Welcome to Nur Fadlan Blog

Jumat, 19 Februari 2010

Selayang Pandang Tentang Sejarah Kebudayaan Indonesia Dan Prahara Kebudayaan Indonesia Modern (1950-1963)


Nur Fadlan


I. Pendahuluan
Pada tanggal 21 April 2004, Ki Manteb Soedharsono menyelenggarakan pagelaran Wayang Kulit dengan judul "Sesaji Rajasuya" di Paris. Pagelaran ini diselenggarakan di gedung 1 Maison de Unesco yang terletak tidak jauh dari Menara Eiffel. Ruang ini berkapasitas 1400 orang, meskipun demikian masih banyak pengunjung yang tidak mendapatkan tempat duduk sehingga harus berdesak-desakan di balkon gedung itu.

Penghargaan tertinggi pada khazanah budaya juga diperlihatkan oleh UNESCO. Direktur Jendral UNESCO, Koichiro Matsuura memberikan kepada Ki Manteb tanda penghargaan dan hadiah "Patriomoine Oral et Immateriel de I'Humanite" . Saat penyerahan itu Ki Manteb didampingi langsung oleh Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Prancis, Adrian Silalahi dan Dubes Indonesia untuk UNESCO, Bambang Soehendro.

Dari pementasan kebudayaan Wayang Kulit di atas kita bisa melihat betapa besar nilai dari khazanah bangsa Indonesia. Sebenarnya masih banyak bentuk pementasan kebudayaan bangsa Indonesia yang dilakukan dalam skala internasional. Seperti Gordon Tobing bersama grup kecilnya hanya dengan beberapa alat gitar saja mereka juga memperoleh sukses besar. Di samping itu, rombongan seni Indonesia yang berkunjung ke Uni Soviet , kenjungan ke Tiongkok, ke Vietnam dan lain sebagainya.

Sekarang pertanyaannya apakah kebudayaan bangsa kita tiba-tiba ada atau harus melewati masa yang sangat panjang untuk mencapai itu semua. Di sini penulis mencoba memberikan sekilas tentang perjalanan kebudayaan bangsa Indonesia. Selain itu elaborasi kebudayaan juga penulis paparkan, aspek apa saja yang ikut mempengarui perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia.

Dalam perjalananya kebudayaan Indonesia melewati dua kondisi yang berbeda hingga akhirnya para ahli budaya mencoba memberikan klasifikasi terhadap kebudayaan Indonesia yang sangat beragam. Pengelompokan ini bertujuan untuk mempermudah mereka dalam mengkaji kebudayaan tanah air yang sangat luas.

Setelah itu, penulis mencoba meruncing kepada bagian kebudayaan mutakhir. Di sini penulis mendapatkan beberapa hal yang sangat menarik untuk diangkat dan dikaji ulang. Antara tahun 1950 samapai 1963 ada beberapa kelompok organisasi kebudayaan yang sangat unik. Ada yang membungkus sebuah kepentingan di dalam tubuh kebudayaan itu sendiri, ada yang mempertahankan idealisnya dengan menganggap "seni adalah seni".

Fase ini adalah masa yang paling menegangkan dalam perjalanan kebudayaan Indonesia. Baku hantam, fitnah, menghalalkan segala cara dan sikap keji lainnya tampak dalam masa ini. Sifat-sifat keji ini mewarnai perjalanan kebudaayaan tanah air kita, sebagai anak bangsa sebaiknya kita mengkaji ulang peristiwa tersebut. Dengan pengkajian ulang kita bisa mengetahui asal-muasal dari peristiwa tersebut.

Di sini, penulis ingin menjelaskan mengenai prahara tersebut. Tulisan ini dimulai dari penjelasan perjalanan kebudayaan Indonesia kemudian dilanjutkan dengan Kebudayaan Indonesia modern dan dimensi lain yang ada di dalamnya hingga penjelasan mengenai kepentingan-kepentingan yang terselubung oleh pihak tertentu.

Baru setelah itu semua, penulis mulai memaparkan latar belakang prahara budaya hingga keadaan yang semakin memanas antara kubu satu dengan kubu lainnya. Dua kubu ini terus-menerus mengibarkan api permusuhan karena memiliki ideologi yang berbeda. Satu diantaranya menganggap "politik sebagai panglima" sedangkan lainnya menolak hal tersebut.

Setelah pemapaaran tentang prahaara budaya Indonesia, penulis juga membuat kesimpulan yang kami tulis pada bagian akhir. Adapun lebih jelasnya pada setiap bagian adalah sebagaimana berikut.

II. Perjalanan Kebudayaan Indonesia
Sejak berabat-abat yang lalu para ilmuan dan budayawan Aceh mengangkat bahasa Melayu dari lingua franca menjadi bahasa ilmu dan budaya. Di samping itu bahasa Melayu dielaborasikan menjadi bahasa Indonesia modern. Bentuk metamorfosis seperti ini terjadi akibat sejarah besar yang dialami bangsa Indonesia. Sejarah besar ini bermula dari meletusnya Proklamasi Kemerdekaan atas kolonial yang menginjakkan kakinya di tanah air tercinta. Fenomena ini adalah bentuk kongkrit dari sebuah perjalan budaya yang merupakan barometer dari kualias daya kreasi anak bangsa.

Bahasa menjadi mediator terpenting dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dengan bahasa, komunikasi akan terjalin dengan sangat baik. Sehingga transfer ilmu pengetahuan dan kebudayaan akan senantiasa terakses dengan sangat mudah dan meluas.

Di samping itu, paska ditemukannya mesin uap pada revolusi industri menambah tingkat penggaksesan dan exspansial yang sangat luas. Pengaksesan yang meluas akan menambah daya berfikir dan kreatifitas dari masyarakat di dunia. Sedangkan expansial tanpa batas akan menumbuh kembangkan paradigma baru atas perbedaan pandangan kebudayaan.

Kita meruncing ke Indonesia. Ratusan abat yang lalu masyarakat Indonesia mempunyai masalah krusial dalam transportasi. Terutama dalam perjalanan ke tanah suci. Di samping jarak antara Indonesia dan Saudi Arabia yang terlalu jauh, transportasi yang digunakan dalam perjalanan mereka masih terlalu sederhana. Tetapi hal tersebut terjawab setelah ditemukannya kapal berkomponen mesin uap akibat deklarasi Revolusi Industri. Pesawat sederhana ini mampu membawa mereka lebih mudah dan cepat ke Makkah Saudi Arabia.

Semakin mudahnya melalukan ibadah Haji, paradigma berfikir masyarakat Indonesia akan semakin maju dan berkembang. Seperti yang kita ketahui bahwa di Saudi Arabia, tepatnya di dua kota suci yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota ini merupakan pusat dinamika manusia sedunia. Dua kota ini adalah tempat berkumpulnya manusia dari berbagai penjuru dunia.

Secara langsung atau tidak langsung benturan kebudayaan antara masyarakat indonesia dengan jama'at Haji dari negeri lain akan mengalami elaborasi dalam skala mega. Mereka bisa take and give kebudayaannya yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa terbaik manusia.

Sedikit meruncing kepada kebudayaan Indonesia. Secara garis besar kebudayaan Indonesia dapat kita klasifikasikan dalam dua kelompok besar. Yaitu Kebudayaan Indonesia Klasik dan Kebudayaan Indonesia Modern. Kajian mengenai kebudayaan Indonesia klasik dimulai dari kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di Indonesia. Para ahli kebudayaan menganggap kerajaan adalah suatu komunitas paling besar. Dari sini mereka mengambil benang merah bahwa komunitas ini adalah pembentuk sebuah kebudayaan atau yang sering disebut dengan hasil cipta, rasa dan karsa menusia.

Para ahli kebudayaan telah mengkaji dengan sangat cermat akan kebudayaan klasik ini. Mereka memulai dengan pengkajian kebudayaan yang telah ditelurkan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia. Sebagai layaknya seorang pengkaji yang obyektif, mereka mengkaji dengan tanpa melihat dimensi-dimensi yang ada dalam kerajaan tersebut. Mereka mempelajari semua dimensi tanpa ada yang dikesampingkan. Adapun dimensi yang sering ada dalam lambung kerajaan adalah seperti agama, tarian, nyanyian, wayang kulit, lukisan, patung, seni ukir, dan hasil cipta lainnya.

Seperti halnya di atas kerajaan adalah sorotan utama bagi ahli budaya untuk mengetahui perjalanan dari kebudayaan itu sendiri. Adapun kerajaan-kerajaan yang sering mereka kaji adalah Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya, Krajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan Banten serta kerajaan lain yang pernah ada di Indonesia.

Adapun mengenai kebudayaan Indonesia modern. Pera pengkaji budaya belum bisa memberikan limit secara jelas tentang permulaan kebudayaan indonesia modern. Seorang pengamat memberikan argumennya tentang kebudayaan indonesia modern. Dia mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia modern dimulai ketika bangsa Indonesia merdeka. Bentuk dari deklarasi ini menjadikan bangsa Indonesia tidak dalam kekangan dan tekanan. Dari sini bangsa Indonesia mampu menciptakan rasa dan karsa yang lebih sempurna.

III. Kebudayaan Indonesia Modern dan Dimensi Lain Yang Ada di Dalamnya
Budaya lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia. sebelum lebih lanjut, penulis menyetujui pendapat salah satu pengamat di atas, bahwa kebudayaan Indonesia modern dimulai ketika deklarasi kemerdekaan RI. Proklamasi kemerdekaan menjadikan pola pikir baru dan tanpa batas untuk terus menggali nilai-nilai kehidupan. Mereka terus mencari nilai-nilai baik demi maju dan berkembangnya mereka. Di sinilah mulai bermunculan komponen-komponen kecil budaya. Berbagai komponen ini saling melakukan elaborasi hingga menjadi bentuk metamorfosis baru yang lebih sempurna atau yang sering disebut dengan kebudayaan.

Setelah lahirnya kebudayaan apakah dia akan bersih menjadi bentuk budaya sampai sekarang. Analisa penulis mengatakan tidak. Kebudayaan senantiasa berubah seiring dengan proses perjalanan sejarah manusia. Manusia senantiasa membuat inovasi dan kreasi baru dalam perjalanan hidupnya.

Mengerucut pada kebudayaan Indonesia modern. Di dalam perjalanannya kebudayaan Indonesia modern senantiasa melakukan elaborasi dengan agama, politik, sosial dan aspek lainnya. Beberapa contoh yang menjadi refleksi dari pengaruh dimensi lain terhadap budaya sangatlah kentara.

Agama ikut serta dalam mempengarui kebudayaan bangsa Indonesia. Penulis mengambil contoh hari raya. Setiap agama dan budaya mempunyai hari yang diagungkan. Hari ini sangat disucikan hingga mayoritas dari manusia mengatakan bahwa ini adalah hari raya.

Dari sini kita bisa melihat perayaan hari raya keagamaan yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia. Secara periodik hari suci ini dirayakan karena dianggap sebagai hari istimewa. Pembahasan mengenai bentuk elaborasi dari bentuk agama kepada bentuk kebudayaan diantaranya terdapat diperayaan hari raya. Hari raya agama Islam dalam hal ini adalah hari raya Adha dan Fitri telah menjadi hari raya Nasional Indonesia.

Kalau misalnya kita berkiblat pada Saudi Arabia, dalam hal keislaman dan budaya. Rasanya sangat jauh dari budaya mereka. Masyarakat Indonesia menganggap dua hari raya Islam itu sangatlah suci. Mereka akan melakulan apa saja demi dua hari raya tersebut. Mesayarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya bisa dikatakan atau masuk dalam tesis, "Bekerja selama satu tahun hanya untuk dua hari raya saja."

Pernyataan di atas bisa kita lihat pada beberapa perjalanan masyarakat Indonesia. Terkhusus pada masyarakat Jawa mereka akan membelikan kapada anak, orang tua,istri dan karib kerabat mereka; baju, jelana, sarung, sandal, sepatu atau lainnya pada saat hari raya. Mereka sangat menganggap suci hari raya hingga harus menyambutnya dengan seindah mungkin.

Para perantauan juga meluangkan waktu dan finansialnya demi hari raya tersebut. Mereka memilih moment tersebut untuk berkumpul dengan keluarga di kampung halaman mereka. Ada yang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jakarta dan lainnya mereka berbondong-bondong pulang ke kampungnya demi berkumpul dengan keluarga. Budaya pulang kampung sering juga disebut dengan istilah mudik. Di Amerika juga ada budaya pulang kampung pada hari-hari tertentu yang dianggap sebagai hari raya mereka. Kalau di Amerika budaya mudik atau pulang kampung sering disebut dengan Thanks Giving Day.

Dari beberapa pernyataan di atas bisa ditarik konklusi bahwa mesyarakat Indonesia lebih menganggap suci atau penting hari raya tersebut. Hal seperti ini sering disebut dengan par excellence.

Sedangkan di Saudi Arabia, fenomena yang kita dapatkan adalah berbeda dengan fenomena bangsa Indonesia. Mereka merayakan hari raya ala kadarnya, tidak seperti masyarakat Indonesia yang senantiasa merayakannya dengan penuh penyambutan. Perayaan ala kadarbnya juga di lakukan di negara-negara Arab lainnya. Yaitu negara-negara yang terbentang dari Bahrain di timur sampai Maroko di barat.

Itulah contoh dari bentuk elaborasi budaya dengan agama. Bahkan hari raya Fitri dan Adha sekarang menjadi Hari Nasional. Dengan kata lain hari raya Adha dan Fitri telah menjadi kebudayaan masyarakat Indonesia. Bentuk proses seperti ini ahli budayawan sering menyebutnya dengan zero sum game.

Sekarang mengenai bentuk elaborasi budaya dengan politik. Apakah mereka bisa di satukan seperti bentuk elaborasi agama dan budaya? Politik berdampingan dengan budaya tidak seperti berdampingannya agama dan budaya. Sering terjadi beberapa hal yang sangat mengganjal seiring perjalanan dua dimensi ini.

Politik sering dianggap menunggangi kebudayaan dalam perjalanannya. Politik lebih mengedepankan kepentingan sedangkan kebudayaan lebih membidik pada nilai-nilai kemanusian. Akibatnya dua bentuk dimensi ini sering mengalami keganjalan dan ketidak jelasan.

IV. Kepentingan Yang Terselubung
Politik terkadang berjalan di permukaan, terkadang juga berjalan di bawah tanah atau di dalam selimut. Politik berusaha mempercantik jalannya dengan terus melibatkan berbagai dimensi lain demi terealisasikannya visi dan misinya. Hingga pada akhirnya politik berani memilih kebudayaan untuk dijadikan bahtera. Bahtera ini digunakan sebagai alat untuk mencapai target-tergetnya.

Hingga pada akhirnya muncul kelompok budayawan yang berruh politik. Komunitas ini muncul dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Munculnya bentuk metamorfosis yang sangat langka ini menimbulkan prahara besar. Adapun sebab munculnya prahara ini adalah adanya sebuah kepentingan yang terselubung.

Dalam perjalanan kebudayaan bangsa Indonesia yaitu antara tahun 1950 sampai 1963 terjadi perang kebudayaan. Perang ini terjadi akibat perbedaan visi dan misi antara dua kubu kebudayaan yang berbeda. Kubu pertama menganggap politik sebagai panglima. Hingga akhirnya kubu pertama ini terus berusaha untuk mencari kedudukan demi kelanjutan visi dan misinya. Sedangkan kubu lainnya tidak setuju dengan semboyan gila itu. Mereka lebih menfokuskan budaya pada tujuan awalnya. Golongan kedua ini lebih menyatas namakan budaya sebagai pengangkat harkat dan martabat manusia.

Bentuk nyata dari fenomena ini adalah tampak pada tahun 1950-1963 muncul golongan Manikebu . Golongan ini muncul akibat ketidak setujuan salah satu kubu kebudayaan yang menganggap politik sebagai panglima. Ada yang mengartikan pergolakan tersebut sebagai bentuk dari perbedaan. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan visi dan misi antara penganut Realisme Sosialis dengan pendukung Humanisme Universe .

V. Prahara Kebudayaan Indonesia Modern
Ada sebuah ungkapan yang membuat telinga tergelitik. Ungkapan ini muncul dalam historiografi Orde Baru. Adapun bentuk dari ungkapan itu adalah, "Sejarah ditulis oleh sang pemenang". Ungkapan ini membuat penulis bertanya-tanya ada apa sebenarnya di balik ini, sehingga muncul sebuah kerancuan dalam berfikir. Bukannya sejarah adalah sejarah. Bahkan Presiden Pertama RI dalam salah satu orasinya pernah berkata "Jasmerah ". Ungkaapan ini masih terngiang ditelinga semua anak bangsa. Mereka menganggap bahwa pernyataan ini adalah pesan dari Pemimpin Nasional yang pernah di miliki bangsa Indonesia.

Penulis merasa ada keganjalan yang sangat kentara jika pernyataan sejarah di tulis oleh sang pemenang menjadi salah satu menstim yang akan diwariskan kepada anak bangsa. Korelasi dari pernyataan Presiden Soekarno dengan statemen itu sama sekali tidak ada koherensi. Dua statemen ini akan senantiasa bertolak belakang.

Presiden Soekarno mengajak kita untuk senantiasa mengingat sejarah. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa bentuk pengenangan terhadap sejarah bisa kita jadikan contoh untuk memecahkan masalah-masalah yang sama. Sedangkan ketika mendengar pernyataan mengenai sejarah di tulis oleh sang pemenang rasanya hal tersebut membuat nyali kami mengecil. Rasa ketidak percayaan dan ragu dengan sejarah akhirnya bermunculan.

Setelah melewati pengkajian yang kritis, ternyata pernyataan tersebut hanyalah berlaku pada masa Orde Baru. Masa-masa sebelum itu sejarah masih bisa dipertanggungjawabkan tingkat keautentikannya.

Sekarang kita menuju pada sejarah modern. Seperti preambul di atas, pada paruh pertama 1960 telah terjadi perdebatan yang sangat sengit. Perdebatan ini terjadi di wilayah kebudayaan Indonesia. Perdebatan ini terjadi antara kelompok seniman dan cendekiawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan kelompok non partisan Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Lekra sangat dekat dengan partai komunis. Mereka mengusung ideologi Realisme Sosialisasi dengan semboyan politik sebagai panglima. Ideologi ini mereka sebarkan kepada semua anggota Lekra. Sedangkan Manikebu, mereka menolak ideologi politik sebagai panglima di bidang seni. Mereka lebih memilih seni untuk seni. Adapun ideologi kelompok Manikebu adalah Humanisme Universal.

Sedangkan serpihan dari dua kelompok ini adalah; ada yang condong di Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) atau Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi). Hal ini menjadikan pembeda antara golongan agamis dan nasionalis. Perjalanan panjang pun mereka tempuh yang akhirnya muncul benih-benih prahara antara Lekra dan Manikebu .

Sedangkan mengenai kronologis pembahasan prahara budaya antara tahun 1950 sampai 1963 adalah sebagai berikut:

A. Latar Belakang Terangkatnya Isu Prahara Budaya
Tahun 1993 terjadi pembicaaraan panjang mengenai perdebaatan sengit di wilayah kebudaayaan Indonesia. Perdebatan budaya yang mereka bahas adalah perdebatan yang terjadi pada tahun 1960. Perbincangan tema ini menghangat kembali setelah sekian lama pudar sejalan dengan perjalanan waktu .

Istilah yang sering dipakai pada masa-masa prahara bermunculan kembali. Seakan-akan antara tahun 1950 sampai 1963 terulang kembali. Adapun istilah-istilah yang mereka ulang-ulang adalah sebagai berikut; Politik Sebagai Panglima, Seni Untuk Seni, Realisme Sosial, Humanisme Universal. Di samping itu istilah-istilah ini juga kembali bermunculan di media cetak.

Nama lembaga atau kelompok yang sekarang tidak lagi eksis kembali lagi bermunculan. Kelompok ini sudah puluhan tahun terbungkus oleh masa tapi ketika istilah-istilah tersebut bermunculan maka empunya juga ikut muncul ke permukaan. Adapun lembaga-lembaga ini adalah sebagai berikut; Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Manifes Kebudayaan (Manikebu), Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi).

Yang menambah suasana semakin memanas adalah munculnya lembaga-lembaga ini disertai dengan tokoh-tokohnya. Nama-nama yang selama ini telah terbungkus tanah muncul lagi ke permukaan dan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Tokoh-tokoh ini adalah sebagai berikut; Sitor Situmorang sebagai tokoh LKN, Asrul Sani dan Usmar Ismail dari tokoh Lesbumi, HB Jassin, Wiratmo Soekito, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad dari kelompok Manikebu, dan Pramoedya Ananta Toer, Joebaar Ajoeb, Bakri Siregar, Boejoeng Saleh dari kubu Lekra.

Istilah, nama-nama lembaga dan para tokoh dari lembaga tersebut disebut-sebut kembali. Hal ini menjadikan atmosfer memanas pada tahun 1993. Tahun ini seakan-akan terjadi pengulangan suasana konflik antara dua kubu di tengah-tengah kebudayaan Indonesia modern.

Salah satu pemicunya adalah sebuah diskusi di Oncor Studio . Dalam diskusi yang diadakan pada tanggal 17 Agustus 1993, Sitor Situmorang hadir sebagai pembicara utama. Dia membahas esai panjang Goenawan Mohamad yang pernah dimuat sebagai sisipan Majalah Tempo edisi Mei 1988. Adapun esai yang dikritisi itu berjudul "Peristiwa 'Manikebu': Kesusasteraan Indonesia dan Politik Tahun 1960-an".

Esai tersebut dianggap sebagai cerita pengalaman sendiri tentang sebuah kejadian. Mereka menganggap Goenawan menceritakan kejadian dalam kesusasteraan dan pemikiran di Indonesia pada awal tahun 1960.

Di samping itu, Sitor Situmorang sebagai pembahas menolak sikap Goenawan yang mengambil jarak dengan politik. Dia mengatakan bahwa cendekiawan dan seniman penandatangan Manifes Kebudayaan dan simpatisannya bukanlah peristiwa sastra melainkan peristiwa politik .

Selain itu, Sitor menambahkan mengenai pengumuman Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963. Dia mengatakan kalau pengumuman ini adalah sebuah peristiwa politik yang bermain di lapangan kebudayaan. Sehingga kalaupun harus mempertanggungjawabkan perbuatan di masa lalu, harusnya berani untuk mempertanggungjawabkannya .

Taufik Ismail yang juga hadir dalam diskusi tersebut. Dia melihat dari sisi penentang Manikebu. Taufik secara langsung menuduh Sitor berusaha mencuci tangan dari apa yang pernah dilakukannya dulu.

Terhadap tulisan Goenawan Mohamad, Taufik Ismail kecewa karena dalam tulisan tersebut banyak fakta yang tidak diungkap. Adapun fakta itu menurut pendapatnya adalah fakta tentang kalangan penentang Manikebu yang dekat dengan kekuasaan seperti LKN dan Lekra mengganyang lawan-lawannya. Pada masa itu yang terjadi bukan hanya perdebatan sengit tapi sudah sampai penghancuran satu sama lain.

Di samping diskusi panjang mengenai prahara kebudayaan modern Indonesia, mereka juga melakukan wawancara dengan pihak yang ikut terlibat dengan peristiwa prahara budaya. Adapun tokoh yang mereka wawancarai adalah Wiratmo Soekito. Dia adalah konseptor Manikebu .

Dalam salah satu wawancaranya, Wiratmo mengatakan, "Orang-orang kiri Indonesia termasuk kalangan cendekiawan dan seniman lebih memilih diam. Mereka enggan mengatakan mengenai hal yang berkaitan dengan peristiwa 60-an. Memilih diam mulut mereka lakukan setelah ditahan antara 9-13 tahun. Tahanan ini disebut dengan tahanan politik tanpa pengadilan. Di samping itu, keluarga mereka mendapat perlakuan sebagai warga negara kelas dua. Maka dari itu, kesempatan mereka untuk memberikan klarifikasi fakta atau interpretasi terhadap kebenaran tertutup".

B. Prahara Budaya
Prahaara budaya adalah akibat dari tabrakan ideologi yang terjadi pada masa 1950 sampai 1963. titik pusat dari asal-usul bencana ini adalah pengaruh pikiran Marx . Pandangan Marx dianggap sebagai pandangan final. Hingga pandangan ini harus dibumikan di tanah air.

Pendapat seperti ini mendapat dukungan dari Bakti Seregar. Dia menceritakan kesan-kesannya atas kunjungan ke Rusia. Dia menganggap Sovyet mengalami kesuksesan besar dalam penataan masyarakatnya. Hal ini disiarkan lewat Radio Moskow 15 oktober 1963 yang berjudul "Tentang Mahakarya Revolusi Sovyet dan Kebebasan Format Manusianya".

Di samping itu Bakri Siregar membanding-bandingkan Moskow dan Leningred dengan Makkah dan Madinah. Bakri Siregar mengatakan, "Pergi ke Moskow tanpa ke Leningrad laksana pergi ke Makkah tanpa ke Madinah". Dari pernyataan ini sangatlah mengundang isu pertikaian antara kelompok yang berpandangan demikian dan yang tidak sependapat.

Dalam seminar Kesusasteraan Fakultas Sastra UI yang diadakan pada tanggal 1963. Seminar ini bertepatan dengan 3 bulan setelah pengumuman Manifes Kebudayaan. Sitor membawakan makalah yang berjudul "Manipol dan Kekuasaan". Di sini Sitor membahas bagaimana sastra bisa berbarengan dengan ilmu dan perkembangan masyarakat lewat indoktrinasi revolusi dengan tujuan sosialisme yang berhaluan Manipol.

Sitor menolak dualisme politik dan kebudayaan. Menurut dia pandangan yang paling benar adalah Gerakan Nasional yang menggabungkan antara kebudayaan dan politik sekaligus.
Tetapi di sisi lain Goenawan Mohamad menanggapi makalah Sitor. Dia mengatakan, "Makalah Sitor adalah manipolisasi sastra bukan manipulasi sastra". Goenawan menolak hubungan pengabdian antara revolusi dan sastra. Dia lebih sepakat dengan hubungan satu hati satu tujuan.

Selanjutnya ceramah Pramoedya Ananta Toer di Fakultas Seni UI pada tanggal 26 Januari 1963 sangatlah memukau. Beliau memaparkan salah satu tulisannya yang membahas Realisme Sosialis dengan cukup dalam. Realisme Sosialis adalah ideologi Lekra. Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana Lekra lewat Pramoedya memahami Realisme Sosialis.

Tambahannya mengatakan bahwa sastra borjuis yang berideologi Humanisme Universal di Indonesia adalah jubah baru dari politik etik Belanda. Mereka menganggap ideologi ini hanya bertanggungjawab pada estetika dan masyarakat yang belum jelas ada atau tidak ada.

Lain halnya dengan Bur Rasuanto. Dia berusaha menerangkan Universalitas dari pada Humanisme Universal. Menrut dia Humanisme Universal dan Realisme Sosialis sebenarnya adalah dua segi tuntutan dari suatu subyek yang sama, yaitu manusia.
Masa prahara budaya tidak terlepas dari polemik antara Bokor Hutasuhut, cerpenis, penandatangan Manifes Kebudayaan dan Sekjen Konfrensi Karyawan Pengarah se-Indonesia dengan Pramoedya Ananta Toer. Ketika Bokor Hutasuhut menuduh Pram kurang revolusioner. Hal tersebut dikarenakan Pram menulis renungan-renungannya dengan alat tulis yang diberikan oleh Belanda ketika dia masih dalam penjara . Bokor juga menuduh Pram melupakan rakyat dan Revolusi indonesia ketika menulis "Hoa kiauw di Indonesia". Hal inilah yang menyebabkan Pram dipenjara . Selain itu Sitor menuduh Usmar Ismail sebagai antek Rockefeller Foundation. Karena dia dianggap menerima beasiswa dari mereka untuk belajar ke Amerika Serikat.

Itulah bentuk dari prahara budaya yang terjadi pada tahun 1950 sampai tahun 1963. pendapat para tokoh kubu masing-masing kebudayaan saling membuktikan kalau prahara budaya memang benar-benar salah satu dari perjalanan sejarah kebudayaan bangsa Indonesia.

VI. Tentang Tokoh Terkait dan Pengkaji Ulang
Prahara budaya modern Indonesia tidak akan lepas dari beberapa tokoh lembaga-lembaga terkait. Tokoh-tokoh ini menjadi sorotan publik hingga terangkatnya prahara ini pada tahun 1993. Di samping itu, para pecinta budaya Indonesia ikut andil dalam menyikapi masalah ini. Adapun para tokoh terkait dan pengkaji kebudayaan Indonesia ketika sedang terjadi kemelut api prahara adalah sebagai berikut:

1. Yahaya Ismail
Beliau adalah salah satu mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dalam skipsinya yang berjuduul "Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia", dia memaparkan posisi Lekra yang pernah ada di Indonesia. Skipsi ini diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia pada tahun 1972.

Dalam jurnal milik militer lewat Yayasan Pancasila Sakti, Persepsi edisi Mei-Juni memuat resensi cukup panjang tentang buku ini . Setelah sembilan tahun buku Yahaya Ismail diterbitkan, Pramoedya Ananta Toer pada tahun itu meluncurkan Novel Tetralogi pertamanya. Dia menulis buku ini selama pengasingan di Pulau Buru.

Dalam bukunya Yahaya Ismail mengasumsikan bahwa Lekra identik dengan PKI. Peristiwa ini sangat kentara dalam perkembangan PKI setelah kegagalan pemberontakan Madiun . Peristiwa ini terjadi pada tahun 1948.

Di samping itu dia juga mengatakan tentang jumlah anggota Lekra. Menurutnya pada bulan Maret 1952 jumlah anggota Lekra 7.910 sedangkan pada bulan November jumlah ini berubah menjadi 500.000. jumlah ini terus bertambah hingga menjadi 1.000.000 pada tahun 1956. ide-ide PKI yang anti imperialisme dan neoklonialisme serta menyerukan kembali kepada kepribadian nasional.

Yahaya Ismail juga mencantumkan tanggal berdirinya Lekra. Dalam tulisannya tercantum 17 Agustus 1950 sebagai hari jadi Lekra. Pendirian Lekra didatangi oleh sebuah partai politik kiri yaitu PKI . Organisasi ini didirikan dua tahun setelah PKI gagal melakukan sebuah pemberontakan. Seiring perjalanannya, pada tahun 1950 mereka telah membuka fron perjuangan baru di bidang kebudayaan. Fron ini memperjuangkan anti imperialisme dan feodalisme sebagai syarat untuk membangun kebudayaan . Dari sini Yahaya menarik benang merah bahwa Lekra adalah sebuah organisasi politik kulturil.

Menurut Yahaya keterlibatan Lekra dalam politik adalah ketika dia menerima salah satu poin dari Surat Kepercayaan Gelanggang. Surat ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 18 Februari 1950. Adapun isi dari surat ini diantaranya adalah sebagai mana berikut, "Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai".

Hal tersebut seirama dengan ajaran Marxisme-Leninisme. Ajaran ini menyatakan bahwa setiap alat harus dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan partai. Jadi sekiranya kesusasteraan dijadikan propaganda maka itu adalah kaharusan dari perjuangan partai . Marxisme-Leninisme adalah ajaran PKI. Ajaran ini diterapkan pada Lekra sebagai organisasi di bawah PKI. Hingga tampak ajaran komunisme diperhebat oleh Lekra lewat lembaga-lembaga di bawahnya seperti Lembaga Seni Rupa Indonesia, Lembaga Seni Drama Indonesia dan lainnya.

Aliran Realisme Sosialis adalah berdasarkan ajaran Marxisme. Ajaran ini diantaranya seperti materialisme historis, materialisme dialektis dan teori tentang nilai lebih. Menurut Yahaya tiga term pokok dalam Marxisme tersebut sangatlah simplistik hingga menjadi stalinisme. Di samping itu ajaran ini juga menghubungkan dengan praktek organisasi kebudayaan di Indonesia.

Lebih meluas kepada Lembaga Kebudayaan nasional (LKN). Dalam penjelasan Yahaya menganggap lembaga ini juga berkonsep kulturil Marxisme. Adapun ketua dari organisasi ini adalah Sitor Situmorang. Lembaga ini sering mendewa-dewakan slogan politik Marxis .

Di samping itu, dalam tulisannya Yahaya Ismail menyebutkan tentang Manifes. Dia menganggap Manifes adalah politik pragmatisme yang bisa dianggap sebagai domba berbadan lemah yang tidak berdosa. Manifes berani menyuarakan tantangannya di tengah algojo-algojo politik yang zalim serta tidak mengenal hati nurani . Di samping menyuarakan aspirasinya, Manikebu juga melibatkan dirinya dalam politik. Mereka bersekutu dengan militer/Angkatan Darat . Mereka beranggapan, "Saat ini sikap kulturil tanpa menyangkut sikap politik adalah tidak wajar dan tidak mungkin" . Konsep Humanisme Universal yang dibawa Manikebu adalah wadah dari kebebasan manusia serta kebebasan berkarya. Mereka menentang politik sebagai panglima dan tujuan menghalalkan segala cara.

Menurut Yahaya, PKI bercita-cita untuk mempersenjatai Pemuda Rakyat. Cita-cita ini mendapat tentangan keras dari Angkatan Darat. Hal ini mengakibatkan PKI menarik konklusi Angkatan Darat adalah penghalang besar bagi pelaksanaan cita-cita PKI untuk mendominasi politik nasional seluruhnya .

Di dalam acara kebudayaan KKPI telah terjadi sebuah move politik. Hal yang sama terjadi pada saat Manifes kebudayaan dilarang lewat pernyataan presiden tanggal 8 Mei tahun 1964, "Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto yang lain..." . Dari sini tampak kekalahan konsep Manifes Kebudayaan, baru pada tahun 1965 Manifes Kebudaayaan memperoleh kemenangan konsep. Hal ini dikarenakan PKI dilarang keberadaannya lagi.

2. Keith Foulcher
Keith Foulcher adalah sarjana asal Australia. Dia memusatkan perhatiannya pada perkembanagan karakter kebudayaan yang dibawa Lekra, khususnya di bidang sastra. Foulcher membahas Lekra sejak berdiri yaitu pada tahun 1950 samai kehancuran seluruh gerakan kiri Indonesia tepatnya pada tahun 1965. Adapun pembahasannya terangkum dalam tulisannya yang berjudul Social Commitment in Literatur and Arts Lekra.

Keith mencatat bagaimana faham kerakyatan yang merupakan kombinasi dari nasionalisme – anti imperialisme – modernisme. 3 cita-cita ini terus dikembang biakkan dalam tubuh Lekra. Sehingga perdebatan tentang berbagai konsep kebudayaan hanya muncul dan berkembang diantara mereka saja. Konsep tentang rakyat sering mereka gembor-gemborkan. Apakah hanya mereka yang tertindas? Atau semua golongan yang menentang penjajahan? Pilihan ini berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar anti imperialisme dan nasionalisme. Di samping itu tentang mukadimah yang dilakukan Lekra pada tahun 1955 setelah mukadimah pertama tahun 1950. Mukadimah ini muncul akibat asumsi sosio-politik yang berubah.

Tentang Manikebu, Keith membuktikan dengan menunjukkan bahwa konseptor utama Manikebu adalah Wiratmo Soekito. Dia adalah sukarelawan yang bekerja pada badan intelijen militer .

Inti dari Manifes Kebudayaan bagi Keith Foulcher adalah bentuk pamer kekuasaan oleh kelompok yang mewakili kepentingan kebudayaan yang anti komunis. Mereka mendapat bentuan dari tentara. Hal ini tampak ketika Manikebu menyelenggarakan konferensi yang mendapat dukungn penuh dari Jendral Nasution serta memperoleh segala fasilitas dari militer.

3. Goenawan Mohamad
Goenawan menulis esai yang berjudul "Peristiwa Manikebu: Kesusasteraan Indonesia dan Politik di tahun 1960-an". Esai ini diterbitkan pertama kali dalam sisipan Majalah Tempo edisi Mei 1988. Dan diterbitkan ulang dalam kumpulan tulisan Geonawan Mohamad yang berjudul "Sastra dan Kekuasaan" oleh Pustaka Firdaus Jakarta tahun 1993. Tulisan ini berbentuk paparan pengalaman keterlibatan pribadi Goenawan dalam proses lahirnya Manifes Kebudayaan.

Goenawan menjelaskan tentang naskah dan perjalanan Manifes. Dalam paparannya dia mengatakan bahwa Manifes disusun oleh Wiratmo Soekito. Hal tersebut dikarenakan 95% tentang Manifes otaknya adalah Wiratmo. Adapun mengenai tujuan Manifes adalah memperoleh ruang yang lebih longgar untuk ekspresi kesenian yang mandiri .

Beliau juga memaparkan tanggapan kelompok Manikebu atas tuntutan keberpihakan seni. Tanggapan ini lewat HB Jassin di editorial Sastra no. 1 tahun II, "Kami tidak masuk partai kiri atau kanan , itu bukan berarti kami tidak punya pendirian tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang harus tetap kami hadapi dengan kritis. Lalu mereka memploklamirkan ; Landasan kami adalah perikemanusiaan, kemudi kami akal budi. Menurut mereka masuknya para seniman pada salah satu kekuatan politik yang ada pada saat itu cenderung mencari aman daripada sebuah kesucian ideologis. Karena inilah Manifes Kebudayaan mendapat dukungan yang luas setelah diumumkan dari para seniman yang telah lama mencari suatu basis konseptual yang memuaskan buat peran mereka di tengah mobilisasi politik yang intensif di masa awal 1960-an" .

Dalam esainya Goenawan menjelaskan perseteruan mereka dengan Lekra. Pada dasarnya Manifes tidak bisa menerima dasar-dasar Marxisme-Leninisme sebagai mana diterima oleh orang-orang Lekra. Mereka lebih memilih bentuk The Politic of the Unpolitical seperti terwujud dalam perjuangan Gandhi dan Isa al-Masih; orang yang tidak mengikatkan diri pada sebuah ilusi (masyarakat tanpa kelas dan penindasan) tentang kesempurnaan dunia, tapi terus berjuang untuk keadaan yang lebih adil.

Soal Humanisme Universal, Goenawan mempunyai pendapat lain. Menurutnya sebuah kesalahan yang menganggap Humanisme Universal sebagai ideologi kelompok Manikebu. Sebenarnya istilah itu hanya usaha HB Jassin untuk menjelaskan manusia. Dia mengatakan, "Manusia adalah satu mahluk yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan". Oleh karenanya tidak semua kapitalis jahat, sebab menurut Jassin hanya setanlah yang jahat seratus persen.

Pendapat ini termaktub dalam naskah Manifes Kebudayaan. Adapun bunyinya, "...sejahat-jahatnya manusia mesih memancarkan cahaya ilahi...". walau di bagian lain juga ditegaskana; "...apabila dengan Humanisme Universal yang dimaksudkan kontradiksi antagonis, kontradiksi antara kawan dan lawan, maka kami akan menolak Humanisme Universal itu...". Pandangan yang bersifat moral-religius ini ditanggapi secara politis oleh Lekra dengan menarik logika lurus. Kelompok Lekra bertanya; bagaimana dengan Westerling yang telah membantai begitu banyak orang Indonesia, apakah dia juga memancarkan cahaya Ilahi?

Pernyataan lugu Jassin di atas merupakan bahan ganyangan empuk bagi orang-orang Lekra. Karena itu Goenawan menarik kesimpulan bahwa ciri pemikiran Manikebu adalah anti utopian yang bersifat religius.

4. Joebaar Ajoeb
Joebaar Ajoeb adalah Sekertaris Umum Lekra sejak tahun 1957. Dia berusaha untuk menerangkan berbagai peristiwa budaya terutama di era 1960-an dengan tulisannya yang berjudul Mocopot Kebudayaan Indonesia. Naskah yang belum dipublikasikan ini menjelaskan tentang Lekra, hubungannya dengan PKI, wilayah kerjanya, keterikatannya dengan angkatan '45 dan Taman Siswa sampai paparan tentang bagaimana orang di luar Lekra, serta Soedjatmoko dan Achdiat Karta Mihardja melihat Realisme Sosialis.

Lewat paparan ini Joebaar ingin menjelaskan berbagai kesalah pahaman tentang Lekra dan kembali menegaskan apa sebenarnya yang ingin diraih Lekra dalam membangun kebudayaan nasional. Selain itu Joebaar Ajoeb menegaskah bahwa Manifes Kebudayaan dalam aksi-aksinya telah berubah menjadi Manifes Politik. Dia mengatakan bahwa para penganut Manifes telah ikut mengembangkan tradisi anggun sejarah gerakan kebudayaan Indonesia: yaitu berpolitik .

Bagi Ajoeb, baik dalam naskah Manifes sendiri maupun dalam penjelasan mereka tidak menolak cita-cita menuju sosialisme pada masa itu, paling tidak secara formal. Dari sini kita bisa melihat Realisme Sosialis begitu saja dikaitkan dengan Marxisme-Leninisme bahkan Stalinisme dalam praktek komando organisasinya. Dia juga mengatakan konsep Humanisme Universal adalah turunan dari pemikiran liberal.

VII. Kesimpulan dan Penutup
Seiring dengan perjalanan sejarah, kebudayaan bangsa Indonesia senantiasa terus berkembang. Pengaruh dari perkembangan kebudayaan Indonesia sangatlah beragam. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi adalah faktor paling utama dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Dari perkembangan inilah masyarakat Indonesia mampu melakukan interaksi tanpa batas hingga ide-ide untuk berkarya senantiasa bermunculan. Akibatnya lambat laun ide-ide ini menjadi kebiasaan hingga pada klimaknya bermetamorfosis menjadi kebudayaan.

Tentang kebudayaan bangsa Indonesia, para ahli budaya sepakat kalau kebudayaan bangsa Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua; yaitu kebudayaan klasik dan kebudayaan modern. Di samping itu salah seorang pengamat memberikan batasan terhadap dua klasifikasi tersebut. Dia menarik skat antara keduanya dengan peristiwa Proklamasi. Kesimpulannya perjalanan budaya sebelum Proklamasi dikatakan sebagai kebudayaan klasik sedangkan perjalanan kebudayaan paska Proklamasi disebut sebagai kebudayaan modern.

Dalam perjalanannya kebudaayaan Indonesia modern mengalami elaborasi dengan aspek-aspek lain. Hal tersebut dikarenakan sebuah kepentingan yang terselubung atau hal lain yang mengharuskannya melakukan langkah tersebut.
Studi Yahaya Ismail tentang Prtumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia telah menarik hubungan logis antara PKI dan Lekra. Di samping itu, konsep Humanisme Universal dilihat sebagai perlawanan terhadap dominasi politik kulturil PKI lewat Lekra.

Keith Faulcher dalam bahasan Social Commitment in Literatur and Arts Lekra melihat bahwa dominasi Lekra dalam perjalanan kebudayaan Indonesia setelah merdeka mendapat perlawanan secara politis dari militer. Dalam hal ini yang mereka khususkan adalah kelompok Angkatan Darat lewat kubu Manifes Kebudayaan.

Keith melihat perdebatan kebudayaan yang muncul setelah 13 tahun dari pendirian Lekra. Keith menyimpulkan Manifes adalah usaha militer untuk membendung dominasi PKI dalam politik nasional. Di samping itu Keith menarik benang merah bahwa gerakan kebudayaan dari Lekra telah berubah menjadi gerakan politik. Atau dengan kata lain Lekta telah menjadi corong kebudayaan PKI.

Sedangkan Goenawan Mohamad mengartikan Manifes Kebudayaan lain dengan pendapat kelompok Lekra. Beliau menyebut Manifes Kebudayaan sebagai gerakan hati nurani, sebagai pengembalian seni dan kebudayaan pada jalurnya.

Goenawan ingin menghubungkan kelahiran Manifes Kebudayaan dengan kondisi politik di masa itu. Cara Goenawan ini dianggap para seniman, budayawan dan cendekiawan tersedot habis ke dalamnya hingga kadang melupakan kejujuran dan hati nurani.

Joebaar Ajoeb menyimpulkan bahwa terlibatnya seniman, budayawan dan cendekiawan dalam politik adalah sebuah tradisi yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dari sini dia melihat lahirnya Manifes Kebudayaan sebagai kalahiran Manifes Politik.

Demikianlah sekilas tentang sejarah kebudayaan Indonesia dan prahara yang terjadi pada perjalanan sejarahnya. Secara pribadi penulis minta ma'af yang sebesar-besarnya jika di sana-sini terdapat kesalahan baik yang berkaitan dengan EYD ataupun substansial. Tidak lupa penulis meminta kepada pembaca atas saran dan kritiknya, sebelumnya terima kasih. []


* * *


Disampaikan dalam Bengkel Karya FLP (Forum Lingkar Pena) tanggal 16 Agustus 2008. (Karya non fiksi ke-34, Kairo, 14 Agustus 2008)
Artinya Khazanah Lisan dan Imaterial Umat Manusia.
Ketika Uni Soviet masih ada.
Lingua Franca artinya bahasa pergaulan.
Pada awal-awal Orde Baru, para penandatangan Manikebu sangat rajin mempublikasikan berbagai tulisannya. Mereka menjelaskan duduk perkara kelahiran Manikebu sampai pelarangannya. Tentu saja dari sudut pandang mereka dengan memposisikan Lekra sebagai bagian dari PKI yang memberontak pada 30 September 1965.
Ismail, Taufik / DS Moeljanto, 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Jakarta, HU Republika dan Mizan.
Jasmerah kepanjangan dari jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Skripsi Sarjana Strata Satu mahasiswa Malaysia yang kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: Satu Tinjauan dari Aspek Sosio Budaya.

Lihat pemberitaan Republika, Kompas, Suara Pembaruan, antara 18 Agutus - 30 September 1993. Suara Pembaruan dan Republika malah membuat laporan khusus tentang tema ini.
Oncor Studio adalah salah satu wadah kebudayaan di Jakarta. Didirikan tahun 1989 oleh sekelompok seniman dari berbagai latar belakang. Kegiatan lembaga ini selain menyelenggarakan berbagai pementasan, juga diskusi-diskusi tentang berbagai tema yang sedang hangat dibicarakan.
Dia adalah seorang penyair dan bekas ketua LKN.
Kompas, 22 Agustus 1993
Republika, 30 September 1993

Taufik Ismail adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan.
Bisa dilihat di lembar-lembar kebudayaan harian nasional seperti Kompas, Suara Pembaruan, Merdeka, Republika antara 14 Agustus - 30 September 1993. Perhatikan laporang khusus yang dibuat Republika pada tanggal 30 September 1993 tentang "Bagaimana Menghadapi Lekra/PKI".
Ismail, Taufik/DS Moeljanto, 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Jakarta, Mizan dan HU Republika, hlm. 26.
Ibid hal. 117
Dalam buku ini Pramoedya membela golongan keturunan Tionghoa yang terkena PP no. 10 di mana mereka tidak boleh menjalankan usaha dagangnya di tingkat desa dalam rangka memberdayakan perekonomian pribumi.
Hasil dari jurnal militer yang diakses pada tahun 1981.
Peristiwa Madiun oleh Orde Baru disebut sebagai pemberontakan PKI. Padahal sebagaimana Peristiwa 65, Peristiwa Madiun 1948 ini tidak kurang kontraversialnya. Sampai sekarang belum jelas betul sebab akibatnya, yang pasti pada perisitwa ini banyak tokoh kiri terbunuh seperti Musso dan Amir Sjarifuddin. Namun banyak sarjana sejarah sependapat bahwa perisitiwa ini dipicu oleh program rasionalisasi kabinet Hatta. Yang mengintruksikan kepada Laskar Rakyat untuk menyerahkan senjatanya pada tentara profesional (bekas KNIL dan PETA) sebagai salah satu hasil perundingan Lingggarjati. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat pada: Siregar, MR, 1992, Tragedi Manusia dan Kemanusian: Kasus Indonesia Sebuah Holokaus Yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua, Amsterdam, Tapol; Lecrec, Jaques, 1996, Amir Sjarifudin, Antara Negara dan Revolusi, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya; Soe Hok Gie, 1997, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta, Bentang.

Ismail, Yahaya, 1972, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: Satu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya, Kualalumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm. 8

Tesis 45 tahun PKI, Jakarta Yayasan "Pembaruan".
Op. cit hal. 31
Ismail, Yahaya, 1972, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: Satu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya, Kualalumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm. 76.

Wiratmo Soekito, "Manifes dan masalah-masalah sekarang" dalam Horison no. 5 th. II Mei 1967 hlm. 132-133.
[
Keterlibatan Militer dalam kelompok Manikebu ini bisa dilihat dari Susunan Penyelenggara KKPI, yang memasukkan 3 perwira di dewan penasihat dan seorang brigjen pada posisi ketua kehormatan. Juga disebutkan bahwa akomodasi dan fasilitas sebagian besar disumbang oleh Angkatan Darat. Taufik 1995, hlm. 441. Keterlibatan ini juga disinggung sepintas dalam Mohamad, Goenawan, 1993, "Peristiwa 'Manikebu': Kesusasteraan Indonesia dan Kehidupan Politik Indonesia di tahun 60-an" dalam Kesusasteraan dan Kekuasaan, Jakarta, Pusataka Firdaus, hlm. 26-28.

Ismail, Yahaya, 1972, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: Satu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya, Kualalumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm. 80.

Ibid hal. 83.
Pernyataan Presiden Sukarno 8 Mei 1964 yang disiarkan Kantor Berita Antara pada tanggal 9 Mei 1964.

Soekito, Wiratmo, 1982, "Satyagraha Hoerip atau Apologi Pro Vita Lekra" dalam, Horison No. 11 th. 1982.
Goenawan Mohamad pernah ikut dalam Manikebu tapi dia tidak termasuk dalam kategori orang penting Manikebu.
Mohamad 1993, hal. 14
Ibid, hal. 28
Ajoeb, Jeobaar, 1990, Mocopat Kebudayaan Indonesia, Jakarta, tidak diterbitkan, hlm. 53

0 komentar:

Posting Komentar