Muslim, Schizophrenia dan Delusi dalam Politik Islam
Nur Fadlan
Politik dikenal baik dalam sejarah Islam. Akan tetapi, politik memiliki diferensiasi dalam pola dan definisi. Dalam al-Qur'an tidak mengandung metode politik khusus untuk Islam. Sehingga, bisa dikatakan bahwa politik kenegaraan adalah prodak dari budaya dan bukan intrumen murni Syari'ah Islam.
Dalam masa Baginda Nabi Muhammad S.A.W. nabi tidak mengajarkan sistem khusus dalam politik kenegaraan, akan tetapi nabi hanya mengajarkan nila-nilai dan kode etik Islam sesuai dengan corpus al-Qur'an. Sehingga dalam hal ini, tidak ada alasan bagi para muslim untuk mengatakan pola politik kenegaraannya dengan politik Islam, partai da'wah atau terminologi serupa.
Dalam sejarah Islam dan pola perpolitikan para muslim ada semacam simpul terang untuk mengurai hakikat Islam dan perpolitikan dalam Islam. Tesis pertama adalah Islam tanpa didukung masyarakat, Islam akan tetap exsis karena Islam adalah agama fitrah. Sementara perpolitikan harus senantiasa mendapat dukungan dari masyarakat. Ibarat dua sudut yang saling bersebrangan antara Islam dan perpolitikan dalam Islam. Di sini, ada perbedaan tata nilai Islam dan perpolitikan, sehingga terasa ada kejanggalan jika perpolitikan diatas namakan agama. Karena keduanya beda baik secara sumber hukum atau secara karakteristik atau pun secara pola pembentukan.
Perpolitikan adalah bangunan tersendiri yang harus dijauhkan dari nama agama (Islam) yang suci. Karena hal tersebut akan merusak citra baik agama sebagai petunjuk bagi hamba-Nya. Dalam perjalanan sejarah manusia terlihat sangat jelas perihal bahwa politik jika dileburkan dalam agama atau politik yang memakai jubah agama akan sering merusak reputasi agama. Pendukung sebanyak-banyaknya, tidak berarti harus mengorbankan agama. Masih banyak cara lain untuk sampai pada 'memiliki pendukung sebanyak-banyaknya' dalan aktifitas politik tanpa harus menciderai agama.
Dalam sejarah Gereja terlihat sangat jelas akan rusaknya reputasi Kristen ketika politikisasi terhadap Gereja. Terkesan ada pemerkosaan yang luar biasa jika agama harus dipaksa untuk dipolitikisasi atau agama dipaksa harus dipolitisir. Hal ini sangat jelas sekali jika dilihat dalam perjalanan sejarah Gereja dan perpolitikan Paus, Kardinal-Kardinal dan para Pastur terhadap agama Kristen hingga akhirnya reputasi Kristen jatuh kebawah dan sampai pada titik reputasi rendahan dan menjijikkan. Tentunya, setelah mengingat ilustrasi di atas apakah kita ingin agama Islam yang fitrah mengalami sejarah yang sama dengan Kristen karena perpolitikan muslim yang salah atau klaim terhadap Islam untuk kepentingan politik?
Untuk mengurai pertanyaaan ini tentunya harus mengetahui terlebih dahulu akar justifikasi atau bentuk pengorbanan agama terhadap segala sesuatu yang market table, termasuk politik.
Muara atau akar dari ini semua adalah karena muslim salah dalam membaca sejarah dan salah dalam penyikapan hidup keseharian terutama dalam aktivitas politik. Sangat disayangkan, jika hal ini terjadi secara terus-menerus dan tidak ada pembenahan. Salah besar jika aktivitas politik diatas namakan sebagai agama, atau membawa baju-baju agama untuk kepentingan perpolitikan. Fitrah agama dan fitrah politik adalah berbeda, dan tidak bisa melebur dalam satu kata sepakat. Fitrah agama menitik beratkan pada kejujuran dan ketenangan jiwa sementara fitrah perpolitikan lebih pada bermain di wilayah intrik-intrik kepentingan, membunuh, menghancurkan, berbohong dan penyalah gunaan terminologi bahkan ajaran agama.
Muslim yang masih sering beraktivitas politik dan mengatas namakan agama atau mengacak-acaka agama demi kepentingan politik pada dasarnya mereka sedang mengalami dua pengakit akut kejiwaan yang sering disebut dengan Schizophrenia dan Delusi. Schizoprenia adalah gangguan kejiwaan yang mempengarui otak manusia. Pengidap penyakit ini sering kali membuang sebagian memori masa lalunya. Dalam kehidupan sehari-hari, pengidap hidup dengan imajinasinya sendiri. Tokoh, perwatakan bahkan runtutan jalan kehidupannya, dia habiskan dengan tokoh dan situasi imajinernya. Namun anehnya, tokoh dan situasi itu sangat nyata dihadapan pengidap Schizophrenia. Sederhananya, mereka hidup dalam pikirannya sendiri.
Sedangkan Delusi adalah gangguan kejiwaan yang memberikan sugesti bahwa dia telah mampu mencapai pada kegemilangan. Dari dua penyakit kejiwaan ini, sebagai pendukung kenapa muslim dalam pembacaan sejarah agama dan politik sering salah serta salah jalan dalam tahapan praksis. Pembacaan secara parsial adalah efek dari dua penyakit kejiwaan ini. Hidup dalam emajinasi dan lamunan kejayaan Islam masa lalu, dengan mengatas namakan politik berformulasi Islam adalah pola politik final yang harus diterapkan dalam kenegaraan.
Islamisasi beberapa hukum Persia oleh Imam al-Mawardi tentunya harus menjadi bahan pembelajaran bagi muslim modern saat ini. Tidak perlu kita memaksakan politik dalam agama Islam. Biarkan politik berkembang secara dinamis yang paling penting adalah nilai-nilai yang di ajarkan Rosullullah dan al-Qur'an senantiasa tertancap dalam sanubari hati aktivis politik, bukan formulasi politik yang mengatas namakan Islam dan membahayakan agama Islam.
Sebagaimana Taqiyuddin an-Nabani, Abu Ala al-Maududi, Sir Muhamad Iqbal, Hasan al-Banna dan lain sebagainya menawarkan formulasi perpolitikan dengan mengadopsi pada formulasi Islam masa lalu tapi sampai sekarang masih belum ada hasil yang signifikan. Biarkan Islam menjadi agama yang fitrah dan referensi segala sesuatu akan tetapi tidak perlu mengotori Islam dengan politik yang mengatas namakan Islam. Oleh Imam al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam al-Sulthoniyah di dalamnya ada beberapa adopsi pemikiran politik Persia yang digunakan untuk kelengkapan perpolitikan Islam saat itu. Dan ini terlihat lebih baik dari pada pola perpolitikan yang menggunakan nama agama untuk menarik simpati masyarakat, entah dengan menggunakan istilah-istilah partai da'wah atau aktivitas keagamaan. Biarkan Islam pada koordinat semestinya tanpa harus ditarik ke sana-sini oleh partai atau aktivitas politik yang berkepentingan dan membahayakan agama Islam. []
1 komentar:
apa itu 'nilai-nilai dan kode etik' politik Islam yang paling mendasar menurut Anda?
6 September 2010 pukul 05.58Posting Komentar