segala sesuatu akan binasa (fana) kecuali wajah-Nya yang tetap abadi (baqa), kullu man alaiha faanin, wayabqaa wajhu rabbika dzul jalaalil wal ikraam (ar-Rahman: 26-27)[43].
Selanjutnya kita akan mencoba menelusuri ajaran al-Hallaj dengan cara tidak serta merta menerima atau menolaknya; karena kita membutuhkan pemahaman yang jernih akan hal ini. Sekilas memang ayat-ayat tersebut diatas banyak mengarah kepada pemahaman pantheisme sebagaimana ajaran Hindu dan Katholik oleh karena itu penulis akan mencoba memaparkan ajaran-ajaran mengenai penyatuan diri dengan Tuhan agar memiliki garis yang tegas sesuai misi Rasulullah dalam meluruskan tauhid kepada Dzat Yang Mutlak. Bedanya sangat tipis sekali antara pemahaman pantheisme yang berasal dari ajaran Hindu dan kristen dengan monotheisme yang berasal dari Al-Qur'an. Di dalam al-Qur'an telah di ungkapkan bagaimana kaum musyrik melontarkan alasan yang dijadikan prinsip, bahwa berhala-berhala bukanlah Tuhan yang sebenarnya sebagai sesembahan, melainkan hanya sebagai perantara (washilah) untuk menuju Yang Maha Mutlak.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : "Kami tidak menyembah mereka (berhala) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS. Az-Zumar : 3)[44]
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?" , niscaya mereka menjawab; Allah. Katakanlah : "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhala itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. (QS. Az-Zumar: 38)[45]
Al-Hallaj mencari kesatuan dengan Allah bagi dirinya sendiri, sehingga kata-kata yang diwariskan -spontan- berasal dari perasaan pribadinya. Al-Hallaj ingin menerangkan apa yang dialami dalam lubuk hatinya dengan meneruskan keterangan itu kepada orang-orang lain, sehingga dalam kajian terhadap ajaran al-Hallaj hendaknya kita juga mencari keterangan mengenai ucapan-ucapan emosionalnya, yang kalau dipandang dari luar konteksnya, mudah dianggap sebagai ucapan-ucapan pantheistis. Di sini pertama-tama saya teringat akan ucapan-ucapannya mengenai Allah, dengan mempergunakan kata ganti pertama, seperti konon kabarnya diucapkannya dalam malam terakhir sebelum ia menjalani hukumannya.[46]
"Adapun Engkau membagikan kepada saksi ini (al-Hallaj sendiri) kepribadian-Mu sendiri dan kodrat Ilahi-Mu. Bagaimana ini dapat terjadi karena Engkaulah (yang memegang peranan dari kodratku sendiri untuk menampakkan Diri-Mu di tengah-tengah manusia, pada tahap-tahap terakhir keadaanku- bila Engkau telah datang kedalamnya untuk menampakkan kodratku (Engkau, Ya Tuhan) lewat kodratKu.”
Mulai kalimat ini al-Hallaj berbicara atas nama Tuhan dan mempergunakan kata ganti pertama guna mengungkapkan penyatuan mesra dengan Tuhan. Penulis berusaha menyatakan peralihan itu dengan menulis awal kata positif dengan huruf-huruf besar: catatan dari Massignon.
“Serta mempermaklumkan kenyataan ilmuKu dan mukjizatKu- sambil mengangkat DiriKu, dalam kenaikanKu, sampai tahta-tahta kelanggenganKu, sambil memelihara DiriKu dalam ciptaan-ciptaanKu: Bagaimana bisa terjadi bahwa aku sekarang ditahan, dimasukkan kedalam penjara, diserahkan kepada maut, ditempatkan diatas kayu salib, dibakar, lalu debuku diserahkan kepada ombak-ombak.”[47]
Dalam membicarakan al-Hallaj, penting untuk dibahas sosok Beyazid al-Bustami, seorang tokoh terkenal, yang banyak menghiasi khasanah keilmuan mengenai mistik dari pengalaman bathinnya sendiri, yang sesuai dengan citra pengalaman Mi'rajnya Rasulullah. Ungkapan-ungkapannya penuh dengan makna, bahwa alam-alam yang dilaluinya merupakan bentuk citra yang hina dan fana termasuk dirinya. Kemenakan Beyazid, yang mencatat sejumlah besar ungkapan-ungkapannya, diantaranya, "Pengingkaran (Zuhud) itu tidak ada nilainya. Tiga hari lamanya aku dalam pengingkaran, dan pada hari keempat selesailah sudah. Hari pertama kuingkari dunia ini, hari kedua kuingkari akhirat, hari ketiga kuingkari segalanya kecuali Tuhan, ketika hari keempat tiba, tak ada lagi yang tersisa bagiku kecuali Tuhan. Aku telah mencapai damba yang menyakitkan . kemudian ada suara menyeruku : O, Abu Dzun-Nun, kau tak cukup kuat untuk bertahan bersama-Ku sendiri. Kujawab : itulah memang yang hamba inginkan. Kemudian suara itu berkata: kau telah menemukannya, kau telah menemukannya!!".
Beyazid menyadari dan pada akhirnya menemukan, bahwa Tuhan mengingatnya sebelum ia mengingat Tuhan, bahwa Tuhan pun mengenalnya sebelum ia mengenal Tuhan, dan bahwa cinta Tuhan mendahului cinta manusia terhadap-Nya. Kemudian Beyazid mengungkapkan pencapaiannya dengan kebanggaan seseorang yang sudah mencapai tujuannya.
Seorang sufi besar Abu Bakar al-Kharraz (899M) dikenal di Barat lewat karyanya kitab as-Sidq, yang diterjemahkan oleh Arberry. (Abu Bakr al-Kharraz, kitab as-Sidq, the book of Truthfulness, diedit dan diterjemahkan oleh A.J . Arberry (Oxford, 1937) mengungkapkan bahwa hanya Allah yang berhak berkata "Aku", sebab siapapun yang mengatakan "Aku" tidak akan bisa mencapai taraf makrifat. Itulah sebabnya iblis dihukum, karena berkata Aku lebih baik dari Adam. Lebih jauh Kharraz menunjukkan bahwa "Aku" Ilahy ini secara ontologis terkait dengan Nama Ilahi Al Haqq; ‘Kenyataan’ inilah tampaknya yang menjadi inti ungkapan terkenal al-Hallaj, Ana al-Haqq.
Apakah Al Hallaj benar-benar mengungkapkan Ana al-Haqq pada saat keadaan ekstase (syathathat) atau hanya merupakan pengajaran di dalam Majelis, sebab dalam kritiknya terhadap Beyazid, beliau mengatakan "Kasihan Beyazid, ia merana karena ia tidak mampu meninggalkan dirinya (fana), ia baru sampai di ambang Ilahi. Orang yang fana dirinya tidak akan berkata "Aku" sebab ia telah tiada." Didalam kitab yang berjudul Raitullah karya ulama sufi yang terkenal Syekh An-Nafiri, diungkapkan mengenai Bab "Aku".[48]
"Engkau berani mengatakan Aku, sedangkan engkau masih terhijab dari pada-Ku, gemerlap duniawi masih mengusik nafsumu, masing-masing akan menyambar dirimu dengan seruan zat diri-Nya, engkau masih saja dalam kegaiban yang kelam dari pada-Ku. Maka apabila engkau telah melihat "Aku" dan Aku - pun telah menampakkan diri dihadapanmu, tetaplah keteguhanmu, maka tiada Aku lagi melainkan Aku. (diri manusia akan hancur atau binasa, sebagaimana peristiwa yang terjadi kepada Nabi Musa, Surah al-A'raaf: 143).
"Telah Kuciptakan (kuadakan) untukmu dan untuk sesuatu menjadi tujuan, antara lain tujuan itu ialah, cintamu kepada dirimu sendiri, itulah tetesan waham (kalimat) yang engkau warisi, kata-kata mu "Aku" adalah egomu sendiri (Aku terlepas anggapan dari yang demikian) dan tidak lain zat itu melainkan kepunyaan-Ku, dan tidak lain Aku itu kecuali untuk-Ku, bukanlah zat dan bukan pula persoalan, hanya sesungguhnya engkau berada pada pembagian yang bersifat prasangka, hal ini disebabkan karena caramu sendiri berfikir dan pencapaianmu pada pendakian jiwa dan persoalan."
Pandangan diatas bisa dibandingkan dengan pernyataan Syekh Siti Jennar -seorang tokoh mistik di pulau Jawa-, yang telah menyimpulkan bahwa Tuhan itu adalah dirinya sendiri karena dimana saja ia pergi disitu ada Aku, dan ia sadar Akunya selalu ada dan abadi. Konon beliau banyak terpengaruh ajaran al-Hallaj: Syekh Siti Jennar berkata : "Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah engkau ke langit yang tinggi, dan selamilah dalamnya bumi hingga lapis ke tujuh, engkau tidak akan bisa menemukan Wujud Yang Mulia. Kemana saja engkau pergi, engkau hanya akan menemukan kesunyian dan kesenyapan. Jika engkau ke utara, keselatan, kebarat, ketimur dan ketengah, yang ada di semua tempat itu hanya disini adanya. Apa yang ada disini bukan wujud saya, yang ada didalam diriku ini adalah kehampaan yang sunyi. Isi dalam daging tubuh ini adalah isi perut yang kotor, bukan jantung dan bukan pula otak yang terpisah dari tubuh, tetapi nafas yang melaju pesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnyalah yang bisa mejelajah ke Mekkah dan Madinah."
Beyazid, Siti Jennar ataupun al-Hallaj, telah terhijab oleh dirinya. Tatkala mereka mencari Tuhan di mana, ternyata hanya dirinya yang ada; ketika ia melambung jauh keangkasa ghaib, tetap dirinya yang ada, di sana ada, di sini ada, di atas ada, di bawah ada, di selatan ada, di utara ada, di barat ada, di timur ada, di mana-mana ada. Yang ada tetap yang langgeng dan kesunyian dan kehampaan. Aku dirinya merasakan ada di mana-mana (inilah yang dimaksud oleh Al Hallaj ambang ilahi) bukan fana. Keadaan inilah yang dianggap bersatu (ittihad) atau manunggaling kawula Gusti. Antara diri dan Tuhan tidak bisa dibedakan; hal ini dalam ajaran vedanta disebut tat twam asi .
Untuk lebih jelasnya kita simak pendapat al-Junayd, mengenai pernyataan "Aku" yang diungkapkannya. Mengapa beliau menyalahkan bekas muridnya; karena beliau tahu bahwa al-Hallaj belum mampu melepaskan ego dirinya, karena itulah ia terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan, ia tidak layak menyingkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan Aku adalah Aku itu sendiri, bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen dirinya itu masih ada, maka ia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan seperti apa, ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya Sebagaimana Musa membiarkan dirinya hancur (fana) bersama Bukit Thursina, dan pada saat itu Allah menampakkan Dirinya, bahwa Aku tidak bisa dilihat dengan matamu dan oleh dugaan egomu (tidak bisa digambarkan oleh persepsi pikiranmu, hatimu, perasaanmu, dan jiwamu sendiri; dalam al-Qur'an Musa digambarkan pingsan. Aku mengenali diri-Nya secara sempurna. Inilah yang membedakan dengan phanteisme Hindu dan Kristen, yang menganggap Tuhan telah beremanasi kepada Sri Kresna ataupun Yesus Kristus.
Al-Junayd memaparkan pandangannya mengenai tasawuf yang sebenarnya, sebagai berikut: "Tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap dunia dan memutuskan hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita. Baginya kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali ke asal-usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian."
Dari data-data yang telah kita peroleh bisa disimpulkan bahwa fana (monotheisme) dan manunggal (pantheisme) sangatlah berbeda. Pantheisme adalah seperti yang diungkapkan oleh Harun Hadiwiyono sebagai berikut: Bagian terdalam dari manusia yaitu atma, sejajar dengan atman di dalam agama Hindu. Atma dipandang identik dengan Allah sebagai Zat Mutlak. Kesamaan sedemikian rupa hingga Allah melihat, mendengar dan sebagainya, hanya dengan perantara manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah Allah yang menjadi daging. Menurut ungkapan jawa; manusia seperti katak berselimutkan liangnya. Allah berada di dalam manusia, karena manusia pada hakikatnya adalah Allah sendiri.
Sedangkan Fana (monotheisme) adalah seperti ungkapan al-Junayd: Menyadari bahwa dirinya pada awalnya tiada (fana), kullu syain halikun illa wajhahu (al-Qashash: 88 ), Segala sesuatu binasa kecuali wujud Allah yang abadi. Kullu man alaiha fanin, wayabqa wajhu dzul jalali wal ikram (ar-Rahman: 26-27). Kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali keasal usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian. La syaiun illallah, laailaha ilallaha. Inilah martabat yang tersembunyi (kesenyapan), karena keadaan belum ada apa-apa, belum mengenal individuasi, namanya Zat Mutlak, Hakikat ketuhanan. Tidak seorang pun dapat meraihnya, nabi-nabipun tidak (termasuk Nabi Musa). Para malaikat yang berdiri dekat Allah-pun tidak dapat meraih Hakikat Yang Maha Luhur. Tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikatnya. Sifat-sifat dan nama-nama belum ada. Hanya Dialah Yang Ada dan nama-Nya ialah wujud kekal, zat langgeng, hakikat segala hakikat, adanya ialah kesepian (kosong).
Epilog
Al Hallaj menyadari, bahwa ia tidak mampu melepaskan kenyataan ketuhanan yang tidak bisa dipresepsikan oleh hatinya sendiri, sehingga ia harus rela melenyapkan dirinya dengan harapan ia mampu meniadakan dengan cara kematian yang tragis, bukan dengan peniadaan (fana) pengertian spiritual yang dialami Junayd maupun Nabi Musa, maka ia berkata dengan tulus agar ia mampu cepat melepaskan keterikatannya dengan dirinya, dengan sebenarnya: uqtuluni ya thiqati - inna qatli hayati - Bunuhlah aku, ya sahabatku, sebab terbunuhku itulah hidupku.[49]
Inilah kenyataan yang sebenarnya, bahwa kematiannya merupakan harapan yang dinantikan olehnya. Ia menemukan hidup yang Hakiki, setelah alat-alat kemanusiaan tidak lagi ada, karena alat-alat pada diri manusia seperti penglihatan, pendengaran, perasaan dan angan-angan, tidak mampu meraih kenyataan yang sebenarnya. Ia mati dalam kebahagiaan yang abadi. Ia telah bebas dari keterikatannya, ia tidak lagi berada didalam ambang ilahi, tetapi ia telah fana melalui pertolongan tangan Algojo yang memenggal kepalanya. Mungkin sampai disini dulu, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Wallahu a’lam.
[1] Untuk Lakpesdam Mania. Pertemuan dwi bulanan tanggal 15 November 2008 di PCI NU Mesir.
[2] Qâsim Muhamad Abâs, Al-Hallaj al-A’mâl al-Kâmilah, Bairut: Riad El-Rayyes Books S.A.R.L., Cet. I, 2002, h. 35.
[3] (http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Hallaj).
[4] Hal ini bisa dilihat pada pernyataan al-Hallaj, "Akulah Kebenaran". Golongan kontroversi dengan al-Hallaj menganggap Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri.
[5] Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, Negeri Sufi, Jakarta: Lentera, cet. I, 1997, h. 7.
[
[6] Sahl adalah seorang Sufi Suni yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya.
[7] Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
[8] Qâsim Muhamad Abâs, op.cit, h. 58.
[9] Istri dan adik ipar al-Hallaj dalam hal ini tetap mempercayai pandangan-pandangan al-Hallaj.
[10] Ternyata Amr al-Makki masih belum bisa menerima pandangan al-Hallaj tentang, “Barang siapa sudah sampai pada tujuannya, dia tidak memerlukan perantara lagi, dia diperbolehkan mengabaikan perantara-perantara tersebut. Karena itu, mereka berpendapat bahwa syariat itu boleh saja dilaksanakan sekedar formalitas; karena pelaksanaan syariat itu kadang-kadang menyebabkan timbulnya halangan dalam menyelamatkan diri mereka.” Oleh Amr al-Makki pandangan ini dianggap sangat berbahaya.
[11] Kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru
[12] Husin Ahmad Amin, 100 tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, cet. I, 1995, h. 113.
[13] HM. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. I, 1996, h. 112.
[14] Haji yang pertama beliau laksanakan pada tahun 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan tingkat tinggi ini adalah mensucikan hatinya serta menundukkannya kepada kehendak Ilahi. Sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Beliau pulang dari ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan beliau membahas pikiran-pikirannya dengan para sufi lainnya. Di antaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
[15] Louis Massignon, Hallaj, Mystic and Martyr, dialih basakan oleh Dewi Candraningrum, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, Cet. I, 2000, h. 267.
[16] Adalah sebuah kota yang jauh dari situ.
[17] Adalah pakaian khas kaum sufi klasik.
[18] Beliau adalah pimpinan orang-orang sufi saat itu.
[19] Lihat artikel Massinion "Kecendrungan Ndividual Dalam Kehidupan Al-Hallaj", dan Kitab "Akhbar al-Hallaj" yang ditahqiq (diteliti ulang) dan dikomentari oleh Massinion dan Paul Craws. Dalam tulisannya, Massinion menggaris bawahi peran sosial Hallaj dalam usaha-usaha reformasinya terhadap kenyataan masa itu, dengan puisi-puisi sufinya.
[20] Asthakhry mengatakan bahwa al-Hallaj dekat dan mengambil hati para mentri dan tokoh-tokoh elite Sulthan, para gubernur wilayah, dan pemimpin-pemimpin daerah (jazirah) dan para pengikutnya. Pada lingkup lain, ada penjelasan tabiat pengambilan hati seprti penegasan penulis buku Kasf al-Mahjub bahwa ia melihat di Iraq kelompok yang menamakan dirinya al-Hallajiyah (pengikut al-Hallaj) setelah lebih dari 100 tahun kematian Hallaj. Ini tak jauh beda degan ungkapan al-Ma’arry dalam bukunya Risalah al-Gufran bahwa ada suatu kaum di Bagdad yang menanti munculnya al-Hallaj. Mereka berdiam dan tinggal di pinggiran sungai Tigris di mana Hallaj disalib, menanti kembalinya Hallaj. Al-Ma`arry sendiri wafat 140 tahun setelah penyaliban Hallaj. Dengan demikian, tak diragukan lagi kalau hallaj memang menyibukkan dirinya dengan problematika masyarakatnya.
[21] Qâsim Muhamad Abâs, op.cit, h. 63.
[22] Lihat artikel Massinion "Kecendrungan Ndividual Dalam Kehidupan Al-Hallaj". Di sini Massinion menuliskan bahwa al-Hallaj sebagai pengikut Madzhab Hambali dan ia juga mengatakan bahwa kelompok Syi’ah, diantaranya juga para mentri dan pembesar negara, menginginkan darah al-Hallaj..
[23] Qâsim Muhamad Abâs, op.cit, h. 69.
[24] Louis Massignon, op.cit, h. 310..
[25] Tatkala berita kematian Hallaj tersebar, sebagaimana digambarkan Massignon dari data-data yang diperolehnya, terjadi beberapa keguncangan. Di Juzjan terjadi kerusuhan. Di Baghdad sendiri, hari itu sedemikian khidmat.
[26] Sama artinya dengan; meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usaha keras dan luar biasa.
[27] Louis Massignon menyebutkan bahwa Hallaj adalah sosok historis, benar-benar pernah hidup dalam sejarah, yang dihukum mati pada tahun 922 M setelah menjalani pengadilan politik, sebuah cause celebre, yang beberapa fragmen catatan tentang kejahatannya masih dapat diselamatkan. Catatan tersebut menjadi saksi otentisitas historisitas al-Hallaj.
[28] As-Sayid Mahmud Abu al-Fied al- Manufi, At-Tasawuf al-Islâmi al-Khôlis, Kairo: Dar Nahdoh, h. 184.
[29] Louis Massignon, op.cit, h. 310
[30] Ibid, h. 352. Lihat P.J Zoetmulder, Manunggaling kawula Gusti , Jakarta: Gramedia, 1990.
[31] Departeman Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Mubarakatan Toyyibah, h. 313. Artinya; “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku.”
[32] Lihat Ihya' Ulumuddin, bagian II kitab adabi as-Sama'I wa 'l wajdi , fi atari 's sama'I adabihi.
[33] Deperteman Agama. Op.cit, h. 482.
[34] Ibid, h. 396.
[35] Ibid, h. 519
[36] Ibid, h. 179
[37] Lihat Ali as-Shabuni , Tafsir Shafwatut Tafaasir, juz III, h. 243.
[38] Lihat Syekh Nawawi, Tafsir Munir, h. 319.
[39] Louis Massignon, op.cit, h. 84.
[40] Lihat DB Mac Donald, Development of Mouslem Theology, Jurisprudence and constitional theory, h. 182.
[41] Lihat M Horten, Indische Stromungen in Der Inslamischen Mystik, Heidelberg, 1928. PJ, Zoetmulder, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia, 1990, h. 21.
[42] Departemen Agama, op.cit, h. 484.
[43] Ibid, h. 532.
[44] Ibid, h. 458.
[45] Ibid, h. 462.
[46] Louis Massignon, op.cit, h. 352. PJ. Zoetmulder, op.cit, h. 38-39.
[47] Ibid, h. 297-298.
[48] Syekh An-Nafiri dalam Raitullah mengilustrasikan, “Tidak akan diucapkan kalimat AKU, kecuali bagi orang yang berkawan dengan kealpaan dan oleh setiap orang terhijab oleh hakikat.”
[49] Qâsim Muhamad Abâs, op.cit, h. 43. (Syair-Syair al-Hallaj).
0 komentar:
Posting Komentar