Welcome to Nur Fadlan Blog

Kamis, 14 Januari 2010

Kasih Sayangmu Hantarkan Daku Gapai Cita dan Cinta


Nur Fadlan




Hujan turun dengan begitu lebat. Hembusan angin menerpa pohon ficilium tua hingga melambai-lambai di sisi rumah. Aku ketakutan. Petir pun berteriak dari arah yang sangat jauh. Sungguh malam itu aku benar-benar dalam ketakutan yang sangat luar biasa. Tanganku meraba sisi kanan kiriku untuk memastikan keberadaan bunda. Beliau tidak ada. Sungguh aliran darahku menjadi semakin deras. Kenapa bunda meninggalkan aku, setelah tadi malam bercerita tentang Tom Hanks. Dalam ceritanya Tom Hanks adalah manusia yang pernah terdampar di negari jauh dan tidak bertemu manusi selama tujuh belas bulan. Malam itu di kamarku sepi sekali, gelap, pakat dan aku pun sangat takut. Kenapa bunda meninggalkan aku tidur sendirian. Apa aku akan sendirian di sini sampai pagi, tanpa kawan seperti Tom Hanks. Aku mulai meraba saklar lampu, sekedar menerangi ruangan gelap yang mengakibatkan aku takut. Aku tekan sampai beberapa kali dan tidak ada perubahan. Lampu mati.

"Bunda !!!" teriakku. 

Dari kamar sebelah ada jawaban. Aku tidak memperdulikan itu dan aku teriak dan menangis kencang. Aku buka dan aku banting pintu kamarku hingga benar-benar membentur kosen pintu dan mengakibatkan bunyi yang tidak indah dan enak di telinga. Bunyi pintu itu terdengar membuka dan sosok bunda dalam gelap masuk dan memelukku dari belakang. Beliau menggangkat dan mengajak aku tidur dalam dekapannya. Sungguh suasana yang sangat damai, tidur dalam dekapan bunda. Seperti ini bunda lakukan untukku dan dalam setiap tidurku. 

Matahari mulai masuk melalui celah-celah kaca kamarku. Mataku diajak sinar mentari itu untuk menyaksikan pagi dan euforia musim hujan. Dengan penuh kemalasan, aku membuka mata dan meninggalkan selimut, kasur dan bantal. Matahari dengan sinarnya memberi pancaran kehidupan untuk seantero negeri. Aku pun mencari bunda di dapur. Tampak bunda menyiapkan makan pagi kami dengan penuh keikhlasan dan ketenangan. Tenang wajahnya seperti ketenangan hembusan angin pagi. 

"Bunda..." sapaku.

"Sudah Shalat Subuh belum, Pasha?" tannyanya. 

Aku pun segera lari menuju kamar mandi untuk mengambil wudu' dan manunaikan ibadah Shalat Subuh. Bunda sanggat memperhatikan shalat, akhlak, belajar, perkembangan psikologi, kesehatan dan akademis anak-anaknya.  

Selepas menunaikan ibadah shalat, aku pun mencari uang Rp 500,00 yang kemarin sore aku letakkan di bawah bantal. Aku angkat bantal itu, untuk mencari uang yang aku letakkan di bawah bantal. Tidak ada. Aku pun teriak kepada bunda.

"Uangnya mana?!" dengan suara kencang. 

Belum ada reaksi dari bunda. Bunda datang menuju kamarku dan mencoba menjelaskan. Bahwa uang yang tadi malam diletakkan di bawah bantal tidak ada dan nanti sore akan diganti. Setiap hari penjelasan bunda selalu sama. Aku pun mempercayai penjelasannya. Peluh bunda masuk dalam kelopak matanya karena sisa capeknya mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Tanpa ada kelelahan yang tampak dalam sorot mata bunda atas abdi terhadap keluarga, terutama saya. Bayangkan setiap pagi harus menjelaskan keberadaan uang Rp 500,00 yang aku letakkan di bawah bantal, karena aku mempunyai kebiasaan meminta uang kalau mandi di sore hari. Jadi harus dikasih Rp 500,00 baru mau mandi. Itu syarat aku mau mandi dan sebelum tidur uang itu senantiasa aku letakkan di bawah bantal, supaya aman hemat aku. Akan tetapi uang itu selalu hilang di pagi hari. Dan bunda dengan lapang dada dan sabar menjelaskan semuanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari aku tentang keberadaan uang itu.  

Disetiap pagi aku melihat bunda selalu semangat yang beliau tularkan kepada anak-anaknya. Beliau seperti Pilea. Yaitu jenis bunga Mariam yang ketika kejatuhan air di daunnya, bunga itu melontarkan serbuk sari. Sehingga tampak dalam setiap geraknya semarak, spontan, mekar dan penuh gaya hidup. Tidak aku lihat di matanya rasa lelah, sehingga semangat itu beliau tularkan dalam sanubari anak-anaknya. 

"Makan dulu, Pasha" ujarnya. 

Aku pun menghampiri meja makan dan duduk di kursi yang aku pilih. Sambil menunggu ayah, sementara bunda membuatkan susu hangat untuk semua anggota keluarga. 

"Bunda aku minta susu pake gelas besar!" manjaku. 

"Iya" jawabnya singkat. 

Ayah saya pun datang. Kemudian disusul dua kakakku yang masih sibuk dengan bacaannya. Aku memiliki empat saudara. Dua tidak tinggal di rumah karena sedang program s1 di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Dan yang dua lagi masih SLTA dan SLTP yang berada enam kilo meter dari rumah. Sehingga keduanya masih tinggal di rumah bersama ayah bunda, demikian halnya dengan aku. Kita semua sangat menyanyangi bunda dan ayah karena bentuk perhatian dan kasih sayangnya benar-benar merasuk dalam benang-benang kalbu. Setelah semuanya kumpul, ayah, bunda, dua kakakku dan aku, kita pun memulai makan tapi sebelumnya kita mulai dengan membaca do'a makan bersama. Pagi itu, yang memimpin do'a adalah aku setelah aku menghafal do'a makan hasil pengajaran dari bunda. 

Pagi itu benar-benar istimewa bagiku. Pagi itu adalah pagi di mana aku akan memulai pembelajaran formalku. Kakak perempuan di sampingku tampak cantik seperti sekuntum Crinum Giganteum. Aromanya seperti vanili. Dialah nanti yang akan mengantarkan aku dalam pembelajaran formal pertama, Taman Kanak-Kanak. 

"Nati biar diantarkan sama kak Rina, Pasha. Bunda dan ayah mau ke Mranggen" ucap ayahku. 

Dalah hatiku kenapa harus kakakku. Aku nggak suka diantar kakakku, aku lebih suka diantar bunda. Bunda lebih bisa memahami aku, sungguh beliaulah orang yang paling berpengaruh dalam hidupku. 

"Nggak mau. Pasha pengen diantar bunda." 

Ayahku memegang bahu dan aku menepis pegangan ayah. Ayah menjelaskan kalau bunda mau ke Mranggen ada silaturrahmi alumni Pondok Pesantren Futhuhiyyah. Aku tidak memperdulikan alasannya, yang paling penting bunda harus nemani aku sekolah di pagi ini, kalau nggak aku tidak mau sekolah lagi. Kakak perempuanku memaksa aku untuk siap-siap dan nanti bereng sama dia. Mungkin dia tahu kalau silaturrahmi dengan teman-teman bunda hanya dilakukan setahun sekali. Masak gagal gara-gara nganterin aku ke sekolah. Tapi itu semua tidak dalam pertimbangan aku. Yang paling pnting adalah aku harus sekolah dianter dan ditungguin sampai kegiatan belajar mengajar itu selesai. Bunda hanya diam. Expresinya belum bisa aku tafsiri. Pagi itu, benar-benar peristuwa yang disaksikan pohon ficilium yang menaungi atap rumah kami. Hingga akhirnya bunda mengiyakan untuk mengantar aku dan aku girang tak alang kepalang. 

Jalan kerikil batu menjadi saksi bisu pagi itu. Aku dan bunda pun melewatinya dengan setapak demi setapak. Kita lebih memilih jalan kaki karena jarak TK tersbut dengan rumnah kami sangat dekat, kira-kira 250 meter. Dalam perjalanan aku menginginkan sebatang kayu untuk dijadikan pukul. Aku pun melihat pohon nipah dan aku meminta bunda untuk mengambilkannya. 

"Ambilin itu, Bunda!"

"Pasha... ini mau sekolah. Nanti aja kalau sudah pulang kita ambil. Lagian itukan bukan milik kita." Jawab bunda dengan bijak. 

Aku tidak memperdulikan jawabannya. Aku lari dan aku patahkan salah satu cabannya untuk jadi pukul dan pegangan. Bunda hanya tersenyum dan mengelus rambut di kepalaku. Aku pun memeluk paha kaki bunda yang terbalut rok panjang. 

"Udah. Ayo jalan." Ajak bunda. 

Aku lari sambil membawa potongan pohon nipah dan tidak memperdulikan bunda. Bunda hanya jalan pelan dibelakangku dengan sabar. Sesampai di depan pintu masuk utama, keadaan yang sangat membuatku ingin cepat bergabung dengan komunitas itu. Teman-teman sebaya dengan aku memakai pakaian batik hijau daun yang begitu apik dan menarik. Sedap dipandang mata. Sambil menungguin bunda aku melihat baju dan jelana pendek yang aku pakai. Rasannya pengen secepatnya seperti mereka. Memakai pakaian seragam dan baris panjang kayak ular. Aku melihat salah satu dari mereka menjadi ketua kelas dan memberi komando kepada teman-temannya. 

"Siap...!!! grak !!!" ucap ketua kelas itu. 

Aku sangat ingin bisa seperti ketua kelas itu, memberi komando pada teman-temannya. Bunda pun tiba-tiba sampai di sampingku. 

"Ayo kita masuk, Pasha" ajak bunda.

Tanpa ada jawaban dari mulutku, aku pun langsung lompat dan lari serta menarik tangan bunda untuk segera masuk dalam kantor dan membelikan untukku seragam batik hijau daun itu. Setelah tata usaha dan bunda ngobrol tentang aku dan TK itu akhirnya aku dibolehkan membaur dalam kelas. 

"Pasha ganti baju, Bunda!" pintaku.

"Iya" jawab singkat bunda. 

Aku pun ganti baju dan segera membaur dalam kelas itu. Sampai aku melupakan potongan cabang pohon nipah, dan aku berganti menikmati alunan do'a-do'a, nyanyi-nyanyi, menggambar, berhitung, menulis dan membaca. Aku merasa belum mampu untuk memahami semuanya. Aku hanya melihat bunda yang melihatku dari luar jendela kalas itu. Meskipun aku belum bisa memahami semuanya, aku tetap mencoba untuk bisa. Aku harus menghafal dan memperhatikan guru aku supaya cepet bisa dan memahami. Aku lihat lagi bunda di luar jendela kelas itu. Bunda tidak ada. Kosntrasiku pecah dan aku lari keluar tanpa minta permisi dari guru kelas saat itu. 

"Bunda!!!" teriakku. 

Aku menangis tersedu. Tiba-tiba ada tangan yang memegang aku dari belakang. Aku melihatnya, ternyata bunda. Aku mengusap air mata dan berpesan pada bunda untuk menemani aku sampai kegiatan belajar mengajar itu selesai. Kemudian aku menyarankan bunda melihat aku dari luar jendela. Seperti itu telah dilakukan bunda di setiap pagi sekedar aku mau mendengar dan intraksi dengan komunitas formal.

Hingga pada suatu hari, kegiatan pentas seni digelar. Aku dan bunda menyiapkan segala sesuatu untuk keperluanku. Bunda mengenalkan padaku busana Antediluvium. Busana ini adalah busana masa lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana sebagai nomad. Busana ini adalah busana yang terbuat dari kulit kayu. Aku sangat menyukai dengan ide bunda dan ikut partisipasi dalam pentas seni itu.  

Ternyata proses selama ini yang bunda korbankan demi aku tidak sia-sia. Aku yang terkesan manja dan memiliki kenakalan di luar batas ternyata menjadi siswa tercerdas di TK itu. Aku juara dalam segala event pentas seni dan kemahiran lainnya. Seperti dalam memahami gramatikal sederhana bahasa Indonsia dan Bahasa Arab, membaca, menulis dan menggambar. Dan yang tidak kalah untuk tidak dilupakan adalah aku berhasil menjadi ketua kelas. Sungguh sangat bahagia semua target aku di TK itu terpenuhi bahkan lebih baik dari target sebenarnya.  

Kemampuanku yang di atas rata-rata dari pada temanku ternyata tidak hanya karena faktor formal kegiatan belajar mengajar di TK itu. Aku mendapat tambahan dari bunda dalam proses panjang saat itu. Bunda mengajariku beberapa hal selepas Shalat Magrib secara terus-menerus. Mengajari membaca, menulis, gramatikal sederhana Bahasa Indonesia serta Arab, berhitung, menjadi ketua kelas, bernyangi, menulis rangka indah, menggambar dan lain sebagainya. Seakan semua fatamorgana pelangi yang dulu saya impikan benar-benar saya dapatkan dalam waku itu, setelah mendapat pembelajaran tambahan dari sang bunda. 

Tutur katanya bagaikan mutiara-mutiara nan puitis yang selalu aku percaya. Pembuktian dalam kasih sayangnya sangat luar biasa. Nasehatnya benar-benar merasuk dalam benang-benang halus dalam kalbu. Bunda yang mebuatku berkobar untuk gapai cita dan cinta. Semangat itu beliau sampaikan lewat cerita-cerita sebelum tidaur malamku. Hingga akhirnya aku selelu berani mengambil spekulasi demi tercapainya sebuah tujuan secara cepat dan profesional. 

Seakan bunda penerang bagi nabula kehidupanku. Siapa pun orangnya, jenius dan sukses tidak akan terlepas dari peran sang bunda. Bunda memberi tidak berharap untuk menerima. Giumana tidak, kesuksesan akan senantiasa tercetak dalam anaknya. Di samping bunda mengajarkan tentang berbagai hal, beliau juga mendidik. Menurut beliau Lingua India memiliki keseimbangan dalam formating anak didik. Ajaran ini, tidak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tetapi juga secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi anak didik. Itu semua benar-benar aku rasakan dalam melewati proses pendidikan sang bunda. 

Di samping itu, pesan beliau yang sudah menancap dalam sanubari adalah: hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Tarbiyah ini beliau praktikkan dalam setiap pergaulan sehari-hari. Aku dididik untuk ringan tangan kepada siapa pun. Benar-benar pendidikan yang sangat luar biasa yang pernah aku dapatkan dalam pendidikan bunda. Terima kasih bunda. []





Kairo, 10 Desember 2009 
Dingin... tapi semangat ini terus mengalir.









 





0 komentar:

Posting Komentar