Welcome to Nur Fadlan Blog

Minggu, 19 Juli 2009

Mantiq Aristo dalam Formulasi Nalar Mu'tazilah




-Nur Fadlan-




As-Syahrastani menggambarkan dalam Milal wa Nihal-nya bahwa Mu'tazilah adalah kelompok yang "rusak" karena hadirnya buku-buku terjemahan Filsafat Yunani. Apalagi setelah mereka bersentuhan dengan buku Categoria (al-Maqûlât) karya Aristoteles. Buku ini adalah buku Logic (Mantiq). Cendekiawan Arab Islam saat itu mendapatkan kemudahan setelah buku ini diintepretasi oleh para ahli mantik Yunani Kuno, di antaranya Theoparastus, Alexander of Aphrodesy, Phorpory dan Yahya al-Nahwi. Bahkan buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh para ahli mantik Arab, di antaranya Hunain bin Ishaq dan Yahya bin 'Adi (buku Syarah Alexander). Sehingga bisa dikatakan bahwa proses perkenalan antara pemikir Arab Islam dengan literatur Yunani, terutama karya-karya Aristo membuat mereka sedikit membuka kran untuk berfikir kritis yang berdasar pada logika mereka, sehingga muncullah Mu'tazilah. Mereka adalah kelompok yang dikenal berpegang pada akal dari pada nash. Ini dikarenakan mereka yakin akan adanya keadilan Tuhan (al-Adalah al-Ilahiyah) hingga perkembangan internal pemikiran Muktazilah menggiring pada rasionalitas untuk membuktikan keadilan Tuhan tadi. Awalnya kelompok ini hanyalah kelompok ideologi an sich. Dan dalam perkembangannya semakin menguat dan bisa dikatakan ikut andil dalam pembentukan nalar Arab.

Sedangkan meruncingnya kelompok ini ketika perdebatan yang dialami oleh Wasil bin Atho'. Dia adalah seorang pendiri akademi pemikiran Mu'tazilah dan gurunya Hasan al-Bashri tentang pendosa besar yang dihukumi kafir oleh Khawarij. Wasil tak puas dengan jawaban bahwa posisi mereka dipasrahkan pada Allah SWT. Wasil menganggap mereka mukmin secara iman tapi fasiq secara amal, posisi mereka berada antara tempat di antara dua tempat (al-Manzilah baina al-Manzilatain). Dan jika mereka ingin selamat di akhirat nanti maka mereka harus bertaubat. Dari keharusan bertaubat inilah kita bisa mengetahui sikap politik mereka yang kontra dengan Muawiyah. Saat itu, kontra itu baru mereka tampilkan secara halus.

Fase berikutnya kelompok ini menamakan dirinya Ahlu at-Tauhid wa al-Adal (pejuang tauhid dan keadilan). Ajaran Mu'tazilah mempunyai lima pokok formulasi inti; diantaranya at-Tauhid, al-Adl (keadilan), al-Wa'd wa al-Waid, al-Manzilah baina Manzilatain (tempat di antara dua tempat) dan al-Amar bil Ma'ruf wa al-Naha anil Munkar (perintah pada anjuran dan menolak pada keburukan). Paparan al-Qôdhî Abdul al-Jabâr bin Ahmad al-Asad Abâdî dalam karyanya al-Usul al-Khomsah sangatlah kentara dalam memaparkan lima formulasi Mu'tazilah dalam menentukan rancang bangun pondasi Mu'tazilah. Dalam dimensi tauhid mereka senantiasa menyuarakan bahwa jasad adalah baru dan fana, bahwa Tuhan itu kuasa, bahwa Tuhan itu mengetahui, bahwa Tuhan itu Hayyu, bahwa Tuhan itu maha mendengar dan maha melihat, bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu dahulu, bahwa Tuhan itu kaya, bahwa Tuhan tidak memiliki jism, bahwa Tuhan itu esa. Di samping itu, Mu'tazilah memiliki pendapat yang sangat radikal. Mereka menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT tidak memiliki ilustrasi dan tidak bisa diilustrasikan serta tidak bisa dilihat. Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, tidak memiliki komponen-komponen pembentuk tubuh, tidak berilustrasi dan tidak memiliki daging dan darah.

Sedangkan menurut kelompok Ahlus Sunnah wa al-Jamâat bahwa; Tuhan itu memiliki ilustrasi dan bisa dilihat. Mereka tidak sependapat dengan pandangan Mu'tazilah. Tentunya ilustrasi Allah adalah ilustrasi yang paling sempurna dan tidak ada padanannya. Dan demikian pastinya orang-orang mukmin yang diberi karunia lebih akan melihat-Nya seperti halnya janjinya dalam al-Qur'an dan al-Hadist. Sheikh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Aqidah al-Wâsatiyah mengatakan; Barang siapa yang iman kepada Allah tentunya harus iman pada sifat-sifat-Nya yang telah dijelaskan secara explisit dalam kitab-Nya yang agung. Dari sini kita bisa menarik konklusi bahwa kelompok salaf sangat alergi dengan pernyataan Mu'tazilah, Allah tidak memiliki Ilustrasi dan tidak bisa dilihat. Di samping itu, kelompok Ahlus Sunnah menguatkan pendapatnya tentang ilustrasi Tuhan dan kemampuan mahluq untuk melihat-Nya dengan dalil naqli yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Tirmidzî dan Sheikh al-Bânî. Nabi Muhamad SAW bersabda dalam salah satu hadistnya; "Telah mendatangiku Tuhanku pada sebuah malam dengan sebaik-baik bentuk (ilustrasi)".

Sementara menurut Madzhab Aqli (Rasionalis) yang diusung oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Beliau membenarkan adanya ilustrasi Tuhan dan kulminasi ni'mat tertinggi yaitu melihat Allah, berdasarkan Hadist riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzî. Nabi Muhamad SAW bersabda; "Telah mendatangiku Tuhanku pada sebuah malam dengan sebaik-baik bentuk (ilustrasi)". Pada dasarnya Imam Abu Hasan al-Asy'ari meyakini ilustrasi Tuhan setelah perjalanan panjang beliau dari pemahaman teologi versi Mu'tazilah. Tepatnya pada tahun 300 H, beliau memprakarsai derivasi baru tentang madzhab teologi yang sering disebut dengan Madzhab Aqli. Konsep ini sangat dihormati oleh generasi intelektual muslim setelahnya, yaitu Ahlus Sunnah wa al-Jamâat. Sehingga konsep-konsep beliau tentang ilustrasi Tuhan pada umumnya dijunjung tinggi dan terus dipertahankan. Walaupun pada awalnya beliau adalah salah satu pengikut Madzhab Mu'tazilah. Bahkan pernah menjadi muridnya al-Jubâi, tokoh ternama dari Mu'tazilah.

Formulasi yang kedua adalah al-Adl. Kelompok yang lebih mengedepankan logika dari pada wahyu ini menganggap bahwa segala sesuatu yang telah terjadi adalah sesuatu yang baik. Formulasi ini dijelaskan dalam tulisannya al-Qôdhî Abdul al-Jabâr bin Ahmad al-Asad Abâdî dalam bukunya al-Usul al-Khomsah.

Berikutnya tentang formulasi yang ketiga yaitu, al-Wa'd wa al-Waid. Al-Qôdhî Abdul al-Jabâr menjelaskannya dalam al-Usul al-Khomsah bahwa; al-Wa'd wa Waid sama artinya dengan hukum timbal balik. Artinya, siapa yang melakukan keburukan maka mereka akan mendapat dosa dan barang siapa yang melakukan kebaikan maka mereka akan mendapat pahala. Logika ini disinyalir turunan dari Peri Hermenias (al 'Ibârah). Buku ini adalah buku Logic karya Aristo yang terdiri dari satu maqalah. Buku ini disyarah oleh para ahli mantik Yunani Kuno, di antaranya Theopharastus, Gallinus, Alexander of Aphrodesy, Phorpory dan Yahya al-Nahwi. Kemudian buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Suryani. Adapun yang mengalih bahasakan ke dalam Bahasa Suryani adalah Hunein bin Ishaq. buku tarjamah Suryani Hunein kemudian diterjemahkan lagi ke dalam Bahasa Arab. Adapun yang menerjemakkan buku ini ke dalam Bahasa Arab adalah salah seorang putra Hunein yang bernama Ishaq. Dari terjemahan itu, mempermudah para cendekiawan Arab untuk mengakses inti sari buku tersebut.

Sehingga paska persenyawaan Peri Hermenias dengan paradigma Mu'tazilah menghadirkan buku-buku Mu'tazilah inti yang menggunakan worldview literatur klasik bertipe Yunani. Diantaranya; al-Bayan wa al-Tabyin, al-Khair wa al-Syarr inda Abdil Jabbar, al-Madinah al-Fadhilah, al-Maniyyah wa al-Amal, al-Mukhtasar fi ushul al-Din, al-Mu'tazilah fi Baghdad, al-Mu'tazilah Takwin al-'Aql al-Arabi, al-Sababiyah inda al-Qodhi Abdul Jabbar, al-Usul al-Khomsah al-Mansub ila Abdil Jabbar, Fadl al-I'tizal, Falsafah al-Qodr, Musykilat al-Hurriyah al-Insaniyah, Mu'tazilah Zuhdi Jarullah, Mu'tazilah al-Bashrah wa al-Bagdad, Qadhiyah Khalq al-Qur'an, Mu'tazilah min al-Kalam ila al-Falsafah, Rasâilu fi al-Adl wa al-Tauhid dan lain sebagainya.

Bentuk formulasi yang keempat adalah al-Manzilah baina Manzilatain. Maksud dari formulasi ini adalah justifikasi dan hukuman terhadap seseorang yang telah melakukan dosa besar. Menurut faham Mu'tazilah seorang mukmin yang telah melekukan dosa besar adalah fasiq. Dia tidak bisa dihukumi sebagai orang mukmin dan tidak diperkenankan ketika meninggal dikubur dalam pemakaman orang-orang Islam.

Logika seperti ini hampir sama dengan ajaran dasar Aristo dalam bukunya Analytica Priora (al Qiyâs). Buku ini adalah buku logic yang terdiri dari dua maqalah. Kitab ini disyarah oleh para ahli mantik Yunani Kuno, di antaranya Alexander of Aphrodesy, Tsamestius dan Yahya al Nahwi. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani oleh para ahli mantik Arab, di antaranya Hunein bin Ishaq, Ishaq bin Hunein bin Ishaq, abu Ishaq Ibrahim al-Quwairi (Tasyjir) dan Abu Basyar Mata bin Yunus. Buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh para ahli mantik Arab, yaitu Theodorus.

Formulasi yang kelima adalah al-Amar bil Ma'ruf wa al-Naha anil Munkar. Ajaran dasar mengenai al-Amar bil Ma'ruf wa al-Naha anil Munkar adalah sikap aktif mereka dalam berpolitik. Perkembangan selanjutnya Mu'tazilah mulai berbicara tentang imamah dan syarat-syaratnya sehingga menggiring Mu'tazilah ke medan politik. Kelompok yang berpegang pada akal dan menganggap bahwa tindakan manusia itu bukan bersumber dari Tuhan namun berasal dari diri mereka sendiri sudah dimulai oleh kelompok Qodariyah. Konsep "usaha manusia" yang dilontarkan kelompok ini adalah sebuah bentuk dari kontra terhadap paham Jabariyah Muawiyah. Konsep ini mengitimidasi kenyataan politik bahwa kholifah harus bertanggung jawab atas kebijakan miringnya. Intimidasi ideologi ini dibalas dengan intimidasi fisik oleh penguasa yang berujung pada kematian pemuka-pemuka aliran ini. Seperti Ma'bad al-Juhni (699 M) yang dieksekusi raja Hisyam bin Marwan, Ghoylan ad-Dimasyqi (737 M) yang diekskusi atas perintah raja Abdul Malik bin Marwan serta masih banyak lagi yang lainnya.

Aliran yang berpegang teguh pada akal ini melakukan banyak ta'wil secara radikal terhadap teks-teks al-Qur'an dan al-Hadits. Hal inilah yang membuat lahir kelompok Ahlu Sunnah yang berusaha menyatukan paradigma nash dan akal secara seimbang. Mulanya mayoritas kelompok ini adalah sekumpulan akademisi yang jauh dari aktifitas politik seperti; Ahlu hadits, ulama dan qurra'. Kelompok yang dipelopori oleh al-Asy'ary dan al-Maturidy ini akhirnya bisa mengakomodir mayoritas umat Islam dengan sikap politik yang lebih netral. Kelompok ini menghargai adanya pluralisme pendapat, tidak radikal mengkafirkan seperti Khawarij, meninggikan posisi sahabat Nabi termasuk Muawiyah dan Ali. Mereka berpendapat bahwa manusia termasuk pendosa besar akan masuk syurga atau tidak karena rahmat Allah namun manusia wajib ikhtiyar (usaha). Berkenaan dengan kepemimpinan, Ahlu Sunah bersikap fleksibel tapi mereka sepakat akan pentingnya imamah. Oleh karena itulah pada masa-masa selanjutnya banyak dari kalangan Mu'tazilah yang menjadi politikus.

Dari paparan di atas maka terlihat bahwa faktor utama yang menjadi motor perpecahan politik dan ideologi umat Islam adalah masalah imamah dan sikap terhadap pendosa besar. Maka dari itu "ilmu kalam" bukan hanya akidah tapi merupakan praktek politik dalam agama. Ilmu kalam adalah saksi sejarah adanya perpecahan perpecahan politik di tubuh umat Islam. Sehingga kita bisa tahu sejauh mana peran politik terhadap pengarahan pemikiran keagamaan di tubuh umat islam. Meruncingnya perpecahan ini diakibatkan karena setiap kelompok merasa dirinyalah yang merupakan firqoh najiyah (kelompok yang selamat) dan mereka melakukan ta'wil-ta'wil terhadap nash sesuai dengan ideologi mereka masing-masing. Perpecahan ini semakin menjadi-jadi saat penguasa berusaha memaksakan satu ideologi tertentu pada negara dan rakyatnya. Inilah yang membuat retorika politik di zaman itu dibungkus dengan bahasa agama atau teologi.

Namun gerakan-gerakan kelompok ideologi ini merupakan sebuah usaha baru untuk mengalahkan "negara" dalam arena wacana. Perang pedang diganti dengan perang lidah. Retorika-retorika ideologis ini nampaknya mampu mencerahkan pemahaman umat tentang sikap mereka terhadap penguasa. Gerakan pencerahan ini dimulai oleh Hasan Bashri (w 727) yang melawan secara halus ideologi jabariyah Muawiyah dengan penegasan tentang kemampuan manusia dan pendapat bahwa status pendosa besar adalah fasiq. Kritik ideologi inilah yang menyuburkan bibit revolusi Abbasiyah di masa selanjutnya. []




Islamologi Afkar
"Turast Mu'tazilah"

Sabtu, Jam 03: 42 am Tanggal 28 Maret 2009
(malam yang sangat sepi, tapi Dia selalu ada di sisiku)


0 komentar:

Posting Komentar