Da’wah Galak, No! Da’wah Ramah, Yes!
Nur Fadlan
Wakil Direktur Majlis Riset Masisir
Da’wah adalah istilah yang sering kita dengar baik dalam pengkajian atau praktek di masyarakat. Da’wah memiliki energi yang sangat tinggi dan namanya masih baik sampai sekarang. Akan tetapi akhir-akhir ini banyak sekian kepentingan yang mengatasnamakan dirinya atau instansinya dengan dalih da’wah, akan tetapi pada dasarnya telah menciderai makna da’wah itu sendiri. Dalam Islam da’wah sangat dianjurkan, maka tidak terlalu berlebihan jika pada akhirnya terminologi da’wah dibawa dalam kepentingan kepartaian dengan tujuan mendapat pendukung sebanyak-banyaknya atau pun salah dalam penerapannya. Ini adalah bentuk dari kesalahan besar dan perusakan dalam jiwa agama.
Sebelum lebih jauh dalam pemaknaan da’wah di Indonesia atau da’wah ramah lingkungan penulis hendak menceritakan tokoh yang selalu menyuarakan Islam ramah dan demokrasi dalam Negara Indonesa. Sosok almarhum KH. Abdurrahman Wahid dikenal luas di Indonesia bahkan di dunia internasional. Berjibun catatan positif tentang kiprahnya memperjuangkan da’wah keislaman yang ramah dan demokrasi di Tanah Air. Ada cerita menarik sebelum pasuk pada substansi da’wah atau da’wah ramah lingkungan, tentang pendapat Profesor Kaplan saat berpidato dalam pengukuhan Doktor Honoris Causa kepada KH. Abdurrahman Wahid, yang berasal dari Universitas Paris. Sejarah emas yang diberikan kepada Gus Dur ketika masih menjabat sebagai presiden, yaitu pada tahun 2001.
"Comme vous savez monsieur le President, L'Universite Paris I s'honore d'occuper une place eminente dans les trois domaines: des Sciences Juridiques et Politiques, des Sciences Economiques et de Gestion, et des Sciences Humaines. C'est a ces trois titres qu'elle vous decerne aujourd'hui le grade de Docteur Honoris Causa."
(Seperti anda ketahui, bapak Presiden, Universitas Paris memiliki posisi luar biasa dalam tiga bidang, masing-masing ilmu Hukum & Politik, ilmu Ekonomi & Menejemen serta ilmu Humaniora. Dalam tiga bidang inilah Anda hari ini mendapat gelar Doktor Honoris Causa).
Kaplan, Guru besar Kajian Middle East dalam pidatonya mengatakan penghargaan kepada Gus Dur adalah sangat tepat pada waktunya, karena penghargaan ini dianggap sebagai penghargaan yang menyusul penghargaan besar yang telah diberika kepada Doktor Honoris Causa yang lain, yaitu kepada Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela dan kepada Sekjen United Nation Organization (UNO) Kofi Annan. Jadi KH. Abdurrahman Wahid adalah tokoh ketiga yang memperoleh kehormatan dari Universitas Paris ternama, yang sering disebut dengan nama Universitas Sorbonne. Intepretasi tiga session/dimension menurut Profesor Kaplan adalah, karena jasa-jasa KH. Abdurrahman Wahid dalam membangun demokrasi dan HAM yaitu memperkuat hukum dan politik, ekonomi dan menajemen serta humaniora, termasuk dalam mengukuhkan da’wah ramah bagi Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Adapun beberapa jasa-jasa KH. Abdurrahman Wahid dalam membangun informasi yang bebas, membebaskan para tahanan politik dan perjuangan persamaan hak-hak bagi berbagai suku agama, para minoritas dan hak perempuan. Meski demikian, Gus Dur pada gilirannya harus berterima kasih paling utamanya kepada isteri dan anak-anaknya karena keluarganyalah yang menderita dalam perjuangan membangun demokrasi sejak dia memimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan Forum Demokrasi atau Fordem. Di samping itu, Gus Dur sangat dikenal dengan gagasan pribumisasi Islam dalam konteks lokal yang telah lama dikumandangkan oleh sejumlah sarjana Muslim Indonesia. KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah salah seorang pemikir dan ulama yang pertama kalinya mengemukakan gagasan tersebut. Gagasan pentingya pribumisasi Islam dalam konteks lokal ini sangat penting untuk dilakukan. Dengan demikian Muslim Indonesia dapat tetap mempertahankan identitas ke-Indonesia-annya yang khas. Tetapi pada saat yang sama dapat mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupan yang semakin dinamis dan inovatif.
Menjadi seorang Muslim Indonesia tidak harus menjadi Muslim yang sama dengan Muslim Arab. Anehnya beberapa rekan yang sempat belajar atau bermukim di Arab, terkadang sifat dan pola Islamnya serta budayanya lebih Arab dari pada orang Arab itu sendiri. Karena pada dasarnya, kekhasan potret Islam Indonesia juga bukan mustahil dapat memberikan inspirasi bagi wilayah Islam yang ada di zona lain. Juga mengubah kesan tentang Islam yang di kalangan Barat sering diasosiasikan dengan keras atau radikal. Dalam hal ini, tentunya kita dapat melihat geneologi dari Hizbu Tahrir yang berasal sari kawasan Timur Tengah. Sang Punggawa Taqqiyuddin an-Nabani mencoba membumikan pemikiran dan pola da’wah Hizbu Tahrir, akan tetepi justru dimaknai salah oleh masyarakat muslim secara keseluruhan. Ini sangat menarik tertunya, dan penulis mengira bahwa Indonesia memang benar-benar negara dengan karakteristik tersendiri yang tidak perlu kita mengadopsi mentah-mendah konsep yang terkesan galak jika diaplikasikan dalam Negara tercinta. Penulis sangat sepakat jika ajaran pemahaman Taqiyuddin an-Nabani dibumikan di Palestina, bukan dalam Negara Indonesia yang tersatukan secara keseluruhan dan dengan lapang dada. Ada kontek menarik jika pola da’wah Hizbu Tahrir itu sinergikan di bumi Palestina mengingat ada beberapa pola menarik dan sangat penting dalam menggerakkan paket porjuangan dan da’wah. Sehingga dapat dikatakan bahwa da’wah dengan pola Hizbu tahrir cocok untuk di negeri Palestina, bukan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tentang politik pun sama, apalagi ada beberapa praktek politik yang sering menggunakan nama da’wah dalam praktiknya. Ini adalah masalah dan pengkaburan makna jika kita tidak sangat cerdas dalam memaknainya. Pola politik-da’wah atau apa namanya, penurut penulis Indonesia tidak perlu meniru atau mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin. Indonesia mempunyai KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Buya HAMKA, Sukarno, Muh. Hatta, Wakhid Hasyim dan lain sebagainya tentunya mereka lebih tau sosio-kultur-antropologis dari karakter bangsa sehingga tidak terlalu penting kirannya jika bangsa atau anak bangsa Indonesia mengadopsi pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin, toh dalam beberapa faktanya pola da’wah atau pun politik Ikhwanul Muslimin masih dalam tataran debatable. Dapat di saksikan dalam salah satu siratan sejarahnya yaitu identifikasi pemikiran Hasan al-Banna harus tetap dikaitkan dengan sosial politik saat itu. Di tahun 1930 al-Banna mulai menyampaikan gagasannya secara langsung kepada Raja Fu'ad dan Farouk serta ke semua pimpinan pemerintah Arab. Apakah pemikiran politik beliau ingin kita bumikan di tanah tercinta? Padahal di saat itu, Raja Fu'ad dan Farouk dan beberapa pimpinan Arab kurang begitu respon dengan tipologi pemikiran Hasan al-Banna. Sebagai kaum akademis kita hendaknya memiliki daya kritis terhadap beberapa pemikiran dengan pola menganologikan dengan tipologi pemikiran yang lain. Misalnya, Dalam buku Al-Fikr As-Siyasi, Al-Mu'ashir Inda Ikhwan Al-Muslimin; Dirrasah Tahliliyah, Maidaniyah, Muwatsaqah karya Prof. Dr. Taufiq Yusuf Al-Wa'iy mendiskripsikan gerakan-gerakan pembaharu Islam yang berusaha merealisasikan syura, kebebasan, keadilan, kejujuran, dan terwujudnya keseimbangan sosial dan ekonomi. Hal ini, hal ini sangat sesuai dengan falsafah bangsa, tapi sering ditafsiri lain anak bangsa sendiri, sehingga tidak perlu kiranya kita mencairkan lagi falsafah negara ketika hampir mengkristal. Perlu dibandingkan juga dengan buku Manhajiyyah al-Imam Hasan al-Banna wa Madaris al-Ikhwan al-Muslimin karya Fathi Yakan, Hasan al-Banna mengemukakan bahwa Ikhwanul Muslimin tidak menafikan gerakan sosial-politik akan tetapi harus dengan konsekuensi perbaikan umat, islahul ummah. Penulis meyakini bahwa konsepsi Negara Indonesia sudah pada tataran adil dalam perspektif bhineka dengan tujuan islahul ummah, sehingga tesisnya adalah Indonesia sudah memiliki sistem dasar yang koheren dengan agama dan karakteristik bangsa majemuk, dan da’wah ramah adalah jalan paling moderat serta madani dalam pemilihan metode untuk berda’wah, bukan da’wah yang masih dalam tataran radikal, ekstrem ataupun galak.
Kultur Islam Indonesia jelas memiliki keunikan tersendiri. Di Indonesia beragam tipe penafsiran atau aliran Islam ada, mulai dari yang disebut sebagai moderat, liberal, sampai pada corak Islam yang puritan dan radikal, semuanya tumbuh subur dan saling mengkampanyekan idenya masing-masing. Itu bisa dikatakan sebagai kekayaan, bukan ingin selalu menang sendiri dan benar sendiri. Dapat dilihat dalam tulisan Muhamad Abu Zahra di Tarikh Mazahib al-Islamiyah. Buku ini mengilustrasikan beberapa hal yang tidak koheren dengan pola da’wah di Indonesia. Dalam tulisan Abu Zahra mengilustrasikan pola politik Wahabi. Merusak dan kekerasan dengan pedang sangatlah menonjol dalam pola penyebaran Wahabisme. Itu semua mereka klaim secara sepihak bahwa seperti itu adalah amar ma'ruf nahi mungkar. Ini jelas salah dan tidak mengindahkan makna da’wah itu sendiri.
Ada sisi menarik lain, dari diferensiasi berbagai corak keislaman yang ada di Indonesia, beberapa pemikir membuat beberap tesis perihal keadaan Indonesa yang sangat menarik. Indonesia bagaikan mediasi paling subur dalam dinamisasi pemikiran. Konsep atau tesis ini sempat berulang-ulang disampaikan dalam analisa Geertz. Dalam hal ini, Geertz melihat dinamisasi tersebut serta berkesimpulan bahwa Indonesia memiliki Islam yang tumbuh dari proses ketekunan. Sehingga hendaknya pola da’wah di Indonesia dengan tipologi yang ramah bukan yang lain. Sedikit menyayangkan pada pola da’wah yang diyakini Fron Pembela Islam (FPI) yang seringnya mengesankan pola kasar dan merusak, mungkin karena kurang begitu paham dengan penafsiran atau hanya menafsiri beberapa kaidah agama dan negara dengan parsial. Tentunya pola yang kurang toleran dan cenderung radikal dan extrem adalah bagian dari sejarah manhajiah yang akan disaksikan masyarakat Indonesia pada khusunya dan dunia pada umumnya. Sehingga konsep atau pola da’wah yang paling bisa bertahan adalah pola yang menurut kalayak ramai adalah ramah, bukan da’wah galak.
Kembali pada konsep Geertz. Kata kunci untuk identifikasi karakter Islam Indonesia adalah ‘ketekunan’, oleh Geertz kata kunci ini dianggap sebagai derivasi dari kultur agraria, atau pertanian masa lalu. Tapi tentunya sebagai watak atau karakter, hal tersebut bisa pula untuk diejawentahkan pada era industri bahkan pada era komunikasi, seperti pada kontek dewasa ini. Kemudian oleh Geertz mencoba membandingkan dengan karakteristik negeri di kawasan Middle East. Sampel sederhananya adalah di Maroxo, karakteristik pola keislaman yang ada di Indonesia berbeda dengan Maroko sebagaimana yang Geertz bandingkan. Kalau Indonesia adalah Islam yang tumbuh dari ketekunan, maka Maroko adalah Islam yang tumbuh dari keberanian. Faktor kultur dan geografislah yang membedakan. Bagaimana pun, kultur Islam Middle East tidak memiliki pengalaman keragaman sosio-kultural-antropologis sekomplik dan seluas di Indonesia. Sehingga alangkah baiknya semangat pribumisasi, kontekstualisasi yang ingin diterapkan di Indonesia, hendaklah tidak berhenti pada tataran disuarakan. Para cendikiawan Muslim Indonesia hendaknya terus menggali semangat dan nilai-nilai Islam yang sering dikesampingkan dalam penerapannya di tanah air tercinta. Tentunya harus tetap diakui bahwa sekarang ini kalaupun ada semangat menerapkan syariat Islam, yang menonjol adalah masih dalam level ‘cangkang’ luarnya, dan belum mengutamakan implementasi syariat yang langsung bersenyawa dengan kepentingan serta kesejahteraan masyarakat luas, baik muslim maupun non-muslim.
Sehingga penulis memiliki keyakinan di masa depan bahwa agenda pribumisasi atau kontektualisasi Islam Indonesia dengan da’wah ramah yang perlu diangkat sebagai brande bisa benar-benar mewakili ruh dan esensi ajaran agama paling mulia. Sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah aksi real umat Islam bagi kepedulian sosial dan pendalaman demokrasi. Kepedulian sosial bisa diartikan dengan lebih luas yaitu, salah satunya dengan da’wah ramah bukan da’wah galak seperti yang pernah dilakukan kelompok Wahabi ataupun FPI. Tentang pendalaman demokrasi adalah upaya untuk mengkoherenkan kebutuhan sistemik negara yang majemuk atas fariabel-fariabel yang berbeda, bukan mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin yang tentunya berbeda kontek dengan kebutuhan di nusantara. Indonesia memiliki karakteristik sendiri sehingga pilihan sistem terbaik adalah sistem yang kompromi dengan perbedaan seperti yang dicontohkan Baginda Rasulullah Saw. saat di Madinah. Sehingga bagi Muslim Indonesia pola da’wah paling baik dan dapat diterima kalayak ramai adalah pola da’wah ramah bukan da’wah galak. []
Nasr City, Cairo
Tanggal 27 Oktober 2010 [01:05 pm]
0 komentar:
Posting Komentar