Welcome to Nur Fadlan Blog

Selasa, 28 April 2009

Peta Politik Masisir


Nur Fadlan


Mau tidak mau, realitas Masisir senantiasa berguman pada aktifitas politik yang tidak bias kita pandang sebelah mata. Mulai dari organisasi almamater, kekeluargaan, affiliatif, PPMI, WIHDAH hingga organisasi pergerakan yang berbau kepartaian kita dapati di komunitas Masisir. Sebagai insan akademisi, apakah seharusnya kita aktif dalam kancah perpolitikan praktis? Mungkin untuk sekedar bersenyawa dengan organisasi non partai terasa amat sangat wajar, tetapi akan berbeda kasusnya jika, seorang mahasiswa aktif dalam perpoliikan praktis. Dan fenomena seperti ini telah menjamur bertahun-tahun dalam perjalanan sejarah Masisir.

Masih menjadi perdebatan perihal mahasiswa yang aktif dalam perpolitikan praktis. Bisa kita skemakan perihal mahasiswa dan sikapnya terhadap partai politik, diantaranya; mereka yang apolitik, politik dan netral. Apolitik adalah mereka yang anti terhadap aktifitas yang berbau perpolitikan. Kelompok ini hanya menggunakan waktunya untuk akademis dan kegiatan-kegiatan penunjang akademis, seperti kajian fakultatif dan kajian-kajian keislaman lainnya.

Skema yang kedua adalah mereka yang berpolitik. Mereka di samping masih aktif dalam dunia perkuliyahan juga menggunakan waktunya untuk berpolitik. Bahkan tidak jarang waktu mereka yang seharusnya untuk kebutuhan kampus mereka alokasikan untuk aktif dalam dunia kepartaian. Sedankan yang ketiga adalah mereka yang netral. Kelompok ini acuh terhadap perpolitikan di Masisir. Mereka tidak melarang, tidak juga menganjurkannya.

Di sini menurut Sekjen PPMI, Hasbiyallah Alwi, Lc mengatakan, "Organisasi sedikit banyak akan mengganggu kosentrasi studi, namun titik perbedaannya adalah bagaimana kita menyikapi hal tersebut? terutama dalam mengatur waktu. Saya kira hal tersebut sama halnya, jika kita aktif di sebuah partai politik". Hal ini seirama dengan penuturan Wakil Presiden PPMI, bahwa sebagai mahasiswa tentunya kita memiliki satu paket yang harus berimbang antara hak dan kewajiban. Kewajiban kita sebagai mahasiswa Universitas Al-Azhar tentunya adalah belajar yang baik, meskipun kita bisa mengembangkan diri dengan aktif di mana-mana, termasuk aktif di kancah perpolitikan Masisir. Tapi perlu diingat niat dan tugas utama kita di Mesir adalah belajar.

Menurut demografi jumlah Masisir, untuk laki-laki 3.391 orang dan untuk perempuan 814 orang (statistik anggota PPMI 2008-2009). Dari penuturan aktivis DPC PKNU, Ahmad Syahri, Lc dan Budi Setianggono 50 diantara mereka aktif secara struktural di DPC PKNU (Dewan Perwakilan Cabang Partai Kebangkitan Nasional Ulama). Demikian halnya, tidak jauh berbeda dengan jumlah perwakian PIP PKS Mesir, Dewan Perwakilan Golkar dan lain sebagainya, yang memiliki sekurang-kurangnya perwakilan di Mesir seperti jumlah DPC PKNU. Kalau setiap satu dari partai politik itu memiliki sekurang-kurangnya 50 dewan perwakilan yang aktif, maka bisa kita bayangkan, Masisir dari 4.205 orang ada di antarannya yang aktif dalam perpolitikan. Belum lagi ada yang mereka sebut sebagai kader dan lain sebagainya. Sehingga bisa diramalkan mereka akan mengalami disorientasi karena terlibat dalam aksi yang seharusnya belum saatnya mereka lakukan. Apalagi kalau kita amati secara lebih cermat banyak diantara dewan perwakilan dari sebuah partai itu adalah mahasiswa yang baru berusia dua atau tiga tahun di Mesir. Alangkah baiknya waktu yang begitu berharga, mereka gunakan untuk fokus dalam akademis dulu.

Menurut So Hok Gie, "Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat, dimana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah!." Dari refleksi So Hok Gie, Syamsu Alam Darwis, Lc mengatakan bahwa Politik sangat diperlukan berdasarkan semangat Historis Masisir di tahun 45-an, namun ia tidak sepakat jika Parpol bergerak di Masisir, karena menurutnya hanya akan menjauhkan dengan fokus akademik Masisir dan hanya akan menjadi penyekat kesatuan Masisir.

Berbeda dengan paradigma Iswan Kurnia Hasan, Lc ketika kepartaian dianggap sebagai penyebab rendahnya kualitas pendidikan Masisir, ia mengatakan bahwa di antara simpatisan PIP PKS, calon doktornya terhitung sekitar 5 orang, juga membandingkan dengan PIP PKS Jepang yang mempunyai 50 doktor dan 50 calon doktor. Sedang di Mesir, ketua umumnya PIP PKS Mesir, Suhartono TB, Lc adalah mantan orang nomer satu di Masisir, Presiden PPMI dan seorang mahasiswa dengan tingkat prestasi tinggi di proses magisternya. Lebih dahsyat lagi salah satu Kader PKS, Dr. Khairan M. Arif, dari Sulawesi yang belum lama pulang ke Indonesia, ialah bukti nyata seorang mahasiswa sejati S3 dengan nilai Mumtaz, fi martabati Syarofil Ula, dengan Huquuq Thibaa'ah wa tadaawul baina al-jaami'aat untuk disertasinya. Namun dengan segala predikat menterengnya Dr. Khoiron justru juga aktivis tulen. Berceramah siang malam, mengajar, rapat dan berdakwah melalui sarana PKS-nya.

Berbeda dengan Iswan, Suhardiansyah berargumen bahwa Masisir harus fokus belajar saja hingga mencapai tingkat kepakaran, baru setelah itu terjun ke dalam politik praktis. Apalagi Masisir adalah komunitas yang beragam, kalau ditambah dengan aktifitas yang bernama politik akan muncul dikotomi yang makin menyempitkan gerak mahasiswa.

Sedangkan menurut peneliti senior Lakpesadam PCINU Mesir, Irwan Masduki bahwa sebagai mahasiswa hendaknya kita belajar dulu jangan terjun dalam lubang perpolitikan, takutnya hal tersebut akan mengakibatkan intelektual kita kerdil. Taruh saja contoh ketika seorang politisi masih belum dewasa intelektualnya dikhawatirkan akan memporak-porandakkan tatanan negara, seperti yang dialami negara kita saat ini.


Fadlan
Ma'af terlambat satu hari, Akhi.

0 komentar:

Posting Komentar