Musa dan Fir’aun
- Nur Fadlan -
Angin malam terasa sedikit lebih dingin. Aku hanya melihat ke arah langit mencoba menerjemahkan semuanya. Seolah-olah semuanya berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti, tapi aku merasakannya, ada sesuatu di balik itu semua.
“Sudah terjual belum komputernya, Kak Anas?” terdengar suara tidak asing, ternyata dari mulut Furqon. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Aku juga belum punya kalau 400 LE saat ini.” Tambahnya. Aku tidak membalas apa pun. Sebenarnya aku sudah cukup berterima kasih kepadanya karena sudah memberi pinjaman padaku 400 US $.
Semilir angin terasa begitu mesra tapi kosong. Kosong karena aku belum bisa menikmatinya dalam ketenangan jiwaku. Aku sungguh tidak bisa menggabungkan antara kebahagiaan dan cara mencapainya, sehingga terasa seperti ini. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di peredaran darahku.
Kebahagiaan karena beberapa bulan yang lalu aku mendapat berita gembira, aku mendapat undian temus tahun ini. Sungguh kebahagian yang begitu luar biasa. Aku lakukan tahapan-tahapan demi suksesnya kesempatanku ke tanah suci, mulai dari masalah administratif, kesiapan mental, jiwa dan kesehatan.
Akan tetapi beberapa kebijakan teman-teman panitia seperti mengiris malam-malam teman-temanku, termasuk juga aku. Selalu mengambil langkah yang kurang begitu dewasa dan bijak sehingga ada beberapa konsekuensi yang kurang menguntungkan bagi calon temus yang lain.
“Ini teh panasnya, Kak” Furqon mengasihkan segelas teh hangat kepadaku. Sambil duduk disampingku dan berusaha menghiburku.
“Kenapa bisa sampai kena ghuramah 400 LE, Kak?” tanya Furqon.
“Aku juga bingung melihat kebijakan-kebijakan panitia yang seperti anak kecil terkadang. Keinginan panitia adalah tiket langsung ingin di hendel mereka lewat tangan Talnal dan Janal. Akan tetapi ada sedikit masalah serius kenapa mereka harus jauh-jauh mengambil di Fayum kalau pada dasarnya sebenarnya ada di Tahrir dan kita semua tau oknum dari Fayum itu ngambilnya juga dari Tahrir.” Aku pun menarik nafas dan meminum teh hangat buatan Furqon.
“Apa teman-teman tidak pada protes?”
“Ya jelas protes Fur, makanya dari itu, tarik ulur keputusan menjadi agak lama dan akibatnya ghuramah harus kami bayar. Pada awalnya saya dan kawan-kawan mengusulkan beberapa teman-teman travel untuk mengurusi urusan tiketing tanpa harus lewat tangan orang Fayum yang pada dasarnya adalah sama ngambilnya dari Tahrir. Ada diantaranya yang kami usulkan adalah Andus Travel yang berani membanting harga hingga 2. 300 LE dan mereka malah memilih orang Fayum yang mematok harga 2. 800 LE.”
“Kenapa panitia masih memilih lewat tangan orang Fayum itu, padahal harganya selisih jauh sekali?”
“Ya... biasa lah, si Talnal dengan apologi sekian panjang dan ternyata si Fayum itu hanya bisa meng-cover 76 seat. Akibatnya aku dan teman-teman belum mendapat seat itu, sehingga dilelang, dan akhirnya kita diurusi teman-teman travel Indonesia. Yang lebih parah dari keputusan panitia adalah, ketika memutuskan travel mana yang seharusnya meng-cover seat yang kurang. Sudah tahu sekian perbandingan harga yang ditawarkan oleh para travel, malah ada kecondongan memilih Rafis Travel yang mematok harga 3. 000 LE.”
“Sangat gila sekali, Kak!” kaget Furqon. “Masisir masih selalu komunal dalam kelompoknya tidak kalah juga semangat untuk ber-chauvimisme masih kental sekali. Aku yakin kak, itu semua karena bias kepentingan individu dan kelompok. Kalau baca buku-buku Gie, Gie selalu menentang tirani-tirani itu, dan lebih memilih hidup diasingkan dari pada hidup dalam kemunafikan” tambahnya.
“Hah... kamu ini, ngefan sekali sama Gie!” Furqon tersenyum dan meminum teh panasnya.
“Kring... kring... kring... “ suara telfon.
“Angkat, Fur!” perintahku.
“Assalamu’alaikum...” ucap Furqon. Semuanya terasa sepi dan tiba-tiba Furqon memanggilku “Kak.... dari Talnal”.
“Assalamu’alaikum... “ ucapku.
“Wassalammu’alaikum, dengan ustadz Anas” suara dari sebrang sana.
“Iya” jawabku sedikit. Ada kekawatiran tersendiri ketika mendengar suara itu.
“Oh ya... ini dari panitia temus, antum harus segera ke Tahrir menemui kami dan membawa uang ghuramah, kami tunggu 1 jam lagi” suara itu laksana petir di malam hari, memecah suasana merdu menjadi sahdu pilu. Dalam otakku hanya, bagaimana cara mendapatkan uang 400 LE detik ini juga.
“Ingsyaallah, Ustadz” jawabku.
“Oke, kami tunggu, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam.”
Malam itu benar-benar membuat aku bingung. Aku tidak tahu harus melakukan apa? Tapi aku tidak mungkin kalau tidak memenuhi undangan teman-teman panitia, ini adalah mendesak, tapi bagaimana aku mendapatkan uang 400 LE saat ini juga?.
“Aku pinjem 20 LE dulu, Fur” Furqon pun membuka lemari untuk mengambil uang.
“Ini kak, ingsyaallah wallahu mustaan.” Ucapnya meyakinkanku. Aku pun segera bergegas ka Tahrir untuk menemui mereka.
Jalanan yang begitu indah malam itu tidak bisa aku nikmati. Aku terasa tertekan karena keadaan yang benar-benar menghimpitku. Aku hanya mengingat pesan Furqon sekedar menjernihkan hati dan melapangkan jiwa. Dalam hatiku, dentuman-dentuman kecil membuat resonansi nada, Ya Allah mudahkanlah semua urusanku. Sepanjang jalan hanya aku isi dentuman inti hati dan jiwaku dengan kalimat itu secara berulang-ulang. Terasa getar hp di sakuku dan aku angkat.
“Assalamu’alaikum...”
“Wassalamu’alaikum, ustadz Anas kita ketemu di antara Tahrir dan Ataba saja!” suara itu lagi-lagi yang membuat aku merinding.
“Ingsyaallah” jawabku singkat. Aku pun menuju tempat termaksud dan segera memenui teman-teman panitia temus. Tampak ada beberapa teman-teman temus dan dua orang perwakilan travel sedang melakukan perbincangan yang lumayan cukup serius. Si Janal dan salah satu perwakilan travel itu menghampiriku dan berkata.
“Assalamu’alaikum...”
“Wassalamu’alaikum...”
“Begini ustadz, kita butuh pembayaran ghuramahnya sekarang juga.” Hatiku hanya berdesir kencang dan aku belum bisa menjawabnya. Setelah kalimat itu keluar dari mulut Janal dia pun kembali untuk membincangkan lagi dengan kawan-kawan panitia. Hanya ada salah satu perwakilan travel yang ada di sampingku.
“Transaksi kok di sini!” ucap salah satu perwakilan travel itu. Aku hanya diam dan aku sampaikan semua masalah yang sedang aku alami termasuk masalah pembayaran ghuramah.
“Aku juga lagi punya masalah pembayaran ghuramah, komputer mau aku jual tapi belum laku-laku.” Perwakilan itu melihatku dan bertanya.
“Sekarang belum megang uang?”
“Iya” jawabku singkat. Tiba-tiba dia menarik tanganku dan memberikan pinjaman padaku.
“Pake aja dulu, Kak. Kita sama-sama satu kekeluargaan, santai aja. Bayar kalau sudah pulang saja.” Wah serasa ada es yang menyentuh hatiku. Betapa mulya hati orang ini. Kemudia aku selesaikan masalahku dengan Talnal dan Janal serta berpamitan sekedar mengembalikan optimesme hati yang nyaris hampir terkoyak.
Aku pulang sabil menikmati kota Kairo. Terlihat kabut tipis turun pelan-pelan dilembah Sungai Nil, lembah Musa dan Fir’aun. Nil, kamu pernah memberi minum kepada Musa demikian halnya kepada Fir’aun. Sekarang ini, jiwa-jiwa Musa dan Fir’aun pun terus kamu beri minum. Alhamdulillah atas segala rahman rahim-Mu. []
Kairo, 29 Januari 2010
“Aku lebih memilih hidup diasingkan dari pada hidup dalam kemunafikan”
1 komentar:
('_' )
25 Maret 2010 pukul 17.49Posting Komentar