Welcome to Nur Fadlan Blog

Selasa, 28 April 2009

Persemaian Cinta Darwinisme


Olga; Sejarawati Harvard University

Jam 07.47 am aku sudah di dalam kelas menunggu kuliah dari Profesor Henry Beckett dari Akademi of Sains Pontifical. Dia adalah dosen terbang dari Amerika. Di samping menjadi tutor di berbagai universitas besar di dunia, dia juga menyempatkan waktunya untuk mengajar di Universitas Minar Sinan, Turki.

Di dalam kelas kami, hanya menampung 23 mahasiswa program paska sarjana. Peserta didik sangat rajin hadir ke kampus karena hampir semua dosen paham betul akan kondisi kami. Belasan mahasiswa sudah siap-siap di ruangan. Sisanya belum datang atau masih di luar menikmati udara yang sangat segar.

Rasanya sangat rugi jika melewatkan kuliah dari profesor Henry. Beliau menghadirinya satu kali dalam sebulan. Di samping itu, tidak ada seorang pun yang berani terlambat dalam menghadiri kelasnya yang exsekutif. Dua bulan kemarin salah satu temen kami, Carlo Ventresca datang terlambat ke kelas profesor. Dia adalah mahasiswa dari Italia yang sangat cerdas. Padahal profesor sedang menjelaskan mengenai evolusi[1] bumi dan pengaruhnya terhadap gelombang pasang surut air laut. Pembahasan ini sangat berkaitan dengan Biologi laut. Meskipun dalam klasifikasinya lebih condong kepada Fisika laut.

"Signore[2]-" ucap Carlo dengan aksen Itali. "Kamu dimana?!" suara seperti petir keluar dari mulut profesor Henry. Wajahnya memerah geram. Mata yang tadinya ramah berubah seperti mata harimau. Bulat, tajam dan lurus seakan melihat mangsa di depannya. Suasana menjadi mencakam menyaksikan tontonan gratis walau harus mengorbankan beberapa detik dari kuliah kami. Seketika wajah Carlo pucat pasi. Bisa-bisa dia harus mengulang mata kuliahnya tahun depan. "Sorry Sir, I'm late[3]" ralat ucapannya sambil terus melihat dan minta belas kasihan pada profesor.

Di Universitas Minar Sinan para peserta didik wajib menggunakan bahasa Inggris jika dalam kelas profesor Henry. Selain itu bisa menggunakan bahasa Turki atau pun Rusia. Tapi dalam waktu-waktu santai para mahasiswa biasanya menggunakan bahasa campuran. Ada yang menggunakan bahasa Italia, China, Jerman bahkan bahasa Indonesia. Temen-temen satu kelasku sering bertanya mengenai beberapa kosa kata bahasa Indonesia. Mereka mencoba merangkai kata-kata yang sudah mereka hafal sehingga serasa tidak asing ketika kita berpapasan, Mereka menyapaku dengan kalimat bahasa Indonesia, Apa Kabar?.

"Ting ... tung ... ting ... " lonceng berdentang, tanda jam delapan tepat. Beberapa mahasiswa lari terhuyung-huyung untuk mendapatkan tempat duduk paling depan. Posisi paling depan bagaikan bongkahan emas. Di posisi ini kami bisa interaktif secara leluasa dengan profesor. Pandangan profesor sudah sangat kabut. Ia sudah amat tua. Seiring dengan perjalanan usianya, sehingga ketika melihat jarak pandang satu yard saja nyaris tidak melihat. Apa lagi ketika di in door[4] beliau sering melepaskan kaca mata tebalnya setelah tiga atau empat puluh menit. Kelelahan matanya tampak sangat jelas setelah beliau sering memijat dahi dan sekitar hidungnya secara berkala.

"Alfian!" suara lembut beraksen China memintaku bergeser ke sebelah kanan dari tempat duduk kuliah kami. Namanya Lee Su In. Dia adalah satu-satunya peserta didik yang berasal dari China seperti halnya diriku, yang berasal dari Indonesia.

"Siapa nama lengkapmu? Aku lupa." Sambil senyum cerah seperti mentari pagi yang mau memberi pancaran sinar kehidupan kepada jamrud katulistiwa.

"Alfian Abi Husna," jawabku sambil melempar senyum sepadan. Su In termasuk mahasiswa yang sangat pintar di kelas kami tetapi dia sangat lemah dalam mengingat nama dan istilah. Saya secara pribadi kurang tahu sebabnya, mungkin saja karena terlalu sering digunakan untuk mengingat angka dalam jumlah ribuaan bahkan jutaan dijit.

Hanya beberapa detik saja, profesor datang sambil ditemani wanita cantik jelita hingga membuat suasana bertambah hangat dan bening. Tak seorang pun angkat bicara. Mereka semua menanti kata pertama dari profesor yang mereka tunggu-tunggu dalam sebulan terakhir itu. "Ini putriku, mahasiswi paska sarjana sejarah di Harvard University" tutur profesor sambil mendekati meja kerjanya. Dia duduk dengan sangat hati-hati dan mulai membuka laptop mininya.

"Materi kita kali ini adalah beberapa fakta ilmiah yang belum diketahui secara proposional oleh para ilmuan biologi. Tentang asal muasal sebuah fakta dan korelasinya terhadap disiplin ilmu pengetahuan yang lain?" kalimat itu mengalir seperti air dalam parit. Lancar dan jelas. Tetapi kalimat itu belum bisa kami pahami seutuhnya.

Ciri itu, aku temui hampir disetiap kelas profesor Henry. Mungkin ini yang disebut dengan ciri khas. Sebelum memulai tutornya. Beliau pasti selalu membuat pernyataan studi kasus yang menjadikan peserta didik semakin penasaran. Biasanya kami pun langsung berdiskusi, profesor hanya memantau dan mengarahkan.

Benak kami bergemuruh, pikiran lalu-lantang bertebaran seperti dedaunan yang terkena angin di saat musim gugur. Kali ini profesor mau apa? Melibatkan anak perempuannya dalam proses diskusi panjang yang sudah kami rencang satu bulan yang lalu.

"Putriku ingin mengajak diskusi saudara-saudara," tambah profesor. Tiba-tiba putrinya mendekati Profesor. Gadis cantik bermata biru itu merendahkan tubuhnya nyaris hampir sejajar dengan kepala profesor. Bibirnya yang indah berbisik seakan sedang membicarakah sesuatu yang sangat penting. Mata kami tertuju tajam ke arah mereka berdua. Carlo tampak senyum kecil. Dia melihatku dengan maksud menyampaikan sesuatu. Aku tidak paham apa yang sebenarnya dia sampaikan. Dia menggunakan bahasa tubuh yang sangat kacau sehingga saya gagal memahaminya.

Sementara Lee Su In dan lainya tetap fokus menunggu insruktur dari profesor. Kakiku menggigil, tadi pagi aku terburu-buru hingga lupa merendamnya dengan air hangat. Suhu dingin mencapai 4 derajad Celcius, keadaan alam yang sangat tidak biasa bagiku. Di Indonesia derajat dingin dan panas paling berkisar antara 26 hingga 30-an Celcius. Dingin yang hampir enam kali lipat itu, membuatku agak canggung meski sudah di Turki selama delapan bulan.

Tiba-tiba profesor keluar. Laptop dan beberapa peralatan elektoniknya ditinggal di meja kerja kelas kami. Beliau keluar tanpa beban seakan seperti lumba-lumba dalam lautan lepas. Menikmati Oksigen segar di luar ruangan kami. Bayangan beliau masih kelihatan dari dalam kelas karena dia berdiri sejajar dengan pintu kaca ruangan. Usia beliau sudah lumayan tua kira-kira sudah mencapai kepala enam lebih beberapa tahun. Meski demikian beliau tetap seperti merpati yang dapat bergerak dengan lincah dan gesit.

Sementara Carlo terus mengirimkan bahasa tubuh yang tidak aku mengerti. Peserta didik lainnya sesekali membenahi jaket wollnya pertanda dingin semakim menembus pori-pori kulit.

Carlo tidak tampak merasakan atmosfer dingin di dalam ruangan. Dia terus berusaha mengirim pesan kepada teman-temannya. Carlo mengirimkan pesan dengan menggunakan bahasa tubuh. Aku terus mengamatinya.

Kelas kami hampir mirip dengan stadiun lapangan sepak bola. Kursi di tata dengna formasi setengah lingkaran sehingga gerak Carlo bisa aku amati dengan jelas. Aku duduk ditengah-tengah formasi itu. Sementara Carlo berada di ujung depan formasi. Dinding dan langit-langit dicat dengan warna krem. Khusus untuk kusen pintu dan jendela dicat dengan warna hitam. Gabungan warna yang sempurna menambah nuansa elegan dalam ruangan.

Gabungan arsitektur Arab dan Prancis tercipta dalam kelas kami. Setengah dinding ditempeli karpet biru tua. Lengkungan-lengkungan hitam bermotif tampak di permukaan karpet. Sebenarnya karpet hanya berfungsi untuk meredam gaung dari suara para tutor. Tapi di dalam kelas kami karpet mempunyai fungsi ganda; di samping meredam gaung suara juga menambah sanitasi yang bernilai sangat tinggi.

Sementara itu, putri profesor mulai angkat bicara. "Kita mulai dari mana?" kata ini keluar dari bibir indahnya dengan resonansi yang tepat. Semuanya hening karena wibaya profesor melekat dalam sorot matanya yang tajam.

"Introduction[5]!" suara Carlo meluncur tanpa menghirauan keindahan ritme yang baru saja tercipta.

"Aku setuju," sambil mengangkat tangan, Su In pun langsung memperkenalkan dirinya. "Saya dari RRC[6]" ucapnya. Dia berdiri di sampingku. Parfum aroma mawarnya tercium semakin wangi. Aku melihatnya sesaat untuk meyakinkan pikiranku.

Dia meneruskan penuturannya. "Aku mau belajar Biologi laut serta apapun yang berhubungan dengannya." Tambahnya di akhir perkenalannya.

Tanpa ada instruktur, Carlo berdiri sambil membenai dasi yang tergantung di lehernya. "Aku dari Italia," suaranya keluar sambil melempar senyum kearah putri profesor. "Namaku Carlo Ventresca," dia mengenalkan namanya.

Demikian juga dengan peserta didik yang lain mereka memperkenalkan dirinya masing-masing. Aku mendapat urutan paling akhir dari 23 mahasiswa. Aku beranggapan perkenalan paling akhir akan lebih berkesan. Apalagi jika dia termasuk cewek tipologi Lee Su In yang payah dalam mengingat nama dan istilah.

Kayaknya anggapanku salah karena dia mengambil sejarah yang selalu melibatkan nama dan istilah. Ingatannya mungkin lebih lejit dalam menyimpan file-file nama dan istilah. Selama lima belas menit ke depan, kami semua selesai memperkenalkan diri.

Udara dingin terus berusaha menyusup di sela-sela tubuh kami. Para mahasiswa yang berasal dari teritorial zona katulistiwa yaitu 23,5 derajad lintang selatan sampai 23,5 derajat lintang utara tampak tidak nyaman. Dingin benar-benar menuju puncaknya. Selain aku, yang berasal dari Indonesia atau wilayah zona katulistiwa ada juga mahasiswa yang berasal dari Madagaskar, Brazil, Equador, Guinea, dan Srilangka. Mereka pasti merasakan dingin yang berkecamuk seperti yang aku rasakan.

Mata indahnya menatap kosong seakan dia sedang menyusun bangun rancang dalam diskusi kami. Dia berdiri di tengah-tengah kami. Rambutnya dibiarkan terurai hingga tampak seperti sekuntum bunga edelwais[7] yang senantiasa mekar di musim dingin. Wajahnya sangat sempurna. Tanda maha karya Sang Pencipta.

"Olga, kamu mulai dulu diskusinya. Aku mau ketemu sama Rektor" suara dari arah pintu yang tidak kami ketahui kapan terbukanya. Sungguh! kami seakan terhipnotis oleh pesona yang ia tebarkan. Jas wol rancangan Harris yang ia kenakan menambah kesan tersendiri keanggunannya.

Oh, namanya Olga? kataku dalam hati. Nama yang cantik sepadan dengan penyandangnya.

"Ok. Langsung saja saya memperkenalkan diri," ucapnya dengan penuh semangat. "Nama saya Olga Wieser Beckett" sambil jalan di sela-sela tempat duduk kami. "Saya mengambil sejarah di Harvard University," suaranya bening seperti ketukan pertama nada tinggi piano. Olga meneruskan pembicaraannya. Ia mengatakan lebih tertarik dengan kajian sejarah tentang Ikonologi Religi, meski sama sekali tidak mengesampingkan dimensi lain sejarah sendiri.

"Di samping itu, ... " suaranya terputus karena ada salah satu di antara kami yang angkat tangan.

"Kenapa tidak mengambil sains? mengingat..." pertanyaan itu seperti membidiknya.

"Aku mengambil Fisika juga di Universitas Philadelphia Amerika Serikat" ucapnya sambil senyum kecil.

Hebat sekali dia menggabungkan antara Fisika dan Sejarah. Hati kecilku beriak. Aku teringat pada pengalaman pribadiku lima tahun yang lalu. Aku mengambil program sarjana Biologi laut di ITB (Institut Tehnik Bogor) dan UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Usuludin. Perjuangan yang sangat luar biasa akhirnya berujung dengan kepuasan. Meski pun banyak lalu-lantang permasalahan yang terus menghampiri hingga pada akhirnya aku dapat menyelesaikannya.

"Diskusi bisa kita mulai," ucap Olga. "Di samping saya mempelajari Fisika saya juga mempelajari sejarah. Pengkajian sejarah akan meluas dan memanjang jika melewati obyek yang bernama agama." Ucapnya dengan penuh keyakinan.

Kenapa dia mengangkat permasalahan basi itu lagi, Lirihku.

"Sebelum masuk dalam pembahasan, ada hal yang mau saya sampaikan sebelumnya; Akhir-akhir ini mahasiswa Harvard School of Definity berdemonstrasi ke gedung fakultas Biologi. Mereka memprotes diadakannya mata kuliah rekayasa genetika di program paska sarjana." Dia menghela nafas. Wajahnya tampak sangat sempurna. Sesekali dia menebarkan senyuman ke arah kami. Giginya tertata dengan sangat rapi dan rapat.

"Sementara itu ketua Fakultas Biologi, Richard Aaronian seorang ahli ilmu tentang burung tetap mempertahankan kurikulum yang diajuakannya. Dia menggantungkan sepanduk besar di jendela kantornya." Tambahnya.

"Apa tulisan dalam sepanduk itu?," pangkas Carlo.

"Sependuk itu memuat gambar dan tulisan yang bermakna tinggi," jawab Olga dengan tetap menjaga keseimbangan pernafasannya. "Spanduk itu bergambarkan ikan yang memiliki empat kaki yang kecil. Menurut Aaronian, itu adalah penghormatan untuk evolusi ikan lungfish Afrika yang berhasil hidup di daratan. Di bawah gambar ikan tersebut, alih-alih tertulis "Jesus" terdapat satu kata dengan tanda seru: "DARWIN!" jawabnya dengan mata sayu.

Paparan itu membuat kami semua tercengang. Hati kecilku mengatakan kenapa harus ada perselisihan antara ilmu pengetahuan dan agama. Masalah klasik tersirat dalam poster Aaronian yang menjastifikasi agama pada umumnya serta agama Kristen pada khususnya. Aku berfikir apakah aku akan menjelaskan kepada mereka tentang Islam? Ini adalah peluang yang sangat luar biasa. Tapi aku kembalikan emosiku ke dalam pikiran terjernihku.

Kelompok Definity pastinya mempunyai alasan yang jelas kenapa mereka melakukan demonstrasi. Fakultas Biologi menjadi sasaran mereka akibat penambahan mata kuliah rekayasa genetika. Aku yakin rekayasa itu pasti mempunyai efek buruk terhadap dunia dan kemanusiaan. Mungkin analisaku tidak begitu jauh dengan pertimbangan mereka tentang pengambilan langkah tersebut.

Di samping itu saya memutar otak untuk sedikit menarik premis akan hal lain yang menjadikan mereka demonstrasi. Mungkin Kristen di Amerika melolak hal tersebut karena bertentangan dengan ajaran Al-Kitab.

"Apakah ilmu pengetahuan mempunyai hubungan dengan agama?" pertanyaan yang keluar dari mulut Olga tampak menantang para mahasiswa.

"Nggak," suara yang sangat saya kenali mencoba untuk menjawab pertanyaan Olga. Carlo memulai alasannya kenapa harus memilih kata tidak dari pada kata setuju.

"Saya akan memulai dengan pendekatan historis" katanya sambil menarik nafas dalam-dalam. "Sejak 400 tahun yang lalu, agama dan ilmu pengetahuan tidak pernah bisa bersatu."

"Apa bukti anda hingga beranggapan seperti itu," Su In memotong pernyataan Carlo. Matanya terfokus tajam. Su In termasuk penganut kristen yang taat.

"Bukti yang saya ketengahkan adalah; pada tahun 1630-an, Galileo ingin menerbitkan buku yang mendukung konsep heliosentris[8] Copernicus tantang tata surya. Tetapi Vatikan tidak akan membiarkan buku itu terbit hingga Galileo memasukkan juga bukti mengenai konsep geosentris[9] milik gereja."

"Dengan kata lain anda tidak setuju ada hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama?" tegas Olga.

"Benar" sambil memegang keningnya Carlo meneruskan penuturannya.

"Sementara itu, Galileo tau persis kalau konsep yang diusung gereja itu sama sekali salah. Dia tidak memiliki pilihan selain menyetujui permintaan gereja. Hegemoninya waktu itu membentang luas di Eropa yaitu dari Italia sampai Irlandia. Bentuk penguasaan yang sama sekali tidak bisa dikatakan remeh." Tegas Carlo.

"Apakah teori pendukung Copernicus tidak jadi diterbitkan, Carlo?" tanya Su In.

"Tetap diterbitkan" jawab Carlo dengan penuh kemantapan seakan pertanyaan itu adalah hal yang sangat mudah baginya.

"Galileo tetap menerbitkan buku itu walau harus memuat dua konsep yang akurat dan yang tidak akurat. Walau demikian buku itu masih dianggap menyimpang hingga akhirnya Galileo ditahan di rumahnya." Jawab Carlo. Dia tampak puas setelah menengahkan pendapatnya.

Tiba-tiba Carlo berdiri dan menambah pendapatnya. "Gereja menganggap ilmu pengetahuan sebagai heresy[10]. Kaum gereja menganggap temuan baru atau sebuah teori alam adalah sesat. Seperti teori Copernicus tentang tata surya. Mereka menganggap teori itu sangat bertentangan dengan ajaran Al-Masih.

Dadaku sesak, mungkin karena suhu yang terlalu dingin. pembuluh kapiler paru-paru seperti menginginkan udara yang lebih bayak dalam suhu 28 derajat Celcius saja. Oksigen adalah zat oksida mahluk hidup. Ketika kelembaban oksigen sangat pekat akan sangat mempengarui pernafasan. Keluar masuknya udara dalam paru-paru terasa sangat berat.

Logika Fisika

Dingin terus menyusup dalam pori-pori jas yang aku kenakan. Ini adalah keadaan alam yang sangat langka ku temui, terlepas dari itu semua aku tetap semangat dan bertahan karena pada dasarnya belajar di Universitas Minar Sinan adalah pilihanku.

Walaupun kebanyakan dari staff dan peserta didik Universutas ini menganut faham yang sudah sama sekali bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan Hadist tapi dari segi kecintaan mereka terhadap saints sangat membuncah. Aku sering teringat pada kejayaan masa lalu yang pernah dialami Turki, tepatnya Kholifah Ustmaniyah. Pada masa ini adalah masa yang begitu gemilang sehingga siar agama Islam begitu dijunjung tinggi. Dengan kata lain Turki pernah menjadi negara yang sangat tentram dan damai tidak seperti yang kudapati pada masa sekarang ini.

Kriminalitas, kerusuhan serta hal amoral lain sangat sering aku jumpai di universitas ini. Mereka benar-benar sudah melupakan ajaran Islam yang dulunya pernah dijunjung tinggi. Sekarang pikiran mereka telah teracuni oleh pandangan-pandangan Filsafat Materialistic dan Darwinisme.

Sifat egois dan hukum rimba menjadi pilihan akhir mereka, karena kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa evolusi pada setiap mahluk hidup itu akan terjadi sepanjang masa. Siapa yang kuat maka akan menang sedangkang siapa yang lemah akan binasa. Kalau dulu mereka menjunjung tinggi hukum-hukum Islam sekarang mereka lebih mencintai pada hukum-hukum produk Hitler dan Lenin. Dengan dalih hukum ini adalah sesuai dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan yaitu Darwinisme.

Sebenarnya konsep ini menentang fakta penciptaan karena menganggap semua mahluk hidup yang ada sekarang merupakan hasil evolusi dari mahluk hidup yang sudah ada dulu. Kemudian anggapan yang lebih berbahaya lagi adalah mahluk hidup yang kuat akan senantiasa hidup sedangkan yang lemah akan musnah karena tidak mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Pandangan ini mereka aplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kok pikiranku jadi kemana-mana. Tiba-tiba terlintas pesan ini dalam dendrit-dedrit otakku.

"Menurut Tuan Fian bagaimana?" Suara itu mengalir indah kepadaku memberikan kesejukan tersendiri sehingga aku cepat-cepat keluar dari lamunanku.

"Semua yang diketengahkan saudara-saudara merupakan sebuah produk Ilmu Pengetahuan tapi..." aku memutus perkaataanku untuk sedikit memberi ruang kepada kepalaku untuk berfikir.

"Tapi apa, Tuan?" Lagi-lagi perkataan Nona Olga terus mengejarku.

"Sedikit berbeda dengan pandanganku" Aku memberanikan diri untuk sedikit berbeda dengan pendapat mereka.

"Terus..."

"Ilmu pengetahuan adalah salah satu jalan untuk memahami Tuhan" statemen itu membuat semua peserta didik yang hadir memperhatikanku.

Aku harus menggunakan logika Fisika untuk menyampaikan apa yang baru saja aku sampaikan. Pada dasarnya logika Fisika adalah bahasa mereka sehingga selain dengan metode ini mereka tidak akan mendengar dan membuang begitu saja pendapatku. Hal seperti ini pun telah dicontohkan oleh cendekiawan muslim masa dulu.

Dalam perjalanan sejarahnya, Imam Asy'ari pada dasarnya adalah mengikuti konsep Theologi Mu'tazilah, dengan di bawah bimbingan langsung al-Jubâi. Tapi setelah empat puluh tahun tepatnya pada tahun 300-an Hijriah beliau kembali pada konsep Theologi yang diikuti oleh mayoritas Ahli Hadist. Sehingga beliau mendirikan madzhab tersendiri yang dinamakan dengan Madzhab Aqli atau Rasionalis untuk menghantarkan paradigma Mu'tazilah kepada pandangan kelompok Ahli Hadist.

Sehingga rasanya sangat wajar sekali ketika dalam studi kasus seperti ini aku harus mempergunakan logika Fisika untuk memahamkan mereka tentang konsep-konsep yang benar di balik perkembangan Ilmu Pengetahuan.

"Tuan Fian, mungkin anda bisa sedikit menjelaskan tentang apa yang anda ucapkan tadi karena saya masih kurang begitu paham." Ucap Nona Olga.

"Baik. Saya akan memulai dengan fakta ilmiah... seperti yang saya katakan tadi bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu jalan untuk memahami Sang Pencipta atau Tuhan. Kita bisa mengamati pada dua telur penyu kembar."

"Terus... apa yang bisa kita ambil dari contoh yang anda kemukakan!" Carlo memangkas suaraku.

Akupun menghela nafas dan memakluminya karena pada dasarnya sifatnya seperti itu, sehingga hal tersebut sudah sangat akrab di tengah-tengah kita. "Ada hal yang sangat unik dalam studi kasus dua telur penyu kembar..."

"Dua telur itu mampu menetas dalam waktu bersamaan walau jaraknya sangat berjauhan" tambah Su In.

"Tepat sekali, dalam percobaan modern dua telur penyu kembar ini pernah diletakkan di dua laboratorium yang berpisah bermil-mil jauhnya. Tetapi sebuah keajaiban dua telur itu dapat menetas dalam waktu yang bersamaan, ini menandakan..."

"Baik, sangat menarik sekali pandangan tuan Fian" Ucap Nona Olga.

"Mungkin bisa diteruskan!" pinta Lee Su In.

"Dua telur penyu itu menandakan ada kekuatan lain yang di luar logika manusia. Memangsih beberapa ilmuan ada yang mengatakan itu adalah keistimewaan biasa tapi sebagai kaum akademisi tentunya kita harus bersifat netral supaya sebuah pori-pori pemahaman benar-benar masuk dalam sanubari kita."

"Bisa anda jabarkan lagi hingga menjadi sebuah pandangan yang lebih sempurna dan ilmiah" pangkas Nona Olga.

"OK" jawabku.

"Silahkan Tuan Fian..." sambung Su In.

Sebenarnya ini adalah sebuah kesempatan emas untuk menyampaikan beberapa nilai-nilai agama Islam. Sampai saat ini, yaitu sekitar delapan bulan aku belum pernah mendengar pembicaraan tentang spiritualitas, baik yang dibincangkang oleh staff pengajar maupun peserta didik. Para staff pengajar biasanya memberikan sekelumit tentang spiritualitas tapi larinya kepada pandangan-pandangan Darwin tentang konsep Ilmu Pengetahuan.

"Tuan Fian?..." suara dari arah belakangku.

"Mungkin bisa diteruskan untuk memperkuat pendapat anda tadi..." Nona Olga penasaran.

Aku merasa sangat diperhatikan oleh semua temen-temenku karena aku bisa melihat sorot matanya yang tertuju tajam ke arahku. Termasuk Olga.

"Baik. Tentunya kita sepakat kepada semua produk yang mampu mempermudah pekerjaan kita adalah hasil dari Ilmu Pengetahuan."

Aku melihat Olga, Lee Su In serta teman-temanku yang lain mengangguk tanda setuju. Bahkan sorot mata mereka menatap tajam ke arahku dengan tangan bersiap-siap di atas key board lap tob mereka. Mungkin mereka memasang siaga untuk mencatat beberapa hal yang penting atau yang mereka anggap masih mengganjal dalam fakta empiris.

Aku menjadi bertambah bersemangat karena aku yakin dalam kesempatan kali ini aku bisa mengutarakan beberapa tata nilai agama Islam.

"Saya akan mengajak teman-teman membuka mata ke Jepang. Di negara ini saya menemukan salah satu figur yang sangat luar biasa. Namanya Soichiro Honda. Salah satu figur yang pernah jatuh bangung hingga mencapai karirnya yang gemilang." Udara semakin dingin, akupun merapatkan jas yang aku kenakan. Sambil menghela nafas aku meneruskan. "Dia adalah figur yang memahami makna spiritualitas."

Hampir semua mata dan telinga fokus kepada ucapan terakhirku ini. Beberapa diantara peserta diskusi mengacungkan tangannya hingga akhirnya Nona Olga mengarur lalu lintas diskusi kita.

"Baik" kata Nona Olga

Beberapa peserta diskusi ramai dan menggangkat tangan mereka tegak lurus ke atas karena berebut untuk angkat bicara.

"Aku minta izin pada saudara-saudara semua untuk sedikit mengatur jalannya diskusi kita, supaya maksud dan tujuan dari diskusi tercapai hingga menjelma menjadi sebuah tipologi diskusi yang mendalam." Papar Olga.

"Baik!!!" seru mereka.

Aku melihat Nona Olga begitu bijaksana dan menawan. Benar-benar sorot mata Profesor Henry tampak pada mata Nona Olga. Sangat luar biasa, aku terkagum. Kalau beberapa detik tadi aku terkagum oleh kecantikan parasnya sekarang aku menemui dalam dirinya jiwa keibu-ibuan. Dia mengatur jalannya diskusi yang kita gelar bersama laksana mengatur anak-anaknya, sungguh aku terkagum-kagum dibuatnya.

"Maaf mungkin Tuan Fian bisa meneruskan pemaparannya..." pinta Nona Olga.

"Pertama kali aku menganggap Soichiro Honda hidup dalam suasana glamor dan penuh kemewaan. Tapi ternyata premis itu seratus persen salah karena beliau ternyata hidup dalam keadaan sangat sederhana dan penuh dengan penghayatan nilai-nilai spiritualitas." Ruangan laksana kebun es, sehingga aku memperhentikan suaraku. Sedikit merapikan jas dengan tujuan mengikis rasa dingin dalam sela-sela bajuku.

"Sangat benar sekali apologi dari Tuan Fian" ucap Lee Su In. "Sejarah Perjalanan beliau sangatlah menarik. Berawal pada tahun 1938, dia mengumpulkan hartanya bahkan menjual perhiasan istrinya." Su In menarik nafas dalam. "Tuan Soichiro Honda memulai bisnisnya dengan konsep 'Piston Ring'. Beliau berharap bisa menjualnya ke Toyota. Setelah 'Piston Ring' selesai dia membawanya ke Toyota. Temuan beliau ditolak oleh pihak Toyota karena dianggap belum memenuhi kebutuhan." Su In memperhentikan penuturannya.

"Apakah dia putus asa?" ucap Carlo dari belakang, laksana membidiknya.

"Beliau sama sekali tidak putus asa. Bisa dikatakan beliau malah semakin semangat. Tampak dari semangatnya untuk terus bangun sehingga dia memilih jalan untuk sekolah kembali. Dan yang lebih memukau lagi, beliau tetap semangat dan percaya diri meskipun teman-temannya menertawakannya." Su In menghela nafas.

"Apa yang beliau lakukan sepanjang proses pembelajarannya?" Olga mengfokuskan pembahasan.

"Kurang lebih selama dua tahun, beliau fokus dan akhirnya pihak Toyota membeli prodaknya. Tapi saat itu pula, Pemerintah Jepang menolak menjual material pembuat pabrik. Tetapi Soichiro Honda nekat membuatnya. Apa yang terjadi teman-teman setelah masa bodoh yang dilakukan Soichiro Honda?" Su In memperhentikan ulasannya.

"Sepengetahuan saya saat itu Jepang terjadi krisis bahan bakar, tepatnya kira-kira pasca perang, sehingga Soichiro Honda tidak mampu membeli bahan bakar. Beliau putus asa." Suaraku menambahi penuturan Su In.

"Tuan Fian sangat tepat. Setelah itu, ide cemerlang beliau mulai muncul; dia menempelkan mesin pada sepedanya. Orang-orang disekitarnya sangat terkagum-kagum, sehingga mereka juga meminta hal yang sama." Tambah Su In.

"Mesinnya terjual habis. Hingga pada akhirnya Soichiro Honda kehabisan modal, padahal beliau ingin menjual mesin. Setelah itu, beliau mengajak pada 18.000 penjual sepeda untuk menggabungkan modal bersama. Kebanyakan dari mereka menolak han hanya mendapat dukungan dari 5.000 penjual sepeda saja. Sekarang Perusahaan Honda memiliki pegawai 100.000 pegawai. Bisa dianggap bentuk sukses yang sangat luar biasa. Perusahaan ini juga memproduksi mobil. Bahkan catatan terakhir perusahaan ini mampu mengalahkan semua produser mobil kecuali milik Toyota di Amerika Serikat." Badanku agak hangat mungkin karena sel-sel otakku terus bekerja untuk mengumpulkan beberapa data seilmiah mungkin untuk menyusupkan nilai-nilai agama yang sudah dianggap usang oleh masyarakat Universitas Minar Sinan.

"OK. Sebuah pemaparan yang sangat rinci." Suara dari arah nona Olga memberi apresiasi. "Tapi maaf sebelumnya, kita kurang begitu paham dengan studi kasus yang tuan ketengahkan? Mungkin bisa sedikit diperjelas supaya pembidikan pokok permasalahan benar-benar tersampaikan." Tambah nona Olga.

"Dari fakta ini sebenarnya saya mau mengajak temen-temen untuk mengkaji secara mendalam prilaku figur ini. Meskipun dalam perjalanan karir Soichiro Honda bisa dianggap sangat sukses karena mampu memperkerjakan 100.000 karyawan, beliau tetap pada keadaan biasa saja. Tidak langsung terjerumus dalam kehidupang yang glamor dan berfoya-foya apalagi membumikan hukum rimba. Beliau benar-benar memahami tentang spiritualitas dengan sangat baik sehingga nilai-nilai ini terus beliau pertahankan." Sebenarnya aku belum sangat yakin dengan apa yang saya sampaikan karena hal itu sebenarnya pembahasan pada tataran masuk inti dalam pemahaman spiritualitas, tidak pra-memasukinya.

"Saya bisa menangkap apa yang dikatakan Tuan Fian adalah bentuk spiritualitas adalah sangatlah penting" tambah Olga.

"Orang terkaya sedunia, Bill Gates ternyata juga menyumbangkan 40 % dari kekayaannya kepada kemanusian. Ini berarti, beliau telah mencapai sebuah pemahaman puncak, spiritualitas." Su In kembali mengetengahkan pendapatnya.

"Maksud anda apa?" pertanyaan dari Nona Olga.

"Kita tahu semua bahwa nilai-nilai agama sekarang sudah mulai masuk dalam semua lini kehidupan manusia jika seorang manusia itu menginginkan sebuah kesuksesan. Saya ambil satu sampel, dalam dunia perdagangan atau bisnis kita sangat menjunjung sikap-sikap mulia seperti kepercayaan, jujur, bekerja dengan baik, disiplin serta sifat-sifat baik lainnya. Saya kira ini adalah materi ketika kita memasuki Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama, yaitu tentang konsep IQ, EQ dan SQ. Sehingga saya berani menyuarakan bahwa penggabungan semuanya adalah jalan sukses untuk mencapai kepada sebuah puncak kesuksesan." Sambil membenai bajunya Su In menghentikan pemaparannya. Sepertinya dia masih begitu semangat untuk mendukung pertahanan tata nilai produk agama pada aplikasi dalam setiap lini kehidupan manusia. Aku memahaminya karena Lee Su In adalah seorang Khatolik yang taat.

Udara menjadi sangat segar karena diskusi kita menjadi sangat panas dan sempat menegangkan beberapa saraf-saraf otak dan tulang belakang kita. Sungguh sangat memukau dan menegangkan. Di samping itu, saya terus mengumpulkan data untuk menguatkan pandangan tentang tata nilai agama dan urgensinya.

"Aku menyimpulkan bahwa IQ, EQ dan SQ adalah tiga komponen yang tidak bisa dipisahkan kalau kita menginginkan untuk mencapai puncak sukses. Coba kita lihat di Jepang. Masyarakat Jepang tercatat sebagai negara yang mengalami stres tertinggi di dunia. Sehingga tidak heran kalau di Jepang kita akan mendengar orang bunuh diri hampir setiap hari. Ini adalah akibat mereka kurang dalam memahami nilai-nilai spiritualitas. Sedangkan spiritualitas adalah produk atau ajaaran dari agama. Dengan spiritualitas kita akan mengetahui arti hidup kita dan untuk apa kita hidup?. Orang yang tidak memahami makna spiritualitas pastinya dia akan sangat bingung ketika dia suadah mencapai puncak tertinggi dari kesuksesannya. Dia akan kebingungan. Apa yang akan dilakukan lagi setelah benar-benar pada tingkat tertinggi kesuksesan. Maka tidak lain banyak sekali orang akan mengambil jalan mengakhiri hidupnya. Kebanyakan dari mereka merasa lebih nyaman ketika memilih langkah seperti ini." Ucapan Su In menjadi agak merendah ketika hendak menutup penuturannya.

Beberapa diantara peserta didik ada yang terdiam haru, ada juga yang cuwek terhadap kondisi ruangan yang baru diciptakan Su In. Aku melihat Nona Olga sedikit simpatik terhadap pendapat Su In.

"Baik siapa lagi yang mau berkomentar..." suara Nona Olga sedikit pelan.

"Saya memberi apresiasi kepada saudara Su In, ternyata beliau begitu luar biasa dalam memahami Filosofi Kehidupan." Tambahku mengisi keheningan.

"Tuan Fian ada yang mau anda kaatakan lagi?" ucap Nona Olga dengan penuh keramahan.

"Ada" ucapku sambil melirik diagram di atas buku catatanku untuk sedikit merangsang ingatanku.

"Silahkan!"

"Fakta menarik lain adalah tentang ubur-ubur. Dalam sebuah empiris, ternnyata jutaan ubur-ubur berdenyut dengan irama yang tepat seperti memiliki satu pikiran. Sehingga ada satu statemen menarik yang berhasil saya rangkum yaitu; selalu ada komunikasi yang tidak terlihat di mana-mana. Ini bisa saya katakan sebagai bisikan Tuhan." Ucapku dengan lantang. Sekian banyak peserta didik melihatku karena merasa sangat asing dengan apa yang saya katakan tadi. Mereka jarang mendengar nama Tuhan apalagi menyebutnya. Nyaris tidak pernah.

"Fakta tentang ubur-ubur saya sepakat dengan pandangan Tuan Fian, tapi coba jelaskan lebih lanjut tentang apa yang baruasan anda katakan, tentang bisikan Tuhan" pertanyaan Carlo. Bisa saya maklumi karena sosok Carlo adalah atheis habis yang sama sekali tidak mempercayai adanya Tuhan.

"Bukti ilmiah dari apa yang saya katakan tadi adalah kita tahu bahwa manusia pada umumnya hanya mempergunakan sebagian kecil dari otaknya. Einstin hanya mempergunakan otaknya tidak lebih dari 15 %, sangat sedikit. Walau demikian kalau kita menggunakannya dalam keadaan yang melibatkan emosi, seperti ketika merasakan sakit pada tubuh, kegembiraan yang luar biasa atau takut, mediasi yang khusuk, tiba-tiba saja neuron-neuron di otak kita akan bekerja dengan sangat aktif sehingga menghasilkan kejernihan mental yang meningkat secara besar-besaran." Jawabku atas pertanyaan Carlo.

"Terus apa kaitannya dengan bisikan Tuhan?" tandas Carlo.

"Solusi yang mengagumkan untuk sebuah masalah yang sulit sering muncul dalam keadaan jernih seperti itu. Inilah yang didukung oleh para guru atau akademisi dengan kesadaran paling tinggi, Ahli Biologi menyebutnya Altered States, Ahli Psikologi menyebutnya Super-Sentience serta umat beragama menyebutnya dengan do'a yang dikabulkan." Ucapku memaparkan.

"Sangat luar biasa apa yang kita bahas pagi ini, kalaupun kita sering menganggap quark[11] dan meson[12] sebagai Tuhan, kali ini kita membahas apa yang sebelumnya belum kita pahami secara menyeluruh..." tambah Olga.

"Terus kalau misalnya paradigma anda itu benar, padahal Bapak Ilmu Pengetahuan kita, Aristoteles mengimpulkan tentang pentingnya Ilmu Fisika dan menganggap sekunder pemikiran terhadap Metafisika. Kalau dalam redaksi saya Metafisika adalah bentuk penyia-nyiaan waktu untuk memberi ruang di dalam salah satu ruang di otak kita. Atau dalam bahasa sederhananya adalah Metafisika tidak ada gunanya." Papar Carlo.

Suasana menjadi semakin hening. Tapi ketika aku melihat senyum Nona Olga laksana merge charge[13] yang senantiasa memberikan suntikan semangatnya kepadaku.

"Baik langsung saja Tuan Fian!" pinta Nona Olga.

"Dalam perjalanan Ilmu Filsafat Yunani ternyata Aristoteles membuang beberapa pemikiran tokoh-tokoh Filsafat sebelumnya. Aristoteles langsung memangkas beberapa pembahasan ilmu menjadi lebih praktis yaitu fokus pada Ilmu Fisika." Jawabku dengan sangat hati-hati. Karena yang ada di hadapanku adalah orang-orang pelajar pilihan dari setiap negaranya masing-masing.

"Yang anda maksud dengan beberapa pembahasan ilmu itu apa?" kejar Carlo.

"Baik. Alangkah baiknya kita memehami skema perjalanan Ilmu Filsafat supaya lebih mudah dalam mencernak apa yang barusan saya kaatakan." Kataku seakan mengajari. "Gimana menurut Nona Olga? Takutnya nanti kalau memakan waktu yang terlalu banyak." Tanyaku pada Nona Olga.

"Saya kira kalau itu sangat penting maka tidak ada masalah. Apalagi kembalinya pada kita sendiri juga, untuk lebih memahami apa yang anda katakan tadi." Jababnya dengan penuh wibawa.

"Saya mulai dengan skema perjalanan Ilmu Filsafat. Sebelum Aristoteles, telah ada pemikir Yunani yang berusaha menyederhanakan segala sesuatu dengan akal mereka. Kita bisa meliahat pada sosok Tales, Sakrotes dan Plato. Tales hidup sekitar abat 6 SM, Sakrotes 5 SM, Plato 4,5 SM serta Aristoteles hidup pada abat 4 SM."

Udara semakin dingin hingga tubuhku serasa dibuatnya semakin mengecil hingga aku sedikit memperhentikan pembahasanku tentang skema perjalanan Ilmu Filsafat.

"Saya hanya akan melibatkan dua dari tokoh pembangun Ilmu Filsafat, yaitu Plato dan Aristoteles. Ada rahasia besar yang pernah saya kaji dalam perjalanan dua tokoh ini. Plato lebih saya anggap sebagai filosof yang pernah membahas tentang Ketuhanan. Atau dalam redaksi saya metafisika (alam idea). Tapi yang lebih menarik Aristoteles melepaskan sebagian pandangan Plato dengan mendewakan Fisika di atas segala-galannya. Sehingga pemikiran seperti ini berkembang pada abat setelahnya dan sering disebut dengan Filsafat Paripatetik."

Serasa diskusi kita sangat melelahkan dan berat. Aku bisa melihat dari sekian hadirin yang sudah tampat lelah dalam mendengarkan argumenku. Tapi mata Nona Olga terus menatapku dengan sangat tajam.

"Abat ke-2 M, Filosuf dari Kristen..."

"Maaf Tuan! Setahu saya agama Kristen itu sama sekali tidak mengenal Filsafat bahkan dilarang dengan sangat keras..." pangkas Carlo.

"Pendapat itu sangat benar dan terjadi sekitar pada abat ke-2,5 M, sedangkan yang kita bahas adalah pada abat ke-2. Filosof Kristen kala itu adalah Alexander of Aprodasy pernah menggunakan Pendekatan Filosofi untuk digunakan sebagai Filsafat Agama. Yang peling menarik adalah Aprodasy tidak mengadopsi pemikiran Aristoteles melainkan pemikiran Plato dengan nama baru Neo-Platonisme." Aku menghentikan penuturanku.

"Jadi, kenapa Alexander of Aprodasy mengadopsi pemikiran Plato bukan Aristoteles kerena menganggap Plato lebih dekat dengan pemikiran-pemikiran tentang Ketuhanan dari pada Aristoteles, yang menganggap final Ilmu Fisika." Nona Olga berusaha mengimpulkan.

"Sangat tepat sekali pandangan, Anda" tambahku.

Suasana menjadi semakin hening, mencoba mengambil benang merah dari apa yang sudah aku sampaikan tadi.

"Sehingga, bisa kita katakan kurang sempurna ketika kita hanya melibatkan Fisika sebagai satu-satunya senjata dengan mengesampingkan nilai-nilai spiritualitas yang sebenarnya sudah Tuhan bisikkan kepada kita semua." Paparanku dengan sedikit mengurangi volume suaraku. "Saya ingin menambahi apa yang telah disampaikan Nona Lee Su In perihal IQ, EQ dan SQ dalam mendukung kesuksesan."

Setelah aku mencoba membuat intermeso, aku melihat temen-temen satu diskusi denganku mengangkat nafas tanda bersiap-siap memperhatikanku.

"Selain Intelligency Quotient, Emotional Quotient, Spiritual Quotient ternyata ada juga AQ yang tak lain adalah Advertsity Quotient. AQ adalah bentuk penggabungan ketiganya hingga benar-benar mampu untuk mencapai sebuah kesukseasan dan kebahagiaan. AQ bisa diabstraksikan dalam bentuk kegigihan, semangat tinggi, Endurance, pantang menyerah, Quitters-Campers-Climber dan kedekaatan terhadap Tuhan. Jadi kesimpulannya, kita harus menyeimbangkan antara Ilmu Pengetahuan yang tumpuan intinya adalah akal dengan nilai-nilai spiritualitas untuk memberi kontrol aktif dalam diri kita." Paparku dan menarik sebuah konklusi bahasan.

"Ting ... tung ... ting ... " lonceng berdentang. Kosentrasi kita menjadi kabur seperti terbangun dari mimpi yang sangat indah.

"Baik. Kita akhiri diskusi kita dan kita sambung di kesempatan yang akan datang" tutup Nona Olga.

Para peserta didik terhuyung-huyung keluar ruangan untuk mencari udara segar. Mereka berdesak-desakan bak ikan-ikan kolam yang sedang berebut makanan.

"Tuan Fian" suara dari arah Nona Olga.

"Ada apa Non?" balasku.

"Sangat luar biasa ulasannya tadi" tambahnya.

"Tadi yang menjadi sebab kenapa diskusi mendalam adalah sang pengaturnya."

"Halah bisa aja" ucapnya. "Tuan bisa minta kartu namanya..."

"O...ooo boleh." Ucapku dengan sangat gagap.

Kitapun saling tukar kartu nama.

"Tuan Fian, ayo kita keluar mencari udara segar. Dari tadi otakku sumpek karena digunakan untung menggiling pokok pembahasan..." ajaknya.

"Ok..."

Kami pun berjalan ke luar hingga sampai ke koridor tempat para tutor istirahat. Dalam perjalanan pikirannku melayang kemana-mena melihat pesona yang sangat luar biasa. Akhirnya dia memasuki ruangan dan mengucapkan, selamat tinggal. Aku hanya membalas dengan senyum termanisku.

Menikmati Malam

Aku menengok jam yang ada di tangan kiriku. Jam 01.07 pm. Aku jadi tersentak dan cepat-cepat menuju ke arah Masjid Molla. Dalam perjalananku menuju tempat yang ku maksud, aku menemukan gerombolan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang mengelilingi dua mahasiswa yang terkapar.

"Ada apa ini, Mas?"

"Terbunuh dalam perkelaian" jawabnya tanpa memperhatikan wajahku.

Aku ikut mengambil posisi untuk menyaksikan sang terbunuh lebih dekat. Kepalanya bocor berlumuran darah, mungkin akibar perkelaian antar mahasiswa. Nyaris sang korban tidak bergerak. Aku melihat di sisi tangan kanannya pisau yang sudah tergeletak tanpa diketahui siapa empunya. Bercak-bercak darah pun menyebar di sekitar korban itu. Aku tidak mampu mengenali wajahnya karena tertutupi rambut panjang yang pekat karena berlumuran darah.

"Tuan Fian!..." suara dari belakangku.

Aku melihat ke arah suara nyaring itu. Ternyata pemilik suara lembut itu adalah Layla, warga negara Turki yang sangat akrab denganku.

"Ada anarki apa lagi ini, Tuan Fian?" suara itu keluar di sela-sela kerumunan manusia yang terus-menerus mengomentari kejadian yang ada di depannya.

"Persisnya aku kurang begitu tahu, Aku juga baru datang dan melihat kejadian ini."

"Lihat pisau di sampingnya!" perintahnya.

"Ya...mungkin mereka terlibat dalam peristiwa anarki seperti halnya yang terjadi dua minggu yang lalu."

Udara semakin menggigil, sang surya pun bergeser sedikit ke barat dari diameter langit yang biru. Kejadian seperti ini sangat sering terjadi di kampus kami. Bahkan pihak keamanan mampu membuat rata-rata dari korban anarki minimal dalam setiap hari ada yang terbunuh, bahkan sempat dalam sehari mahasiswa pernah tercatat mati dalam tindak anarki sebanyak puluhan mahasiswa.

Kejadian seperti ini dianggap sangat wajar-wajar saja. Mereka benar-benar berhaluan Marxisme, sehingga pemikiran kekirian menjadi sangat dominan. Aku sangat ngeri ketika membayangkan moral dan ahlaq mereka yang sudah hancur lebur tanpa tahu kapan akan muncul kejayaan masa lalu, seperti yang dialamai pada masa ke Kholifahan Usmaniyah.

Setelah lima menit, tiba-tiba datang segerombolan orang yang memakai seragam dan menghampiri korban. Aku dan Layla terus mengamati aksi mereka untuk melakukan upaya pertolongan pertama pada korban.

"Gimana yang itu? Sudah tewas juga." Ucap salah satu petugas yang sedang memeriksa korban.

"Sudah. Kepalanya pecah akibat benturan benda keras sehingga tampak jelas tulang tengkoraknya remuk" jawabnya dengan sedikit menjelaskan.

Empat dari mereka mulai mengangkat para korban ke dalam sebuah mobil putih bertuliskan Ambulance. Aku dan Layla tidak melepaskan pandangan kami ke sumber peristiwa. Mobil itu pun mulai berjalan terus dan pada akhirnya mobil itu semakin lama-semakin mengecil dan belok kanan sehingga mata kami terhalangi oleh pohon-pohon yang tertutupi salju.

"Tuan Fian besuk lusa ada acara nggak?" tanya Layla.

Aku pun mengambil hand phoneku dan segera melihat kalender bulan November. "Berarti tanggal 4 kan?"

"Ya tanggal 4" jawabnya.

"Aku nggak ada acara, memangnya ada acara apa?"

"Orang tuaku berencana untuk merayakan 27 tahun pernikahan mereka."

"Acara besar dong..."

"Nggak biasa saja kok, nggak ada yang istimewa." Jawabnya dengan terus melihatku. Matanya ramah seakan memintaku untuk cepat-cepat menyetujui permintaannya. "Kalau nggak ada kegiatan yang lebih penting, tolong datang ya..." pintanya manja.

"Waktu dan tempatnya?" tanyaku penasaran.

"Sore saja, ya... sekitar jam 05.00 pm." Tutupnya sambil menyodorkan undangan yang didominasi warna hijau, di halaman muka bertuliskan Dear: Alfian Abi Husna.

Layla adalah warga negara Turki yang sangat akrab dan baik hatinya. Dia adalah mahasiswa Jurusan Seni di Universitas Minar Sinan. Dia meimiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam disiplin Ilmu Seni. Bahkan menurut ceritanya dia memperoleh nilai yang sanagt tinggi ketika masuk di Universitas Minar Sinan. Seni lukislah yang menjadikan prestasinya semakin memuncak.

"Maaf tempatnya di mana, Nona?"

"Di rumahku"

"Oktakoy?" tanyaku.

"Ya..."

Layla dan keluarganya tinggal di Oktakoy, Istambul. Dia adalah anak pertama dari pasangan Tuan Sultan dan Madam Elif. Bisa dikatakan pasangan ini termasuk pasangan yang lumayan harmonis karena momen-momen spesial mereka tetap mereka peringati walaupun kesibukan mereka yang begitu padat. Ayah dari Laila adalah seorang pemimpin sebuah pabrik garmen tarnama di Istambul. Ayahnya adalah seorang ahli desain yang namanya terus melambung hingga akhirnya dipercaayai sebagai pimpinan dalam pabrik tersebut.

Ibunya sangat berbeda dengan ayahnya dari kecil hingga sekarang beliau adalah seorang pecinta ilmu-ilmu eksakta, hingga akhirnya mengambil pilihan untuk memperdalam Ilmu Kimia dan Biologi. Sekarang beliau sangat sibuk di dunia farmasi dan antibiotik.

"Tuan gimana? Bisa datang kan." Pintanya lagi.

"Ya deh nanti saya usahakan." Jawabku agak ragu.

"Tapi kalau misalnya ada suatu hal yang lebih penting tidak datang juga tidak apa-apa" ucapnya dengan maksud memberikan pilihan kepadaku.

"yup"

"Aku ada kelas sore, aku permisi dulu. Datang ya, kami sekeluarga menunggumu." Dia berpamitan dan mulai menghempaskan kakinya hingga tubuhnya semakin menjauh dari titik semula. Aku hanya membalasnya dengan anggukan ringan tanda mengizinkan dia untuk masuk dalam kalas kuliahnya.

Aku pun menjauhi tempat kejadian pembunuhan tadi untuk menuju Masjid Molla. Aku kembali melihat jam di tangan kiriku. Jam 01.16 pm. Aku pun segera bergegas untuk menunaikan Shalat Dzuhur di tempat itu. Hampir dapat dipastikan setiap waktu Dzuhur, aku secara rutin ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat.

Masjid ini jarang sekali digunakan untuk shalat oleh staff atau pun mahasiswa Universitas Minar Sinan. Bisa dikatakan kalau masjid ini hanyalah simbol saja dan tidak diperlakukan sebagai mana mestinya. Pemandangan yang sangat berbeda dengan keadaan di Mesir dan Indonesia. Di Mesir, pernah sekali waktu aku diajak ayahku untuk menghadiri temu reuni alumni Universitas Azhar. Di sana aku menyaksikan berbagai masjid yang sedemikian rupa dan warna serta minimal ada jamaah dalam jumlah puluan setiap kali shalat mau dikumandangkan. Demikian halnya dengan di Indonesia, minimal ada suara adzan ketika masuk waktu shalat.

Di Masjid Molla tidak ada panggilan sama sekali, paling-paling hanya mereka yang ingin shalat ke tempat itu, terus mereka sibuk menyambung aktifitasnya sampai malam. Aku pun sudah sampai di luar pagar masjid itu. Aku mulai mencari tempat wudhu' dan sampai akhirnya saya selesai menunaikan ibadah shalat.

Aku keluar dari Masjid Molla dengan perasaan yang sangat iba melihat teman-temanku yang sangat sibuk dalam mencapai karirnya hingga akhirnya melupakan sama sekali makna-makna spiritualitas apalagi nilai-nilai agama, sama sekali mereka tidak menganggap dimensi itu.

Bisa dikatakan pijakan trauma mereka pada perjalanan sejarah agama yang begitu suram. Mereka sering mengatakan bahwa agama identik dengan sebuah kepentingan yang sangat licik sehingga hal tersebut tidak pantas lagi untuk diaplikasikan dalam kehidupan yang penuh dengan isu globalisme ini.

Angin berhembus begitu sejuk dan lembab. Pepohonan melambai-lambai seakan-akan memanggilku dan mengajakku untuk bangkit. Aku tersenyum sendiri karena merasa pohon-pohon itu senantiasa bertasbih walaupun pepohonan itu tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang sama sekali meninggalkan nilai-nilai agama.

Aku kembali mengingat-ingat trauma mereka sehingga mengambil worldview[14] sekulerisme. Mereka menganggap final ideologi itu. Karena dengan ideologi sekuleris mereka menganggap bisa terlepas dari kekangan agama dan mampu memacu semagatnya untuk mencapai sebuah karir yang lebih gemilang. Anggapan mereka adalah agama hanya untuk orang yang mau mati saja, sedangkan orang yang masih segar bugar sangat tidak perlu untuk mentaati aturan-aturan klasik itu.



[1] Evolusi bumi adalah perputaran bumi pada porosnya

[2] Signore bahasa Itali yang artinya pak.

[3] Bahasa Inggris artinya ma'af pak aku terlambat

[4] In door sama artinya dengan di dalam ruangan

[5] Introduction bahasa Inggris artinya perkenalan

[6] RRC (Republik Rakyat China)

[7] Edelwais adalah jenis bunga yang mekar pada saat musim dingin

[8] Heliosentris adalah faham yang mengatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya bukan bumi.

[9] Geosentris adalah faham yang mengatakan bahwa bumi merupakan pusat tata surya bukan matahari.

[10] Heresy sama artinya dengan kekafiran. Kata ini dipakai untik menjastifikasi musuh-musuh gereja

[11] Quark adalah elemen dasar yang dianggap muncul secara berpasangan.

[12] Meson adalah kelompok partikel dasar yang membentuk quark dan anti-quark.

[13] Merge charge sama artinya dengan pengisian kembali.

[14] Pandangan hidup

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ada beberapa kalimat yg mengingatkan ku pada sebuah novel terkenal. urutan dan susunan nya pun sama.

4 Desember 2009 pukul 00.50

Posting Komentar