Ayah, Bunda, I Miss You Full
-Nur Fadlan-
Lebaran adalah salah satu moment, semua anggota keluarga berkumpul. Sejak dari dulu, ortu saya lebih memilih sistem pendidikan 24 jam, hingga akhirnya semua anak-anaknya terhitung sejak lulus dari Sekolah Dasar harus keluar rumah dan mengikuti pendidikan all out di sebuah pondok dan sekolah yang telah ditentukan.
Dari empat saudaraku, mereka hampir sama dalam melewati pendidikan, yaitu harus keluar rumah ketika sudah selesai dari SD, kecuali aku. Ayah lebih menyukai, aku masuk dalam sebuah pondok pesantren ketika masih kelas empat SD dengan berbagai pertimbangan. Yang paling kentara sebabnya adalah karena kenakalanku yang memang sudah keluar dari kebiasaan bocah. Di tempat itu, aku seperti terpenjara. Aku tidak boleh pulang dan tidak tahu cara pulangnya. Disetiap dua bulan Jum’at pertama aku hanya menunggu kunjungan dari ayah bunda. Setahun pertama bunda selalu haru pilu melihat keadaanku yang semakin kurus dan kering akan tetapi sorotan mata ayahku sangat berbeda dengan bunda. Kata-katanya selalu membakar tensiku, “Harus kuat dan rajin belajar, sejarah kemajuan adek dimulai dari sini”. Tidak tahu kenapa, kata-kata ini masih aku simpan dalam otak kecilku sampai sekarang.
Tiga tahun sudah aku di tempat itu. Lebaran kelas enam SD, sebelum aku masuk SLTP, bunda sempat mengusulkan; aku mengambil sekolah yang dekat dengan rumah saja. Mungkin karena aku anak terakhir dan kakak-kakakku tidak ada yang di rumah lagi, sibuk dengan kuliah dan akademis yang sedang mereka tempuh lainnya. Hal ini, tidak diindahkan oleh ayah dan akhirnya, aku SLTP dan SLTA tetap di tempat yang jauh dengan rumah, hanya bisa pulang, sekedar melihat mereka, satu atau dua bulan sekali.
Sekarang, program S1 tidak tanggung-tanggung lagi, aku di luar negeri. Sudah dua tahunan lebih aku tidak menatap wajah mereka yang selalu membakar semangatku. Meski demikian hati kami tetap dekat, sedekat nyawa dan raga. Rindu yang sangat luar biasa sangat sering aku ungkapkan dengan sms-sms dan aku kirimkan. Terkadang sms itu dibalas dan terkadang tidak, mungkin tidak tahan dengan diksi-diksi rindu yang aku tuliskan. Bukan maksud aku memecah konsentrasi bunda dan ayah, tapi ini murni, diksi-diksi pilihan hati yang membuncah ketika kerinduan yang mendalam menghampiri. Ayah, bunda, I miss you full….
Demi cita dan cinta harapan ayah bunda, aku akan melewati apapun itu, demi mencapai keridhaannya. Aku tahu betapa besar pengorbanan dan peran ayah bunda, hingga Tuhan memproklamirkan Diri membuka pintu ridha-Nya sesuai dengan ridha mereka.
Meskipun rindu ini dalam, lebih dalam dari palung samudra Hindia tapi aku akan terus mencoba menyeimbangkan cita dan cinta. Meskipun inovasi cinta menyeruak kemana-mana tapi cinta itu tidak sedahsyat cintaku pada ayah bunda. I see God in you, ungkapan ini sering aku ungkapkan dikala kedahnyatan rindu mengombang-ambing hidupku. Aku melihat karunia Tuhan, cinta Tuhan yang begitu luar biasa ada pada ayah bunda. Ma’afkan daku jika lebaran tahun ini belum bisa berkumpul bersama semua, terutama ayah dan bunda. Ayah, bunda, I miss you full…. []
0 komentar:
Posting Komentar