Politik Islam; Apakah Bahasa Politik?
Nur Fadlan
Teringat akan kepahitan sejarah yang pernah menggunakan ungkapan 'Demokrasi Terpimpin'. Ungkapan ini menjadi supremasi tersendiri bagi Sang Presiden yang mengganti peranannya menjadi sang raja abadi. Sampel di atas hanyalah satu dari sekian banyak bahasa politik yang kerap kali dipakai oleh para politisi. Sampai sekarang ini, telah muncul fenomena menarik perihal Politik Islam, Partai Islam, Partai Da'wah, dan ungkapan-ungkapan licin serta manis yang terdengar di telinga kita.
Bisa dilihat dalam perjalanan sejarah politik penguasa Abbasiyah yang telah berkongsi dengan para fuqaha'. Hal ini dikarenakan para fuqaha' bersikap lunak terhadap penguasa, dengan visi dan misi menghindarkan perpecahan di tubuh umat Islam. Awalnya, tujuan utama para fuqaha' hanyalah menerapkan syariat saja, terlepas siapakah yang memimpin. Maka dari itu Imam Hanafi dan Abu Yusuf berpandangan bahwa Islami atau tidaknya sebuah negara, dilihat apakah negara itu melaksanakan hukum Islam atau tidak. Kemudian dari fiqh inilah dirancang justifikasi kepemimpinan pro status quo.
Dari situ al-Mawardi, seorang al-faqih sekaligus pemikir politik Islam masa Abbasiyah menaruh Babul Imamah di bagian pertama dalam kitab Ahkam Sulthoniyah dan memaparkannya hingga menghabiskan dua puluh lembar. Bahkan di mukadimah kitabnya ditegaskan tujuan kitab ini, yaitu untuk menerangkan pemimpin mana yang patut ditaati. Beliau juga menambahkan, asas utama legitimasi seorang imam adalah ikhtiyar al-ummah.
Berbeda dengan paradigma Abid al-Jabiri dalam karyanya, Al-‘Aql al-Akhlâqi al-‘Arabi; Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nudhum al-Qiyam fi Tsaqâfah al-Arabiyyah menganggap bahwa etika Arab Islam terpengaruh oleh etika Persia pada perjalanan etika Arab Islami. Menurut kaca mata Jabiri etika Arab Islami disamping terakumulasi oleh nilai-nilai lain, juga terpengaruh oleh kepentingan politik. Hal ini sangat kentara sekali ketika kita menelisik dalam perjalanan penguasa Umawiyyah dan Abbasiyyah.
Etika Persia oleh penguasa Arab Islam kala itu dianggap memiliki beberapa nilai yang releven untuk perguliran roda pemerintahan saat itu. Bisa diilustrasikan bentuk akumulasi etika Arab dan etika Persia demi kepentingan politis dan meredam gerakan sparatis. Perlu diketahui bahwa dalam salah satu etika Persia mengajarkan doktrin ketaatan penuh terhadap kekaisaran. Sehingga al-Mawardi (wafat 450 H) yang telah mengislamisasikan konsep etika Persia dengan justifikasi teks-teks dasar agama Islam. Ini adalah bentuk bahasa politik dari al-Mawardi.
Beberapa sampel di atas bisa ditarik benang merah betapa strategisnya bahasa politik dalam menempati posisi kesuksesan atau ketidak suksesan aktor politik. Dewasa ini perpolitikan semakin gencar dalam mengikat simbol-simbol agama untuk menarik masa dan mewujudkan impiannya, menang pemilu 2009. Tentunya persenyawaan antara politik dan agama akan mempengarui citra keduanya.
Nah... sebagai mahasiswa idealis dan agamis tentunya kita harus peka terhadap gejolak perpolitikan yang mulai bermain di wilayah agama. Disadari atau tidak bahasa politik mampu membawa dan menghantarkan kita pada sebuah markas yang mereka cita-citakan. Sehingga terma Politik Islam dan beberapa istilah yang diarabkan tidak berarti itu adalah Islam. Bahkan, mengislamisasikan beberapa hal untuk kegiatan kepartaian sudah masuk dalam ranah intelektual mahasiswa. Intelektual yang seharusnya murni dalam pengkajian dan pendalaman sebuah materi terkotori akibat terjerambah dalam ranah politik. Mahasiswa seharusnya idealis dan berwawasan luas, sayangnya akibat menghabiskan waktunya untuk kegiatan keilmuan yang terpoles oleh perpolitikan akibatnya keilmuan yang diserap tidak bisa begitu maksimal. Taruh saja pertemuan keilmuan itu berubah menjadi disorientasi karena para mahasiswa yang masih begitu lajang di ombang-ambingkan dengan kampanye yang berbungkus oleh dalil-dalil agama.
Kalau pun sudah sepakat memilih nama partai sebagai Partai Islam dan bercita-cita menjalankannya dengan metodologi Politik Islam seharusnya hal tersebut terealisasi dalam berbagai lini perjalanan kepartaian. Sebut saja, partai yang mengaku sebagai Partai Islam menerima non-Muslim sebagai anggota DPR, bahkan selama ini telah memiliki sejumlah anggota DPRD yang terdiri dari non-Muslim. Bukankah dalam Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (QS. Al-Maidah: 51).
Menurut ayat di atas, hendaknya kita tidak mengambil pemimpin dari kalangan orang-orang kafir. Ironis memang melihat kenyataan bahwa ajaran Islam telah ditinggalkan demi nilai-nilai duniawi dan kepentingan parsial. Dalam hal ini, Yusuf al-Qaradawi, yang dianggap moderat oleh masyarakat dunia, mengkritik habis-habisan pelabelan Islam politik kepada golongan Islamis. menurutnya terma itu dibuat untuk memojokkan umat Islam dan mengasingkan masyarakat dari terlibat dan menyokong perjuangan Islam melalui kaedah demokratis yang sah.
Alangkah baiknya, tanpa harus menggunakan label-label Politik Islam, Partai Islam, Partai Da'wah dan arabisasi kata-kata yang seharusnya tidak perlu diarabkan. Karena itu semua akan menambah dikotomi-dikotomi masyarakat Indonesia yang memiliki cita-cita yang sama. Dari pada mengatas namakan Partai Islam tapi tetap menampung aspirasi non-Muslim dengan konsekuensi-konsekuensinya, mengatas namakan Politik Islam tapi dalam praktiknya masih jauh dari ajaran Islam, melabelkan da'wah dalam partai tapi dalam praktiknya adalah menarik massa demi sebuah kepentingan, mengarabisasikan beberapa istilah dengan tujuan tampak suci tapi dalam prakteknya masih berlumuran dosa. Semuanya hanya bahasa politik belaka. Alangkah baiknya, biarkan partai itu terbuka untuk semua golongan tapi yang paling penting adalah nilai-nilai Islam yang universal exsis dalam tubuh dan pergerakan partai tersebut.
Konklusinya; Percayalah pada demokrasi, tetapi waspadalah terhadap orang yang bilang demokrasi pada anda. Percayalah pada prularisme dan toleransi antar perbedaan-perbedaan, tapi hati-hati kalau ada orang ngomong tentang toleransi dan perbedaan pada anda. Percayalah pada kekuatan da'wah dan Islam, tapi hati-hati kalau ada partai yang berkepentingan berkata seperti itu pada anda. Serta berhati-hati dan waspadalah terhadap bahasa politik!. []
informatikana@yahoo.com
Untuk Informatika (Rubrik Analisis)
0 komentar:
Posting Komentar