Welcome to Nur Fadlan Blog

Senin, 30 November 2009

Shaleh Intelektual dan Sosial


-Nur Fadlan-


Illustrasi salah satu Hadist Nabi mengabstarsikan, "Keutamaan ahli ilmu dan ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang". Texs ini, tentunya memiliki intepretasi yang bermacam-macang menurut dari mana dan siapa yang mengurai texs ini hingga menjadi sebuah formulasi konsep. Sebelum menyibak pada pembahasan yang lebih mendalam Derrida mengajak kita untuk mendialogkan semua texs tanpa harus mengkultuskan texs, hingga akhirnya texs itu tidak mampu dijamah oleh logika dan tidak membumi. Penulis mengajak kepada para pembaca untuk memasang worldview bias, meletakkan sebuah konsep yang sudah tertata pada keadaan menggantung dan tidak bersifat corpus.

Sosial budaya ketika texs ini keluar tentunya pola pikir, paradigma dan cita-cita universal sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Masa Nabi keadaan sosial agama masih begitu harmonis dan koheren di dalam aspek apapun. Tapi setelahnya konflik-konflik kecil mulai keluar kepermukaan, beda pendapat, beda kepentingan dan lain sebagainya. Itu semua akibat differensiasi pada berbagai dimensi yang ikut campur tangan dalam ranah intepretasi.

Hadist di atas tentunya tidak berbenturan dengan keadaan ruang dan waktu yang berbeda-beda. Ruang dalam artian adalah dunia saat ini dan waktu dalam artian bulan ini, Ramadhan. Perlu kita urai juga, analog di atas menggunakan bulan dan bintang, perlu kita ketahui keadaan intelektual saat itu masih begitu sederhana meskipun secara sersirat itu semua sudah dipaparkan dalam al-Qur'an. Sains modern membuat formulasi bahwa bintang itu lebih besar dari pada bulan dan bintang adalah sumber cahaya sedangkan bulan hanya pantulannya. Di sini kalau kita terlalu literalis dalam memahami texs ini tentunya berbagai keraguan akan bermunculan dalam benak kita. Oleh karenanya dalam salah satu pandangan Derrida bahwa bahasa tidak semuanya mampu mewakili realita.

Kembali pada dimensi ruang dan waktu. Ruang, dalam artian adalah dunia saat ini, tidak seperti tuntutan ketika saat Nabi. Dewasa ini lebih komplek dan masih sangat jauh dari harapan, perihal kedewasaan intelektual dan sosial. Sebelumnya ada riwayat menarik, yang disampaikan oleh Ibn Khuzaymah, "Hai manusia! Telah datang kepada kamu satu bulan yang mulia, bulan rahmat... dimana bulan ini mewajibkan kamu berpuasa di siang hari dan sukarela bersholat pada malamnya. Barangsiapa yang mendekati Allah dengan melakukan segala amalan sunat di bulan ini akan menerima ganjaran seperti melakukan amalan wajib di lain hari. Ini merupakan bulan kesabaran dan kesabaran itu imbalannya surga. Ini juga bulan sedekah dan bulan dimana rezeki orang beriman bertambah...".

Masa Nabi dan digenerasi setelahnya, mungkin dalam mengisi bulan yang mulia ini dengan ibadah. Sebelum lebih jauh pada kontexs ibadah, hendaknya kita memahami ibadah ketika dalam arti khusus atau arti umum. Tentunya kita sepakat, kalau ibadah dalam arti umum adalah segala amalan baik yang didedikasikan untuk kepentingan Islam. Dahulu, mungkin ketika bulan Ramadhan mereka mengisinya dengan seabrek paket ibadah, dalam artian shalat, iktikaf, membaca al-Qur'an, dan lain sebagainya.

Ibadah-ibadah tipikal teosentris ini mereka pupuk hingga dalam perjalanan Islam, hal ini terus diwariskan dan direalisasikan. Dan secara pribadi saya tetap mengatakan kalau ritual ini baik. Akan tetapi dibeberapa studi kasus, terkadang ada kaanehan. Dalam hal ini adalah masalah dimensi ruang dan waktu. Terkadang di bulan Ramadhan kita mengalami kesibukan yang sangat luar biasa hingga akhirnya kita tidak memiliki alokasi yang cukup untuk melekukan ritual warisan salafussaleh itu. Apakah kita rugi dalah melewati Ramadhan ketika kita sibuk dengan ibadah-ibadah yang tidak teosentris tapi lebih pada antroposentris.

Saya secara pribadi hanya akan menyoroti mahasiswa dan dinamikanya ketika hadir pada bulan Ramadhan. Mereka sibuk dengan deat line buletin, majalah, diskusi, organisasi massif, serta bentuk dinamika lainnya. Apakah dalam kontek ini, mahasiswa yang sama-masa memiliki kesempatan untuk memanen bulan Ramadhan harus rugi, gara-gara tidak melakukan ibadah-ibadah teosentris. Menurut saya, tidak ada yang rugi. Karena semuanya dilakukan demi kepentingan Islam, coba bayangkan jika Islam ini seirama maka keindahan akan semakin pupus dan purna. Bukankan keindahan adalah akibat dari sesuatu yang berbeda, seperni warna-warni pelangi. Yang dibutuhkan Islam saat ini adalah rekonsiliasi serempak para pakar baik mereka yang aktif dalam dinamika Politik, Akademis, Sosial, Budaya, Antropologi, Sains, Teologi, Fiqih, Logic, Matematika, Fisika, Bahasa, Ilmu Al-Qur'an, riset dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, penulis hanya mau menyampaikan kepada teman-teman semua, tidak ada kata rugi jika kita mengisi hari-hari Ramadhan dengan ibadah-ibadah yang dibutuhkan Islam, demi exsistensi dan kuwalitasnya. Walau demikian tidak menutup kemungkinan tetap meningkatkan mutu spiritualitas kita dengan ibadah-ibadah tipikal teosentris.

Keresahan para aktivis mahasiswa adalah ketika mereka memiliki satu waktu akan tetapi harus melakukan multi kegiatan. Terutama yan berkaitan dengan intelektual / sosial dengan yang berkaitan dengan ibadah-ibadah teosentris. Misalnya ketika dalam waktu shalat tarawih, akan tetapi terbentur dengan kegiatan baik yang berbau intelektual atau pun sosial, bagaimanakah kita menyikapinya? Paradigma, merasa rugi tidak bisa melakukan shalat tarawih dengan jama'ah karena dinamika intelektual dan sosial hendaknya dibuang jauh-jauh.

Kita tidak ada yang mengetahui nominal pahala yang akan dihadiyahkan Tuhan pada kita, hemat penulis da'wah adalah melakukan sesuatu yang dibutuhkan umat saat itu. Maka dari situ, kalau umat membutuhkan semangat dengan tulisan hendaknya kita melakukannya dengan itu, seperti kesuksesan Theodor Herzl. Dan perlu diketahui sholat Tarawih dengan berjama'ah sebenarnya ada motif-motif untuk da'wah. Kontek di Kairo saya kita itu perlu kita timbang lebih matang, apakah lebih baik shalat Tarawih di rumah dengan mengikuti dinamika kebutuhan umat atau berjama'ah yang terkadang benturan dengan dinamika intelektual dan sosial. Keluar dari itu semua, kontek di Indonesia, tentunya shalat Tarawih memiliki tempat dan cara pandang sendiri.


12 Septembar 2009 ... (I see... marh)

0 komentar:

Posting Komentar