Pengkritisan Teologi
Nur Fadlan
(Paket kedua bedah buku Lakpesdam, 31 Agustus 2009)
Memang secara kultural, struktural dan epistemologik ajaran rasionalitas Ibnu Rushd tidak diterima di timur. Gagal total. Walaupun dengan kuantitas karangan yang menyamai peti matinya sendiri, ia tak bisa merubah pola pandang umat Muslim setelahnya, khususnya di bagian timur. Karena bahasa yang dipakai Ibnu Rushd adalah bahasa alla mufakat beh, unthinkable oleh nalar timur, nalar Islam. Karena peradaban di timur telah terjadi sedimentasi gnosis yang kuat, merata ke seluruh lapisan masyarakat. Sehingga ini membuat nalar rasionalitas ditolak karena perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya. Secara gampang, nalar rasionalitas menggunakan akal, sedangkan nalar gnosis menggunakan hati.
Dimulai dari mengakui kebenaran ada dimana saja, dan antara kebenaran tak pernah saling bertentangan, lahirlah toleransi. Lalu dalam perjalanan intelektual harus berijtihad tak pernah puas dengan pemikiran yang sudah ada, maka lahirlah kreatifitas. Kemudian dilanjutkan dengan pencarian titik temu antar pemikiran yang berbeda, antar pendapat yang berbeda, dan antar peradaban yang berbeda, maka integritas antar manusia, antar bangsa tinggal menunggu tanggal mainnya. Inilah nafas-nafas intelektual yang diajarkan oleh Ibnu Rushd, termasuk dalam ranah teologi.
Dalam hal ini, Lakpesdam PCINU Mesir mengadakan bedah literatur Ibnu Rushd yang berjudul “al-Kasyfu ‘an Manâhij al-Adillah fî ‘Aqâid al-Millah” paket dua setelah paket pertama yang diadakan pada tanggal 27 Agustus kemarin. Acara yang diselenggarakan setelah shalat Tarwih ini dipimpin oleh saudara Subhan Azhari serta dipresentasikan oleh saudara Ahmad Hadidul Fahmi, Nova Burhanuddin, Khozin Dipo dan saudara Ahsan. Diskusi berjalan dengan begitu baik dan mampu menarik perhatian peserta hingga diskusi berjalan dengan santai dan komunikatif. Adapun beberapa poin besar yang bisa kita cetak biru pada malam itu adalah sebagai berikut.
Pada zaman Ibnu Rushd terjadi perbedaan teologis-ideologis di tubuh umat Islam yang sangat akut dan sangat bermacam-macam. Ada yang menganut paham Hasyawiyah, Asy'riyah, Qadariyah, Jabariyah, Syi'ah, Mu'tazilah, dll. Perbedaan ini membuat umat Islam terpecah belah. Dan para mutakallimin mempunyai pengaruh besar dalam perpecahan ini. Ibnu Rushd mencoba untuk berkomentar di wilayah ini, bahkan ia membuka studi baru. Ya, perbandingan madzhab teologi. Hal ini karena ia berpandangan tentang "wahdat haqiqah". Sebenarnya kebenaran itu satu, hanya jalannya saja yang berbeda, sudut pandang manusia yang berbeda. Oleh karena itu tak heran jika ada yang mengatakan bahwa Ibnu Rushd mempunyai pandangan wahdatul adyan (pluralisme agama), namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudkan melainkan mentalitas qadhi (wasit)nya yang bermain di sini.
Ia mengarang buku yang berjudul “al-Kasyfu ‘an Manâhij al-Adillah fî ‘Aqâid al-Millah”. Ia kemukakan pendapat beberapa madzhab teologis untuk kemudian ia tarjih salah satunya atau ia berpendapat dengan pendapat yang berbeda darinya. Ilmu yang qodim tidak di sikapi oleh Ibnu Rushd secara Aristotelian sebagaimana yang dilakukan Ibnu Sina bahwa Ilmu allah itu meliputi hal yang universal saja tidak partikular dalam kehidupan makhluq. Jika partikular kata Ibnu Sina maka menjadi hadis (baru), baik berkaitan dengan hadis atau hadis dengan sendirinya. lalu benarkah ilmu Allah itu hadis?
Ibnu Rushd mengatakan ada hal yang paradok dalam teologi Asyari khususnya tentang ilmu Allah yang qodim tetapi masuk pada tataran partikular kehidupan manusia yang hadis, itukan terlihat paradok, bagaimana itu bisa terjadi? Oleh karena itu Ibnu Rushd mengemukakan pendapat teologis tentang pemisahan antara alam goib dan alam sahadah. Ia menolak paham qiyas ghoib ala syahid. Dunianya Allah berbeda dengan dunia manusia. Nah, dengan sendirinya umat Islam tak perlu bingung membahas hal ketuhanan.
Jika ada kesamaan sifat antara tuhan dan manusia maka itu bukanlah hal yang terpengaruh satu sama lain, namun hal itu independen dengan sifat yang berbeda. Seperti sifat ilmu, manusia punya ilmu, Tuhan juga. Namun darimana ilmu itu, bagaimana bentuk ilmu itu, hal tersebut adalah masalah lain? Maka wajar jika Ibnu Rushd berpendapat tentang inayah ilahiyyah dan ikhtiro', hal ini bukan dikarenakan peniruan alam transendental dari alam nyata, namun ada kemiripan saja dan esensinya berbeda. Dia berargumentasi tentang eksistesi tuhan. Dengan tiga argumentasi. Pertama, inayah ilahiyah. Kedua, iktiro', bahwa adanya ciptaan membutuhkan adanya pencipta. Ketiga, harakah.
Hal ini adalah usaha untuk membuat semua konsep-konsep agama tidak bertentangan dengan akal dan realitas, begitu juga sebaliknya ada usaha untuk membuat agar akal tak liar, karena kebenaran itu satu.
Demikian sinopsis global dari diskusi lakpesdam yang diadakan tanggal 31 Agustus kemarin. Adapun diskusi berikutnya, tentunya menyibak poin-poin yang berbeda tapi tetap dalam ranah kritisisasi konsep teologi versi Ibnu Rushd. Adapun diskusi berikutnya akan diadakan pada Kamis 3 September 2009 yang akan disampaikan oleh saudara Nur Fadlan, Subhan Azhari, Roni Giat Brahmanto dan Nora Burhanuddin serta akan dimoderatori oleh saudara Ahmad Hadidul Fahmi.
Nur Fadlan.....
0 komentar:
Posting Komentar