KRITIK “Proyek Paradigma Baru Pemikiran Arab” Tayeb Tîzhînî
Oleh: Nur Fadlan
I. Prolog
Sistem konseptual Proyek Paradigma Baru Pemikiran Arab mempunyai batu tapal Renaisans. Renaisans sendiri memiliki beberapa unsur diantaranya adalah; revolusi, gerakan pembebasan nasional dan reformasi. Jika kita berbicara tentang revolusi sosial dan gerakan pembebasan nasional, lapisan-lapisannya serta kategori nasional, tentunya orang-orang akan berbicara tentang kebangkitan sosial yang tampak dalam seluruh bangsa. Dalam hal ini, penunjang Proyek Paradigma Baru Pemikiran Arab adalah struktur internal juga. Jika kita mencoba untuk memonitor komponen struktural dari proyek maka akan sangat tidak asing dengan terminologi: identitas diri, akar sejarah, memori historis, kesadaran penyebab historis, mekanisme degradasi, di samping kesadaran akan kebutuhan dan kondisi dari Renaisans itu sendiri.
Proyek dan isu Renaisans serta Pencerahan, ada hubungan antara Renaisans dan Pencerahan, sehingga tidak bisa dibenarkan proyek kebangkitan kembali menjauh dari masalah pencerahan. Menyadari kesadaran sejarah, bahwa dari realitas kepemilikan dekadensi memerlukan mekanisme tindakan kesadaran. Pencerahan akan benar-benar kehilangan kemampuan untuk menghadapi tantangan; juga tidak dapat berdiri untuk proses kritik diri. Yang memerlukan pengakuan pluralisme budaya di media informasi dalam menegaskan prinsip yang ketergantungan pada "rasional" pengetahuan dan moralitas. Proyek dan masalah intelektual; verifikasi proyek harusnya terkait dengan fakta, bahwa kaum intelektual pada gilirannya, ditugaskan untuk masyarakat sebagai unsur inti dalam komunitas pemegang proyek. Ada sekelompok intelektual yang pendapat mereka bertahan dalam masalah; sosial, lingkungan, budaya dan politik, tentang kebebasan, demokrasi, nasional, pencerahan dan reformasi. Tapi ada berbagai jenis intelektual tidak sesuai dengan proyek verifikasi, ada juga orang-orang yang tidak memiliki etika transparansi dan kesetiaan, mereka mengubah-mengubah keadaan dan diam dalam kehidupan budaya serta lemah dalam kesadaran politik budaya.
II. Biografi
Dr. Tayeb Tîzhînî adalah intelektual Suriah, simpatisan sekaligus pendukung ideologi Marxis. Berdasarkan dialektika historis dalam filsafatnya, ia mencoba membaca Pemikiran Arab sejak pra-Islam sampai era kontemporer. Ia lahir di Homs pada tahun 1934 belajar di Homs sampai selesai Sekolah Dasar. Kemudian ia pergi ke Turki, lalu ke Britania dan ke Jerman untuk menyelesaikan studinya dalam filsafat. Di sana ia mendapatkan gelar doktornya yang pertama dalam filsafat pada tahun 1967. Setelah itu, beliau juga mendapatkan gelar doktor dalam filsafat lagi pada tahun 1973. Dr. Tayeb Tîzhînî mendapatkan predikat Ph.D. dari Jerman, pada tahun 1967 dengan disertasinya yang berjudul: Tamhid fî al-Falsafah al-Arabiyah al-Wasîthah. Dan disertasi itu diterbitkan dalam Bahasa Jerman pada tahun 1972. Kemudian ia mendapat gelar doktor yang kedua lagi dalam ilmu filsafat pada tahun 1973. Pengkristalan dari inti proyek disertasinya dalam filsafat, ia kemudian menerbitkan buku dalam Bahasa Arab yang pertama dengan judul: Masyrû’ Ru’yah Jadîdah li al-Firri al-Arabî. Buku ini berhasil dicetak sampai lima kali hingga tahun 1971.[1]
Setelah itu, Dr. Tayeb Tîzhînî mulai memformulasikan pemikirannya dengan proyeknya yang terdiri dari dua belas bagian. Tipologi pemikiran Dr. Tayeb Tîzhînî dapat kira raba menjadi dua fase. Di fase pertama, ia berhasil menulis Al-Fiqr al-Arabî fî Bawâkîrah wa Âfâqoh al-Ûlâ (1982), Man Yahûhu ilâ Allah (1985), Muqodimât Awaliyah fî al-Islâm al-Muhamadî al-Bâkir (1994). Pada fase yang kedua, ia lebih memilih lokus pada isu Renaisans. Pada dasarnya tujuan Dr. Tayeb Tîzhînî adalah untuk menjawab semua problematika Arab Renaisans, baik dalam memberi corak berfikir untuk individu Arab Renaisans atau pun orang-orang yang dihasilkan dari peradaban Barat. Di fase ini, ia menuangkan pemikirannya dalam Min al-Istisyrâq al-Ghorbî ilâ al-Istigrâb al-Magribî (1996), An-Nas al-Qur’ânî Amâmu Isykâliyah al-Baniyah wa al-Qirâah (1997), Min Tsalâsiyah al-Fasâd ilâ Qodhôyâ al-Mujtama’ al-Madanî (2001).
Tayeb Tîzhînî dikenal sebagai penulis produktif dan revolutif lewat karya-karyanya: 1) Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî fî al-Asri al-Wasîd (1971); 2) Haula Musykilât al-Tsaurah wa al-Tsaqôfah fî al-Âlam al-Tsâlis, al-Watni al-Arabî Namudhaj (1971); 3) Die Matemie Auffassung in der Islamischen Philosophie des Mittelalters (1972); 4) Raujiyah Ghârûdî ba’da al-Samat (1973); 5) Min al-Turâs ilâ al Tsaurah: Haula Nadhariyah Muqtarihah fî al-Turâs al-Arabî (1976); 6) Fîmâ baina al-Falsafah wa al-Turâs (1980); 7) Târîh al-Falsafah al-Qadîm wa al-Wasîtah (1981); 8) Al-Tafkîr al-Ijtimâ’î wa al-Siyâsî: Abhâs fî al-Fiqr al-Arabî al-Hadist wa al-Muâsir (1981); 9) Masyrû’ Ru’yah Jadidah li al-Fiqr al-Arabî mundhu nidâyâh khatta al-Marhalah al-Muâsirah (1982); 10) Al-Fiqr al-Arabî fî Bâkîrihi wa Âfâqihi al-Ûla: Masyrû’ Ru’yah Jadidah li al-Fiqr al-Arabî (1982); 11) Al-Maxisiyah wa al-Turâst al-Arabiyah al-Islamiyah: Munâqosah li A’mâl Husain Murwah wa Tayeb Tîzhînî (1982); 12) Min Yahwihi ilâ Allah: Masyrû’ Ru’yah Jadidah li al-Fiqr al-Arabî (1985); 13) Dirâsât fî al-Fiqr al-Falsafî fî al-Syarqi al-Qadhîm (1988); 14) Ibnu Rusy wa Falsafihi maa Nusûs al-Munâdhirah baina Muhamad Abduh wa Frack Antony (1988); 15) Fî al-Sajâl al-Fikrî al-Râhn: Haula ba’du Qadhâyâ al-Turâs al-Arabî: Manhaj wa Tatbîq (1989); 16) Ala Tarîq al-Wudhûh al-Manhajî: Kitâbât fî al-Falsafah wa al-Fiqr al-Arabî (1989); 17) Fushul fî al-Fiqr al-Siyâsî al-Arabî (1989); 18) Muqadimât Awaliyah fî al-Islam al-Muhamadî al-Bâkir Nasy’ah wa Ta’sîs: Masyrû’ Ru’yah Jadidah li al-Fiqr al-Arabî (1994); 19) Min al-Istisyrâq al-Gharbî ilâ al-Istigrâq al-Magrabî: Bahs fî al-Qirâ’ah al-Jâbiriyah li al-Fiqr al-Arabî wa fi Âfâqihâ al-Târîhkiyah (1996); 20) Al-Nas al-Qur’anî Amâma Isykâliyah al-Baniyah wa al-Qira’ah : Masyrû’ Ru’yah Jadidah li al-Fiqr al-Arabî (1997); 21) Al-Islâm wa Musykilât al-Asri al-Kubrî (1998); 22) Al-Islâm wa al-Asri: Tahadiyât wa Âfâq (1998); 23) Min Tsalâsiyah al-Fasâd ilâ Qadhâyâ al-Mujtama’ al-Madanî (2001); 24) Al-Waqi’ al-Arabî wa Tahadiyât al-Alfiyah al-Tsâlisah (2001); 25) Âfaq Falsafah Arabiyah Mu’âsirah (2001); 26) Dhôhirah al-Nas al-Qur’anî Târîhk wa Mu’âsirah (2002); 27) Min al-Lâhût ilâ al-Falsafah al-Arabiyah al-Wasîtah (2005); 28) Bayân fî al-Nahdhah wa al-Tanwîr al-Arabî (2005); 29) Min al-Turâst ilâ al-Nahdhah (2008). [2]
III. Metodologi Tîzhînî
Dalam buku yang berjudul Alâ Tarîq al-Wudhûh al-Manhajî dapat kita raba metodologi Tîzhînî dan kita kelompokkan dalam dua tipologi. Tipologi yang pertama, Tayeb Tîzhînî menggunakan al-I’tirâf bi al-Ta’didiyah (Pengakuan Pluralisme) di ranah sistemis dan teoritis. Sedangkan tipologi yang kedua adalah al-Dharûriyah al-Maudhûiyah li al-I’timâd ala al-Manhaj al-Tarîkhî al-Jadalî (Pentingnya Tendensius pada Metode Historis Dialektis).
Berkenaan dengan konsep al-I’tirâf bi al-Ta’didiyah, tampak dalam tulisan-tulisan Tîzhînî yang senantiasa membutuhkan reservasi tentang kumpulan sistematis pendapat untuk pendekatan dan proyek-proyek yang ditawarkan. Tentunya formulasi nalar baru yang ditawarkan Tîzhînî merupakan ide alternatif bagi status dominan intelektual Arab. Di sini, Tîzhînî dalam mengenalkan ide alternatifnya selalu mengangkat konsep equal (kesamaan) dalam setiap jalan demokrasi. Dia pun mensyaratkan dialog ilmiah sebagai salah satu tiang dari demokrasi. Tîzhînî dalam beberapa seminarnya pernah mengatakan bahwa kita nyaris, sebelum membawa pada reservasi, diajak untuk mengenali kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kebebasan Demokrasi. Dalam hal ini, Tîzhînî menganggap dialog ilmiah baik secara verbal maupun non verbal adalah unsurnya. Karena menurut dia "kebenaran" tidak dapat diruntuhkan dengan teori atau metodologi yang holistik dan absolut. Karena menurut Tîzhînî ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sosio-psikis dalam melihat obyek; diantaranya, karena situasi intelektual Arab pada khususnya, telah berjalan lama akan tetapi selalu pendek metodologi. Hingga akhirnya terma "benar dan salah", adalah menurut subyektifitas masing-masing tanpa harus jatuh ke dalam perangkap kecenderungan yang palsu. [3]
Sedangkan al-Dharûriyah al-Maudhûiyah li al-I’timâd ala al-Manhaj al-Tarîkhî al-Jadalî di ilustrasikan Tîzhînî dalam dialektika pendekatan. Menurutnya metode ini mampu menembus inti dan permukaan dengan jalan dialog kritis. Tentunya tetap mengacu pada prinsip bahwa pendekatan tersebut belum dilucuti dari sebagian besar kodrat dan komponen-komponennya. Tîzhînî masih mempertahankan substrat kritis utama, yaitu pendekatan yang menitik beratkan pada polemik fisik serta mengedepankan fakta.
Pemikiran Arab oleh Tîzhînî diuji dengan cara identifikasi secara mendalam dan kompleks. Identifikasi ini, adalah cara untuk menemukan patner sejati antara realitas Arab yang didiagnosis dan pendekatan yang lebih kontemporer, tentunya pendekatan ini dapat lebih efektif dalam menyikapi sisi kognitif, ideologis serta obsesi yang lebih tinggi. Di samping itu semua, pendekatan dialektis sejarah senantiasa mewarnai pola nalar Tîzhînî. [4] Metodologi sejarah Tîzhînî senantiasa bembenturkan materialisme, dialektis, elemen struktural dan fungsional. Meski demikian Tîzhînî tetap memeriksa dimensi sosial, politik dan budaya dalam metodologi sejarahnya. [5]
Tîzhînî juga mengabstraksikan pentingnya pendekatan sejarah pemikiran Arab, terutama dalam kaitannya dalam memunculnya teori-teori paradigma baru Arab secara struktural dan fungsional. Terbukti pendekatan sejarah menjadi salah satu kunci kesuksesan Tîzhînî dalam penyusunan Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî. Yang sangat penting dari masalah ini adalah munculnya isu-isu baru di alam ilmu pengetahuan, teknologi dan pembangunan sosial. Hal ini tidak lazim sekedar menerima pandangan dan teori-teori yang berhubungan dengan beberapa konsep. Taruh saja, perumpamaan sederhana, ada "Cokelat, Gambar, Rezim atau Kemajuan". Perumpamaan ini kita larikan dalam dasar pertimbangan yang berkaitan dengan tingkat perkembangan. Bahasa sederhananya, perjalanan konsep-konsep ini terkadang mengabaikan aspek fundamental yang merupakan aspek penting dalam penyusunan rancang bangun konsep-konsep termaksud. Dalam hal ini, saling melengkapi kesatuan dialektis, berarti orang tidak meniadakan unsur pendukung konsep, tentunya setelah terlepas dari prioritas eksistensial (ontologis) dari sejarah. Sehingga pembangunan dan pengembangan konsep-konsep ilmiah sebagai filosofis tergambarkan secara jelas karena aspek-aspek esensial dan sekunder lainnya. Tentunya hal ini sedikit menutup mata makroskopik gerakan situasi yang dapat ditawarkan kepada kita, termasuk kompleksitas. [6]
Dalam kerangka metodologi sejarah, serta hubungannya dengan Pemikiran Arab dan Pemikiran Yunani, tentunya harus melihat Arab-Islam yang dianggap sebagai bagian dari sejarah pemikiran manusia, tentunya memiliki karakteristik sendiri. Sehingga Pemikiran Arab tidak boleh dipahami sebagai perluasan dari pemikiran Yunani. Ketika mencoba untuk mempelajari fisik pemikiran filsuf Islam Arab pada Abad Pertengahan dan hubungannya dengan Filsuf Yunani tentunya sedikit atau banyak perjalanan ini, melibatkan Arab-Islam. Bisa dilihat pada kerangka metodologi yang tidak mengganggu adaptasi pada mereka karena sejarah pemikiran Arab melalui perspektif baru dalam baris pertama menekankan kesatuan sejarah manusia dan proses pertumbuhan diri. Pada dasarnya metodologi ilmiah kontemporer mampu mewakili sejarah dalam memahami yang lebih dalam serta lebih kaya dan lebih akurat dari pada metodologi yang sebelumnya. [7]
Metodologi mengenai hubungan antara filsafat dan agama, Tîzhînî menganggap bahwa ia tidak mengecualikan agama, akan tetapi melihatnya sebagai perbedaan. Akan tetapi antara keduanya ada rasa hormat satu sama lain. Di sini, Tîzhînî menyoroti dua hal, pertama adalah kebutuhan untuk mengenali kekhasan sistematis pembedaan antara filsafat dan agama dan setiap jalan harus dihormati oleh keduanya secara bersama. Sementara yang kedua, adalah menyatakan dirinya dengan formula khusus berdasarkan salah satu dari mereka untuk tidak ikut campur dalam mekanisme dan jalur lainnya. Saling menghormati, kesetaraan dan toleransi yang mendalam serta kompetitif dalam hubungan antara dua pihak yang disebutkan, pola dari setiap teori, budaya dan ideologi dalam realitas Arab kontemporer, serta kecenderungan renaisans progresif adalah jawaban atas cita-cita masyarakat yang produktif. [8]
IV. Proyek Paradigma Baru Pemikiran Arab
Pemikiran filosofis Tîzhînî merupakan gagasan dasar yang dapat dikatakan baik, karena mampu mewakili ide sentral Paradigma Arab. Tîzhînî sedang mencoba berbagai cara untuk membuktikan Pemikiran Arab (termasuk pra-Islam) sebagai bagian dari sejarah perkembangan pemikiran manusia dalam pengertian umum. Tentunya hal ini, memerlukan dua konsekuensi. Pertama, pemikiran Arab adalah bahan dialektika meskipun Pemikiran Arab telah berevolusi dan berkembang di bawah peradaban Islam. Yang kedua, Pemikiran Arab tidak dapat menerima gagasan bahwa kecenderungan Eropa-sentris dari Pemikiran Arab (Islam) menggiringnya pada pemikiran Yunani kuno. Muncul ide sentralisasi sangat jelas dari sejarah Pemikiran Arab. Pemikiran fase Abad Pertengahan membagi pemikiran manusia menjadi pemikiran tua dan modern. Seperti dapat dilihat juga dalam analisis Pemikiran Arab fase awal Arab. Di sana sudah tampak corak berfikir yang mewarnai sisi-sisi sosial, ekonomi serta politik baik sebelum dan sesudah Islam.
Pandangan Tîzhînî tentang posisi Pemikiran Kontemporer Arab adalah dari campur tangan pemikiran Barat. Di dalam kasus ini, Tîzhînî menganggap kembalinya Pemikiran Arab sebagai bagian dari evolusi pikiran manusia. Tentunya cara untuk keluar dari pemikiran konvensional hanya dengan membaca kembali Pemikiran Arab sebagai bagian dari sejarah manusia. Dengan demikian akan terjadi pembacaan kembali sejarah Pemikiran Arab sebagai dorongan lebih lanjut terhadap dimulainya kembali Pemikiran Arab sebagai bagian dari evolusi pikiran manusia.
Dengan latar belakang di atas proyek filosofis Tîzhînî mulai mencapai pada ranah rancang bangun pembaharuan Pemikiran Arab. Dalam hal ini, Tîzhînî membaca kembali Pemikiran Arab, mulai dari sejarahnya dalam kontek politik, ekonomi serta sosial. Disinilah Tîzhînî mulai membuat kurikulumnya yang menilik pada bahan dialektika. Awal proyek ini, bermula dari disertasi doktoralnya yang diperoleh dari Jerman, Tamhid fî al-Falsafah al-Arabiyah al-Wasîthah. Ternyata karya ini menjadi great ide dalam penyusunan pemikiran filosofis Tîzhînî. Hingga akhirnya pemikirannya terformulasikan dalam Masyrû’ Ru’yah Jadîdah li al-Firri al-Arabî dengan karakteristik "visi baru" yang dihasilkan dari kenyataan. Fase ini, oleh Tîzhînî adalah usaha pertama untuk membaca Pemikiran Arab yang merupakan bagian dari sejarah serta sebagai bagian dari sejarah manusia.
Tîzhînî telah menyelesaikan enam bagian dari proyek ini sebelum berubah menjadi fokus pada isu Renaisans. Fokus dari fase kedua dalam pemikiran Tîzhînî yang dimulai sekitar tahun 1997, hanya untuk memenuhi tiga isu utama dan menjawabnya. Karena menurut Tîzhînî isu-isu itu adalah rintangan untuk mencapai Renaissance. Adapun perihal isu tersebut adalah; Pertama, tentang non-struktural berpikir dan penilaian historis Arab adalah sejarah pimikiran. Analisa Tîzhînî isu ini menyebar dan memunculkan stigma baru untuk meninggalkan pemikiran Renaisans. Kedua, dalam hal membaca dan memahami pemikiran keagamaan. Tîzhînî melihatnya dalam membaca teks al-Qur’an. Membaca dialektika historis dalan al-Qur’an, di sini Tîzhînî membangun persepsi Renaisans. Isu ketiga, adalah pertanyaan tentang realitas rekonstruksi dalam politik, sosial atau budaya oleh Peradaban Barat.
Dapat dibagi pemikiran filosofis Tîzhînî sebagai berikut; yang bertujuan untuk mencapai gagasan penting bagi konseptualisasi dan praktis. Pada tingkat teoritis, dibagi menjadi ide pikirannya pada pendekatan filosofis yang didasarkan pada dialektika materialisme dan persepsi dari antologi alam dan eksistensi. Kemudian pemikiran Tîzhînî menganalisis sejarah pemikiran Arab dan hubungan antara ideologi dan agama Islam. Pada tingkat praktis pemikiran Tîzhînî dibagi menjadi gagasan konsepsi filosofis tentang bagaimana untuk menangani kondisi teks al-Qur’an yang konsisten dengan materialisme dialektika pemahaman serta persepsi masyarakat mengenai kondisi untuk mencapai Renaissance, dan pandangan-pandangannya mengenai hubungan antara masyarakat Arab dan imperialisme dunia.
V. Kritik Proyek Paradigma Baru Pemikiran Arab
Tahun 1967 Tîzhînî memulai babak baru dengan disertasinya Tamhid fî al-Falsafah al-Arabiyah al-Wasîthah dan disertasi itu diterbitkan dalam Bahasa Jerman pada tahun 1972. Pengendapan lebih lanjut dari batu tapal disertasi membuat Tîzhînî semakin berani dalam menyusun rancang bangun pemikiran dalam filsafat. Hingga akhirnya terbitlah bukunya dalam Bahasa Arab Masyrû’ Ru’yah Jadîdah li al-Firri al-Arabî. Buku ini berhasil dicetak sampai lima kali hingga tahun 1971. Kemudian Tîzhînî mulai proyek besarnya yang terdiri dari dua belas bagian. Di sini corak emikiran Tîzhînî dapat kita sederhaanakan menjadi dua fase. Di fase pertama, ia berhasil menulis Al-Fiqr al-Arabî fî Bawâkîrah wa Âfâqoh al-Ûlâ (1982), Man Yahûhu ilâ Allah (1985), Muqodimât Awaliyah fî al-Islâm al-Muhamadî al-Bâkir (1994). Pada fase yang kedua, ia lebih memilih lokus pada isu Renaisans. Pada dasarnya tujuan Tîzhînî adalah untuk menjawab semua problematika Arab Renaisans, baik dalam memberi corak berfikir untuk individu Arab Renaisans atau pun orang-orang yang dihasilkan dari peradaban Barat. Di fase ini, ia menuangkan pemikirannya dalam Min al-Istisyrâq al-Ghorbî ilâ al-Istigrâb al-Magribî (1996), An-Nas al-Qur’ânî Amâmu Isykâliyah al-Baniyah wa al-Qirâah (1997), Min Tsalâsiyah al-Fasâd ilâ Qodhôyâ al-Mujtama’ al-Madanî (2001).
Dari perjalanan intelektual Tîzhînî di atas dapat dikatakan bahwa ada transformasi fundamental penting dalam rancang bangun Tîzhînî. Satu sisi Tîzhînî tetap konsisten dalam menjaga ideologi Marxis sebagai pemikiran filosofis sedangkan satu sisi lainnya beliau di fase yang kedua, lokus inti dari pembidikan pola nalarnya lebih memilih pada isu Renaisans. Tentunya ada beberapa tanggapan perihal keadaan fokus yang kurang mapan dalam pemikiran Tîzhînî. Tanggapan ini diantaranya; pertama, adalah ditinggalkannya Marxis tradisional. Tampak dalam perjalanan Tîzhînî bahwa proses transformasi sosial yang didasarkan pada perjuangan kelas dan menggantinya pada spektrum yang luas dari masyarakat secara keseluruhan. Yang kedua, untuk menggantikan penafian pemikiran keagamaan Islam dari proses transformasi masyarakat, yang merupakan bagian dasar dari pemikiran Marxis, lewat jalan memahami pengalaman religius iman dari dalam dan dampaknya terhadap penyelesaian transformasi sosial.
Di sisi lainnya, Tîzhînî juga mengabstraksikan pentingnya pendekatan sejarah pemikiran Arab, terutama dalam kaitannya dalam memunculnya teori-teori paradigma baru Arab secara struktural dan fungsional. Terbukti pendekatan sejarah menjadi salah satu kunci kesuksesan Tîzhînî dalam penyusunan Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî. Di sini, Tîzhînî dalam proses membentukan dan pengembangan teori, hipotesa serta konsep ilmiah tidak mendapat respon baik dari masyarakat. Akurasi ilmiah dari rasionalisasi pembangunan teori-teori dan asumsi, hanya terbatas pada pernyataan dan konsep. Proses pembentukan dan pengembangan yang seharusnya sebagai tanggapan terhadap prinsip ilmiah, tentunya sebagai upaya untuk melengkapi dan memperdalam pemikiran Tîzhînî melalui pertimbangan pilar ilmiah. Dengan kata lain, logika harus dilihat dan dipraktekkan dalam sejarah. Karena pada dasarnya sejarah kawasan adalah dialektika logis dari konsep yang lebih akurat dan lebih komprehensif. Tentunya sambil memandang kesatuan yang mendalam dalam sejarah itu sendiri.
Dapat diklasifikasikan pemikiran filosofis Tîzhînî sebagai berikut; yang bertujuan untuk mencapai gagasan penting bagi konseptualisasi dan praktis. Pada tingkat teoritis, dibagi menjadi ide pikirannya pada pendekatan filosofis yang didasarkan pada dialektika materialisme dan persepsi dari antologi alam dan eksistensi. Kemudian pemikiran Tîzhînî menganalisis sejarah pemikiran Arab dan hubungan antara ideologi dan agama Islam. Pada tingkat praktis pemikiran Tîzhînî dibagi menjadi gagasan konsepsi filosofis tentang bagaimana untuk menangani kondisi teks al-Qur’an yang konsisten dengan materialisme dialektika pemahaman serta persepsi masyarakat mengenai kondisi untuk mencapai Renaissans, dan pandangan-pandangannya mengenai hubungan antara masyarakat Arab dan imperialisme dunia. Lebih lanjut tentang pemikiran filosofis Tîzhînî dan kritikannya sebagai berikut:
Rekonstruksi Proyek Paradigma Baru Pemikiran Arab
A. Tentang Persepsi Alam dan Kehadiran
Persepsi Tîzhînî dalam al-Thabî’ah wa al-Wujûd adalah untuk menetapkan Pemikiran Arab dalam evolusi pemikiran manusia. Pada dasarnya pikiran ini sebenarnya bibawa oleh Pemikiran Islam. Tîzhînî membuat sebuah upaya untuk menciptakan teori besar dialektis untuk menjaga eksistensi konsepsi kehadiran "virtual" bagi kedua belah pihak, pada saat yang sama Tîzhînî juga memberi waktu untuk menganalisis bahan pikiran dalam teori yang terlegitimasi. Oleh karena itu, Tîzhînî memulai tinjauan terhadap visi intelektual kedua dialektika berpikir, dan tampaknya di sini "Islam" dalam bentuk abstrak "ideal". Sejarah pemikiran teoritis memiliki karakter yang berbeda sendiri. Ciri khas dari pola pemikiran teoritis adalah tidak konsisten dengan yang lain dan lebih mendalam dan lebih jelas. Tren ini adalah materi dan ideal. Pola ini, telah melewati sejarahnya sendiri, dan masih berjalan dan mengikuti kehadiran dalam perjalanan sejarah. Hal ini dilakukan, bukan dalam artian mereka untuk menempatkan diri dengan tujuan-tujuan panjang atau dekat dengan suku metafisik "teleologic". Pengenalan pandangan ini tidak konsisten sama sekali dengan makroskopik fakta sejarah, namun berdasarkan pada agama yang didasarkan pada proses penciptaan sejarah dan dunia pada umumnya.
Dari pihak lain, harus menyoroti fakta bahwa proses perkembangan intelektual ini, yang dicirikan oleh pembentukan dua-arah tentunya tidak mengambil kursus yang netral. Materialisme dan idealisme tidak jauh dari satu sama lain. Penulis telah memastikan diri dalam meletakkan aturan itu dari pada melalui perkembangan yang harmonis dan cepat. Akan tetapi perdebatan dan bermusuhan adalah apa yang membedakan dalam terminologi evolusi. Tentunya hal ini didasarkan pada manfaat dari kasus yang konsisten dengan kecenderungan diri dan sangat penting untuk ranah filosofis. Sehingga bisa dikatakan bahwa, kecenderungan inilah yang memiliki evolusi hukum sendiri. Tentu saja, kita, dengan mempertimbangkan metodologi visi ini isi prosedur dari sejarah pemikiran manusia dalam teori, akan memahami sejarah ini sebagai sejarah bipolar yang tumbuh dan berkembang berdasarkan data efektivitas teori dan praktek pembangunan sosial manusia. Bipolar tidak berarti satu-satunya yang menikmati kehadiran dalam otak manusia, tapi ke pihak mereka dan di sekitar elemen ada, "agunan". Namun, "polaritas" dan "sisi" unsur-unsur yang tidak terlepaskan, akan tetapi ada timbal balik yang erat antara keduanya, itu adalah kontroversial alam, dalam arti bahwa unsur-unsur di samping masih melakukan proses setelah jatuh tempo.
Masalah ini adalah masalah hubungan erat dengan kontroversial dan antara sisi polar dan unsur-unsur yang dibuktikan oleh fakta. Tetapi ini tidak berarti mereka mengerti hanya dalam hal sebagai produk dari evolusi, karena elemen samping bertentangan, tidak jelas dan relatif kehadiran sepenuhnya ini dan jatuh kembali karena didasarkan pada hubungan dan eksistensial (ontologis). Bipolar sangat mendalam dengan corak pemikiran ini, dan pemikiran ini dalam hal konten "tendensius" sangatlah penting. Karena satu sama lain memiliki agnostisisme, lokasi material dan ideal. Namun, dalam kenyataannya, hanya pertumbuhan pemikiran filosofis yang ideal. Dan penampilan sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya dari material dan ideal. Tentunya yang membentuk dua sisi yang berbeda, tidak akan menyembunyikan apa yang ada dalam pemikiran ini yang didasarkan pada hubungan internal yang ideal. [9]
Dalam menetapkan Tîzhînî dari sifat dialektika hubungan antara kedua belah pihak dan pembenaran untuk tampil independen dalam Arab-Islam dengan memunculkan gagasan pemikiran mitos sebagai titik awal dan kemudian menggabungkan kedua pihak untuk mengembangkan hubungan dialektis antara keduanya, tentunya kita harus memeriksa unsur-unsur penting, asal sejarah primer. Menurut penulis, hal itu harus didasarkan pada hubungan utama antara primitif "material" dan "ideal". Ini adalah asosiasi yang mengambil bentuk dan sifat dari mitos. Pada awalnya, kita menemukan benih awal yang relatif. Namun, perlu kita menekankan di sini bahwa pembicaraan yang terjadi di sekitar benih pertama dari bahan embrionik dalam teori ideal di persimpangan bersejarah primitif. Akan tetapi keberadaan minimal berpikir "teoritis" adalah faktor penentu dalam proses transisi atau pemisahan akhir seorang manusia dari dunia hewan yang menunggu reaktifitas dan efektivitas objek yang diperoleh secara sosial. Kemudian mengkristal dalam pembuatan dan penggunaan alat-alat kerja dalam penciptaan. Di sinilah sarana untuk memahami komposisi bahasa apapun. Dalam kerangka sempit ini, batas yang diperlukan atau mengukur efektivitas "teoretis" manusia primitif, hanya dengan komponen fisik (yang sebenarnya) dan elemen ideal (metafisik).
Kedua elemen tersebut mengidentifikasi melalui visi dialektika hubungan primitif mekanisme atas dasar bahwa hubungan ini ada untuk menjadi dan berubah, kecenderungan ini terjadi dari proses transformasi yang didasarkan pada bentuk hukum dan pertumbuhan "biasa" komponen material dari pihak pertama dan mengesampingkan item ideal dari pihak lain. Tîzhînî mencoba mengembangkan keefektifan praktis dari manusia, dalam setiap tindakan dan landasan munculnya mitos. [10] Di sinilah saat yang sama untuk pembubaran komponen fisik (nyata) dan elemen ideal. Setelah pendirian hubungan dialektis "konflik" antara aspek ideal dan materi, penulis memperkirakan dimulai pemikiran Tîzhînî untuk membangun hubungan ini. Sehingga kerancuan dalam rumusan dialektika materialisme di mana membaca pemikiran Arab-Islam untuk membenarkan adanya "kualitatif titik balik" dari Arab dan pemikiran Islam sebagai bagian dari sejarah pemikiran.
Tampak dari sini, Tîzhînî tidak bercita-cita untuk menunjukkan generasi baru filsafat modern dan kontemporer. Akan tetapi ia lebih memfokuskan seputar penemuan dan kualitatif erosi dan menampilkan aspek-aspek baru dalam perkembangan pemikiran filosofis Arab dan filsuf Islam. Hampir dari abad ke dua sampai abad kedelapan, khususnya yang berkaitan dengan orientasi fisik dalam sistem filsafat mereka tarnyata telah mencapai usaha untuk mendapatkan kepastian bahwa kesinambungan dalam teori evolusi tidak menyangkal seluruh manusia. pendekatan kontinuitas dalam teori evolusi pada kesatuan dialektis relatif cukup mendalam, tentunya tidak dapat dipahami secara terpisah dari sejarah filsafat. Hasil penelitian di bidang teoritis dan empiris dan sosio-politik dan pembangunan ekonomi sejauh ini hanya sedikit, cukup memberikan bahan bukti yang jelas dan dengan kejaluran dalam sejarah pemikiran teoritis ke berbagai bangsa, termasuk Arab-Islam. [11]
B. Oposisi atas Stigma Eropa Sentris
Tîzhînî bergantung pada posisi, yaitu menempatkan Pemikiran Arab sebagai bagian dari evolusi pikiran manusia. Tentunya setelah terma itu ada tindak lanjut tesis yang perlu kita imani yaitu Pemikiran Arab memiliki ciri khas dan privasi untuk memperkuat penolakan diri gagasan Eropa. Sekarang, penulis mencoba memahami pedoman dasar intelektual dan sejarah budaya manusia, studi dan penyelidikan Pemikiran Arabic. Argumentasi Islam di bidang ini adalah bentuk intelektual yang sangat penting. Fakta sejarah jelas bertentangan dengan pandangan dan pendapat tentang sejarah pemikiran manusia Tîzhînî.
Di garis depan pandangan-pandangan ini menempati teori Pemikiran Eropa. Pemikiran manusia memahami sejarah intelektual umat manusia (dan peradaban secara umum) dari Yunani kuno. Tampak melalui kebangkitan Renaissans dan Pencerahan yang dianggap sebagai kebangkitan yang sesungguhnya. Karena kebangkitan inilah yang menghantarkan sampai pada era modern dan kontemporer. Visi dari proses sejarah pemikiran manusia dapat diidentifikasi sebagai; 1). Rasisme, Reaksioner dan 2). Katakan untuk anti-historis makroskopik. [12]
C. Persepsi Tîzhînî dengan Pemikir Turast
Melalui konsep-konsep teoritis Tîzhînî telah membentuk dasar teori yang bisa bersentuhan dengan Pemikiran Arab-Islam. Pembangunan Pemikiran Arab-Islam adalah bagian dari sejarah pemikiran manusia dalam menerima kesepakatan sejarah. Tentunya dapat ditempatkan dalam konteks materi dengan sisi kontroversial. Berdasarkan dasar-dasar teoritis ini Tîzhînî menempatkan analisis yang ekstensif dialektik. Sosoknya seolah-olah berhubungan baik dengan Pemikir Arab-Islam turast karena Tîzhînî melihat Pemikiran Arab kontemporer tidak memberikan perlakuan ilmiah (dialektika historis) terhadap Pemikiran Arab lama. Pada kenyataannya, kegagalan dari banyak peneliti orientalis dan Arab dalam eksplorasi dan pengembangan serta memperdalam sudut pandang ilmiah pada era Arab bersatu, intelektual Islamlah mediator terpenting dalam dinamisasi pola Pemikiran Arab. Dalam analisis penulis objektivitas, kebebasan intelektual, realitas sosial adalah turut serta dalam mewarnai corak pemikiran Arab Islam. Pikiran itu sendiri tidak hanya mencakup kemerdekaan gerak relatif realitas sosial fisik, tapi juga erat Antologi (eksistensial) terhadap fakta. Dengan demikian untuk menjawab pertanyaan era intelektual hanyalah dengan cara identifikasi, tentunya hal itu dilakukan untuk mengungkap sejarah dan sosial.
Tîzhînî mengatakan bahwa kerangka berfikir telah terciptakan, secara tidak langsung kemungkinan muncul dan pengembangnya Pemikiran Arab-Islam bukan berarti dianggap urgen. Yang lebih ditekankan adalah transformasi dari potensi ini lah yang dianggap perlu karena produk dari logika internal dan struktur khusus pikiran manusia, sejak peradaban klasik (pra-Islam), Islam dan kontemporer. [13]
Selain kritik terhadap pandangan Tîzhînî, reformis Islam tidak bergantung pada metode historis dalam mengkritik intelektual sekuler. Karena pada dasarnya alasan yang tidak hanya mengandalkan pada metode sejarah, cukup dengan mengandalkan penalaran abstrak mengenai realitas tidak terlalu signifikan dalam menolak terma Arab bukan warisan Islam. Karena pada dasarnya stigma Arab warisan dari Islam adalah kesalahan dalam membaca. Ada kecenderungan intelektual modernis yang terkesan inovatif. Tren ini, oleh Salâmah Mûsâ mencoba untuk mengatasi warisan Arab yang komprehensif. [14] Pada kenyataannya, kita dapat menyelidiki kekurangan ini dalam pemahaman ilmiah historis yang akurat, oleh Salâmah Mûsâ yang telah dipengaruhi oleh dua alasan; warisan intelektual dan peradaban secara umum, menjadikan distorsi yang mengerikan, sehingga dalam menyoroti aspek negatif metafisik dan anti-ilmiah hendaknya menyoroti kemajuan dan sosial primitif dahulu. Alasan kedua adalah tidak diinternalisasi fakta bahwa pendekatan materialis historis adalah sumber kontroversial.
Tîzhînî memahami budaya dan revolusi intelektual adalah sebagai warisan holistik yang ditolak sosial, sehingga perlu dibentuk formulasi baru. Konsep penyangkalan dialektis adalah penolakan pemahaman sebelum pandangan ini ditolak tanpa kontroversi dan tanpa pemulihan. [15] Untuk menghindari kesalahan ini, Tîzhînî menganjurkan untuk membaca warisan budaya yang tujuan untuk kemanusiaan non-mekanis, yaitu tidak dangkal dan menentang semua persepsi Barat. Nenek moyang kita meninggalkan sebuah warisan budaya raksasa. Namun, meskipun demikian, kita tidak akan ilmiah dan jujur dengan warisan itu, jika kita kembali ke struktur mekanik. Kemanusiaan adalah seni modern dan kontemporer yang telah ditemukan fakta-fakta dan keistimewaan yang sangat besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan hubungan sosial. apakah kita punya hak untuk menolak fakta ini. Tidak dapat disangkal ketika duduk dengan orang-orang fanatik etnis Eropa, yang mendustakan prestasi Islam di Abad Pertengahan. Padahal peradaban manusia merupakan dialektika yang mendalam yaitu tidak bisa maju atau berkembang tanpa idealis dalam pengertian filosofis. [16]
Setelah sebelumnya kritik skenario, baik dalam pemikiran Arab kontemporer, memikirkan orientalis, pemikiran Barat modern, Tîzhînî mulai meletakkan sudut pandang dari segi pembacaan yang benar atas warisan. Tentunya harus melewati beberapa syarat; pertama, untuk menekankan pentingnya faktor-faktor ekonomi dalam membaca warisan Arab tanpa harus jatuh ke dalam perangkap ekonomi "mekanik", yang memberi peran penting dari faktor-faktor ekonomi dan hanya dalam proses pertumbuhan sosial manusia. Untuk mencari pertumbuhan "pikir" dalam pikiran itu sendiri ada kemungkinan diciptakan oleh aspek-aspek sosial, ekonomi, politik dan teknis. Penulis membahas masalah ini, hanya untuk menekankan metodologi yang sebenarnya mampu mengangkat isu tentang "Heritage" Arab Islam sebagai imbalan atas hak-hak dan warisan aspek positif yang cerah karena diambil oleh mentalitas feodal. Tidak tampak dalam bidang sejarah, posisi pikiran borjuis senantiasa berpola feodal dan selektivitif. Penekanan ini didasarkan pada kenyataan bahwa metodologi sejarah ideologi autism pada ilmu pengetahuan dapat mengubahnya menjadi metodologi ilmiah. [17]
Syarat kedua untuk mempertimbangkan munculnya Islam di masyarakat Arab adalah "gerakan" tunduk pada semua kondisi sosial dari setiap gerakan sosial. Ini jelas memerlukan studi tentang kondisi sosial sebelum munculnya Islam untuk menarik kondisi dan motif ekonomi, sosial dan politik yang menyebabkan munculnya gerakan ini. Etika menurut Tîzhînî menggolongkan tahap penelitiannya ke dalam "pra-Islam" dan "luar". [18] Tentunya terkesan "Islam" ideologi religius. Padahal gerakan sosial telah membawa konsekuensi dengan mendalam. Dalam hal ini, tentunya tidak akan mampu mengakomodasi tahap kedua karena isolasi tahap pertama.
Tîzhînî menganalisis kondisi sosial yang mengarah pada munculnya "gerakan" ini dan bergantung pada pemikiran Marxis klasik. Dari analisis yang didasarkan pada dialektika tuan dan budak, memiliki dampak dari pertikaian tentang transformasi ekonomi dalam masyarakat. Atas dasar seperti asosiasi dokumen, bersyarat dan kehadiran dalam sebuah cara objektif antara hamba-hamba (budak) dan kaum awam bebas yang terbentuk dan kristalisasi yang menjadi motivasi sosial untuk pergerakan selanjutnya. [19] Hal ini juga tergantung pada analisis ekonomi dari komunitas. Karena dampak munculnya riba berbasis modal dalam komunitas, maka ketika Islam muncul kemudian menjadi jalan keluar dari pergeseran dramatis ini dalam masyarakat. Dalam hal ini, Tîzhînî juga membentuk gerakan Islam dalam periode waktu adalah modal komersial, berbasis minat derajat berdiri tinggi, dengan demikian meningkatkan eksploitasi budak dan rakyat jelata. Eksploitasi ini telah mencapai jalan, salah satu anggota suku sebelum suku-suku lain sama kaya. Jalan keluar secara spontan dan diperlukan bagi budak publik dan rakyat jelata adalah investor, terutama di Mekah dan Madinah. Tentunya sebuah demonstrasi dari proyek ambisius sejarah sosial untuk menciptakan orang-orang yang bersatu dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan jauh dari perang Genosida di antara berbagai suku, muncul Gerakan Islam di abad ketujuh. [20]
Menurut Tîzhînî menganalisis pembangunan sosial dan ekonomi dari suku-suku Arab adalah untuk menerima pesan Muhammadiyah. Di sini, perdebatan jelas menunjukkan faktor fisik (ekonomi, sosial) dan faktor-faktor yang ideal (agama). Sedangkan Muslim dan non-Muslim, situasi di Mekah dan kota-kota Arab lainnya sebelum awal gerakan Islam hanya siap untuk menerima "penyelamatan" dari orang-orang baru karena penderitaan sosial. Suku Arab dalam melawan ilusi penyembahan berhala. Kemudian memasuki kehidupan Kristen. Selain itu digambarkan secara historis terdiri atas harapan dan ambisi dalam munculnya saingan antar suku. Tapi lebih dari itu, jika ada harapan dan ambisi yang sebenarnya, mereka adalah bukti kesaksian yang jelas kepada situasi ketegangan sosial, ekonomi, politik dan intelektual Arab lainnya, Mekah dan kota-kota di awal abad ketujuh. Ketegangan ini yang menyebabkan adanya faktor-faktor untuk tumbuh dan kristalisasi gerakan Islam yang memainkan peran utama untuk berubah dan mengubah struktur sosial dan nilai ekonomi pra-Islam masyarakat Arab. [21]
D. Islam dan Analisa Sosial
Tîzhînî memiliki analisis yang tajam dan dialektis antara yang ideal (Islam) dan fisik (hubungan materi). Tentunya untuk menekankan legitimasi dari kedua belah pihak dan dampaknya terhadap peristiwa evolusi, Tîzhînî membua analisis awal tentang bagaimana alam ini muncul delam perdebatan historis. Sisi fisik mengarah pada munculnya ideal, serta ideal menyebabkan pembayaran aspek fisik. Tîzhînî sangat tajam dalam argumen untuk menghindari jatuh ke dalam metafisik-metafisika. Perubahan-perubahan sosial, meskipun dapat dijelaskan sepenuhnya oleh faktor-faktor materialisme-dialektik tetap harus menggambarkan esensi dari analisis dialektika, hubungan antara sosial Islam sebagai fenomena, agama dan faktor-faktor sosial yang menyertainya. Gerakan Islam telah memberikan jalan keluar melalui pemahaman tentang "keterasingan dari dunia fisik" dan telah mencapai kebebasan kepada masyarakat umum dan budak, tetapi pada saat yang sama mungkin tidak ada atribut pergeseran dari faktor-faktor yang luar biasa. Gerakan Islam juga telah menyeberangi periode ini, eksistensi penderitaan yang intens bersama masyarakyat hendaknya bebas. Ini adalah ekspresi yang menempati keterasingan dari dunia fisik (alam dan sosial). Yaitu tempat yang sentral, bukan berarti tidak pernah menyangkal hasil praktis yang langsung dan positif. Hal ini, tercermin dalam kehidupan yang tidak memiliki lahan, tetapi menyangkal adanya hubungan langsung antara mereka dan tata sosial, politik dan ekonomi yang berada di belakang pembentukan dan evolusi. Semua itu, terjadi karena transformasi luar biasa yang telah terjadi di masa pra-Islam, di sini masyarakat Arab dibangun oleh faktor supranatural dan paradoks. Sehingga terkesan kehilangan integritas sejarah.
Dan itu sangat penting bahwa tidak ada peneliti yang serius dapat menyelidiki dan mengungkap sejarah, karena hal ini, terletak di labirin substantif idealisme filosofis, atau dalam konsep labirin metafisika. Tetapi jika tidak terkendali untuk menyerah dengan tangan peneliti historis nyata dalam sejarah agama maka peradaban akan terhampiri masalah. Gerakan Islam, seperti gerakan keagamaan lainnya, tentu saja dalam kerangka kualitas istimewa, polaritas antara yang dikaitkan dengan hasil yang mendalam di bidang sosial sebagai praktis dan menyebabkan masyarakat dan alam serta manusia semakin berkembang. Polarisasi ini adalah sesuatu yang alami, akan tetapi setelah munculnya filsafat ideal substansi (bahwa ada kesadaran dari pikiran manusia tidak bersatu dan menggerakkan dunia material) oleh Plato. [22] Tidak diragukan lagi perlu untuk mengikuti sejarah struktur sosial dan intelektual serta keagamaan. Yaitu, untuk menekankan bahwa struktur tersebut ditemukan sebagai hasil pengembangan yang bersejarah, seperti karena diperlukan untuk menegaskan persepsi polisi agama yang mencoba untuk memasukkan dirinya dari sejarah yang perlu didiagnosis. Melalui kesenjangan antara apa yang orang pikirkan dan apa yang dilakukannya. Dalam konteks ini, positif terletak -substansial- dalam praktiknya hendaknya dicapai dengan pengenalan salah satu persepsi. Persepsi sendiri, tentunya jalan beraspal akan menjadi tidak relevan pada saat sejarah memiliki dimensi yang berbeda. Seperti yang dialami oleh makroskopik. [23]
Dalam pengejaran yang ideal dan bahan dialektika, Tîzhînî menganalisis sifat pikiran ideal Islam dan menunjukkan aspek-aspek positif yang telah membawa perubahan besar dalam masyarakat pagan. Penyediaan sekuler dan progresif yang menjadi ciri Islam serta menganalisis dan membandingkan Kristen dan Yahudi. Dengan munculnya Islam hingga mengkristal dan menemukan awal dari sebuah kehidupan intelektual telah diambil untuk membentuk "pembaharuan" Islam. Sejarah progresif ini telah muncul dan jelas bertentangan dengan agama Kristen dan Yahudi. Di sini kita melihat bahwa Islam menunjukkan kepada kita cara pandang yang inovatif. Jika hubungan antara manusia dan Allah dengan ide trinitas di gereja Kristen, berdasarkan ontologi tertentu antara Allah dan manusia, juga sebaliknya Kristian memperoleh rumus berikut ini; Bapa, Anak dan Roh Kudus. Berdasarkan hubungan ini kita melihat bahwa tidak ada kesenjangan yang mencerminkan antara manusia dan Allah. Man (yaitu Yesus) adalah bagian dari Allah. Menurut padadigma Kristian. Beda halnya dengan perintah dalam Islam. Di dalam Islam tidak berisi lebih dari satu kesenjangan antara Allah dan manusia. Di sini penciptaan manusia tidak sama (yaitu Tuhan) dan tidak substansi, tetapi tidak absolut negatif. Al-Qur’an menegaskan: “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” [24]
Pada kenyataannya bahwa kesenjangan para filsuf dan mistikus dalam konteks negara Islam Arab adalah perjuangan untuk memanusiakan hubungan antara Allah dan manusia yang menyoroti manusia sebagai upaya efektif dalam dunia fisik. Akan tetapi di dunia yang lain tetap ada. Itulah alasan mengapa filosofi "panteisme" dan "teori fluks," telah mengambil tempat terhormat dalam kehidupan intelektual negara. Untuk naik ke hadapan Allah, manusia dapat meningkatkan kekristenan. Dalam sufi Islam Arab telah muncul bahwa konsep derajat dalam tingkat tertentu. Sikap ini tentunya membuat, teori intelektual Kristen dan Islam duduk bertentangan dengan praktik hak asasi manusia Kristen dan Muslim. Dalam prakteknya Kristen menyoroti hubungan negatif antara Allah dan penderitaan manusia yang negatif. Ini aneh untuk dunia fisik yang nyata. Namun terlihat bahwa penekanan pada "individu" dalam kekristenan adalah formalitas. Bahkan, bukan yang menekankan peran pemikiran lebih dari reflektif diri pada sikap memberikan kontribusi untuk proses keterasingan pikiran ini dan memiliki realitas objektif yang nyata. Tugas negatif itu adalah untuk "menebus" hak-hak individu dalam dunia sengsara dan terkutuk. Ini merupakan bagian penting dari perspektif Kristen tentang hubungan manusia dengan Allah.
Namun, perlu kita perhatikan situasi dalam Islam. Seorang individu, menemukan dirinya di depan banyak hal dan perasaan yang mendalam terhadap masalah yang sama. Dan "keselamatan" bagi dirinya sendiri sampai batas tertentu berbeda. Dosa yang dapat menghilangkan atau mengurangi dampak dalam kekristenan melalui pengorbanan pribadi, ini diletakkan sebelum dosa Muslim dan lainnya. Jadi tidak "menderita," adalah jalan menuju keselamatan. Seperti yang terjadi dalam kekristenan, tetapi "militan" sekuler adalah konten religius keselamatan dalam Islam. Salah satu hal yang anda butuhkan untuk menyelidiki dan penelitian fakta yang tepat bahwa "Islam," yang berasal dari abad ketujuh dalam kondisi sosial, ekonomi dan budaya telah mewujudkan tahap baru yang penting dalam proses melampaui kerangka kerja dalam pengembangan metafisik yang terdiri dari kebebasan keberimanan dari struktur sosial yang berlaku. Tidak ada keraguan bahwa "distribusi" kelas sosial dalam struktur "beriman" Muslim telah memainkan peran penting dalam perkembangan intelektual pada waktu itu, dan dalam masyarakat Arab Islam tentunya. Distribusi latar belakang kelas sosial itu adalah "sosial" untuk didistribusikan dalam intelektual dan keagamaan umat Islam. Seharusnya keprihatinan yang mendalam bahwa munculnya perbedaan arus dan kecenderungan dasar religius dan intelektual Islam didampingi oleh proses interpretasi kaum Muslim dalam sosial kelas, intelektual dan budaya.
Selain revolusioner elemen, selama keberadaan Negara seperti itu, bisa juga menyebutkan Islam menolak ide dari "perantara" sebagai bagian dari terakhir penentu arah yang memperdalam prospek duniawi. Pada kesempatan kematian "rasul" pada 8 Juni tahun 632 untuk menghentikan khalifah pertama. Di sini Abu Bakar berbicara pada orang-orang Muslim: "Yang menyembah Muhammad, Muhammad telah meninggal, dan yang menyembah Allah, Allah hidup dan tidak akan pernah mati." Di sini menyiratkan, bahwa Muhammad tidak punya spesifikasi seperti yang diluncurkan pada Kristus. Kristus ini, "siksa salip di tanah", mati untuk keselamatan orang lain. Keselamatan Kristen terwujud dalam tindakan pengorbanan oleh Kristus.
Kemudian, untuk mewujudkan konsep "syafa’at" Muhammad dengan konsep "keselamatan". Syafa’at dibawa Muhammad di pundaknya atas nama kemanusiaan secara keseluruhan. Islam dapat dicapai oleh setiap individu. Sebaliknya tidak demikian. Setiap hak yang tidak dapat memperoleh akses kepada Allah atau oleh Union. Tentu saja bisa "akses" kepada Allah dalam arti kiasan, dalam arti bahwa ia (manusia) melakukan "perintah" Allah yang ditetapkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian, dekat dengan Dia, disenangi oleh-Nya. Namun, perlu menunjukkan bahwa hubungan antara Allah dan manusia, seorang muslim tidak bisa tampil di semua pendekatan manusia lebih dekat dari pada eksistensial "Antologi". Penulis percaya bahwa "paradoks" di atas dinikmati oleh Allah dalam bentuk "diri", dalam kasus ini, yang tetap dalam dunia manusia dalam hal tindakan dan pengaruh dari urgensi "Providence”. Namun, meskipun ini, hubungan dengan perspektif dari Allah kepada manusia adalah membentuk kontur awal non-eksplisit dan tidak langsung mengenai persepsi yang didasarkan pada "persatuan dan keberadaan" ideal. Atau mungkin lebih akurat jika kita melihat di sisi hubungan (dewa-manusia) yang tidak langsung mengenai faktor kemunculan dan perkembangan teori Arab - Islam panteisme.
Konsepsi Islam awal hadir di kesatuan sepihak, semua yang aktif dalam hubungan timbal balik antara Allah dan manusia. Hal ini karena yang terakhir (manusia) dianggap, hasil negatif dewa. Tapi itu adalah "sitoplasma" negatif, yang terjadi oleh Aristoteles. Dan oleh karena itu tidak hanya harus hadir tunggal. Sementara menjalankan sitoplasma Aristoteles tempat bersejarah yang paling terkemuka hak-hak Islam (karena abadi pada waktunya, sekaligus menciptakan hak-hak yang tidak murni). [26] Mereka (ide), terbentuk dengan ekspresi praktis tidak langsung aktivisme. Tentunya ke arah pemersatu dalam bidang sosial, budaya dan pembangunan ekonomi. [27]
Tîzhînî meletakkan posisinya dalam kontroversi antara yang ideal dan material, lebih eksplisit yang berkaitan dengan posisi al-Qur’an. Dengan pandangan bahwa al-Qur’an dapat dianggap sebagai agama spiritual "ideal" serta warisan dokumen yuridis, moral dan sosial "materiil". Dalam pandangan penyerapan efek samping yang ideal harus dilakukan melalui undang-undang dari aspek fisik. Sementara beberapa sejarawan melihat al-Qur’an tidak hanya sebagai agama, tetapi juga hak-hak pribadi dan moral warisan, ekonomi dan sosial. Hal ini benar jika kita mempertimbangkan dua sisi, spiritual dan praktis dalam Islam. Tidak ada keraguan bahwa "rohani" memiliki dampak positif pada saat penyerapan efek yang terletak dalam memahami status sosial peradaban di periode sejarah. Ide atau sebuah visi tentang apa yang memperoleh persepsi sosial dan implikasi teoritis berbeda dalam sejarah dalam setiap generasi. Ini berarti bahwa, masalah ini ditentukan oleh "legitimasi historis" dan "kebenaran pengetahuan." Setelah mengalami masalah di tempat lain dalam buku-buku Tîzhînî, menekankan bahwa cita-cita pikiran dan pikiran fisik, ilmu pengetahuan dan agama, fenomena sejarah yang sah, namun tidak semua berlaku dari sudut pandang pengetahuan standar ilmiah. [28]
Dalam konsepsi ini hubungan antara yang ideal dan material atau antara agama Islam dan hubungan masyarakat meletakkan visi tentang konsep sekularisme sebagai berikut; Para pendukung sekuler Arab memandang masalah dari perbedaan antara kedua belah pihak dalam agama dominan di setiap agama mempunyai dampak di masyarakat. Tentunya pihak agama dan peradaban. Jika benar peradaban post dapat menjadi umum di kalangan agama adalah sekelompok orang yang termasuk agama yang berbeda, posisi doktrinal yang berkaitan dengan posisi atau hubungan antara seorang mukmin dan Allah yang percaya kepada-Nya. Dengan demikian, penulis menyorot fungsi budaya agama yang dominan di masyarakat Arab tanpa harus dikaitkan dengan sikap doktrinal. Agama di sini, seakan berubah menjadi wajah masyarakat sipil dan tanah air dari negara nasional. Selain itu, kesepakatan dengan konsep ini menjadi tunduk pada hukum pembangunan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Karena terkait dalam masalah ini, berbagai undang-undang, hukum, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Tentunya akan tunduk pada hukum itu. Posisi doktrinal, atau "posisi agama" secara pribadi seperti apa yang dihormati dan dilindungi. [28]
E. Orientasi ideologis
Tîzhînî adalah analisis fisik warisan Islam yang baru "revolusi ke pandangan tradisional warisan". Akan tetapi di pertengahan tahun sembilan puluhan abad yang lalu dampak transformasi global yang telah terjadi baik di arena global. Disintegrasi Uni Soviet, atau di arena domestik, proyek revolusioner mengalami penurunan nasional, telah terjadi perubahan radikal dalam proyek intelektual Tîzhînî. [29]
Unsur yang paling penting dari Revolusi dan proyek Renaissans (revolusi yang nyata) adalah memahami esensi pembawa sosial dari setiap revolusi atau kebangkitan kembali. Jadi penulis berpikir tentang masalah sampai mencapai bahwa setiap gerakan sosial di masyarakat Arab adalah masyarakat itu sendiri. Seluruh masyarakat berada di masa lalu, dengan membawa kelas sosial dan berbicara tentang perjuangan kelas dan masalahnya, ini bukan pilihan sekarang. Pergerakan adalah proyek baru, renaisans, sekarang hanya menjadi sebuah aliansi atau kelas politik mencakup semua segmen masyarakat. Dunia berbeda secara signifikan, karena disintegrasi Uni Soviet dan munculnya dunia baru yang dipimpin oleh Amerika Serikat. [30] Penulis mengetahui dari situs sosiologi politik bahwa pergerakan ini adalah proyek sosial yang nyata karena akan membangkitkan kembali kepada seluruh bangsa hingga maksimum. Dengan mengidentifikasi lebih ideologis, dan menemukan bahwa pergerakan dari setiap proyek masa depan sosial adalah didasarkan pada sisi Demokrasi Nasional. Selanjutnya penulis mengambil masalah ini sosiologis budaya dan politik ternyata perbincangan tentang «proyek revolusi» tidak hanya menyesatkan, tapi juga berbahaya. Sehingga pindah ke posisi baru, dan penulis pikir itu perlu dibahas dalam konsep teori lama.
Transisi dari revolusi kebangkitan dan kelas sosial masyarakat membawa proyek penghancuran. Tentunya transformasi dalam hubungan antar agama pada umumnya dan khususnya akan mengandalkan penafsiran penuh yang telah menjadi bahan yang diperlukan untuk memasuki inti dari "iman" karena undang-undang keagamaan menyikapi proyek Renaisans adalah berbeda-beda. [31] Hal-hal seperti ini kembali ke tingkat kelas menengah selama puluhan tahun, meskipun mereka adalah pembangun peradaban bangsa-bangsa. Kita harus menjaga dan mereproduksi intelektual kelompok-kelompok sosial dengan semangat baru (untuk membangun masyarakat): meringankan ekonomi dan pencerahan intelektual. Ini datang dalam tujuan luas memulihkan keseimbangan dalam masyarakat Arab. [32]
F. Posisi Modal
Sebagai hasil dari transformasi intelektual ini, Tîzhînî dalam penyelesaian proyek, yang bertujuan untuk mencapai analisis "revolusi", tentunya dukungan materi menempati urutan tertinggi untuk menangani masalah-masalah realitas. Pada tahap ini, Tîzhînî menyoroti tiga masalah mendasar; wajah globalisasi yang mengancam untuk membongkar identitas Arab. Kedua, wajah Pemikiran Arab dengan memandang ke arah struktural negatif "Mind Arab". Ketiga, realistis dalam menghadapi masalah yang mengancam masyarakat dari sudut pandang Renaisans.
Tîzhînî dalam mengilustrasikan pandangannya yang mengancam proyek Renaisans adalah sebagai berikut; Dalam konteks ini, perlu untuk mengatakan bahwa imperialis Arab yang kolusi – feodal, termasuk yang suka memaksa, kekerasan dan kekejaman telah diatur oleh hukum hubungan dialektis antara dalam dan luar negeri. Imperialisme telah mampu melakukan tugasnya dalam posisi Arab dari kesenjangan historis dan sosial, ekonomi struktur, politik dan budaya. Hal ini dikarenan waktu yang terjadi antara awal kapitalisme oleh borjuis Arab dan imperialis kapitalis. Dengan demikian, hubungan telah dimanipulasi dari Eropa dan orang-orang imperialis. Jika kita mempertimbangkan struktur reformasi, hibrida dan minor kebangkitan pemikiran Arab mestinya dari struktur yang dihasilkan. Penulis telah mengidentifikasi metodologi yang tepat dalam menjawab masalah ini. Tentang metodologi itu sebagai berikut; pemalsuan adalah hubungan antara Eropa dan orang-orang Arab. Sebagaimana yang mereka katakan, antara Barat dan Timur, sebagai penyebab utama hamburan dan jauh di dalam struktur Renaisans intelektual pada saat yang sama. Seluruh penciptaan Pemikiran Arab ingin mengambil untuk masalah-masalah yang muncul. Penulis menyatakan situasi ini sebagai masalah terakhir dan tidak menemukan alat-alat penelitian yang mampu mendiagnosis serta kontrol. [33]
Dalam konteks penanganan masalah-masalah yang dikeluhkan Tîzhînî proyek Renaissans dan kritik modernitas dalam masyarakat kapitalis (imperialis Barat) adalah dampak dari intervensi komunitas di masyarakat dunia ketiga pada umumnya, dan masyarakat Arab pada khususnya. Namun, mempertimbangkan masalah dari sisi lain, taruh saja sisi bersejarah kemajuan, mengundang kita untuk memperhitungkan kemajuan masyarakat kapitalis imperialis. Pada dasarnya, teknis dan ilmu alam adalah aspek sosial dari krisis yang mendalam dan komprehensif, sehingga membawa dampak yang langsung mengena pada sisi yang pertama. Dapat terlihat dalam perjuangan kelas pekerja massa, yang dipraktekkan adalah kesulitan yang besar. Kesulitan lain terletak di kompleks besar, yang muncul dalam kehidupan publik, dan membuat sulit untuk mendeteksinya karena kehancuran sosial dan ekonomi nasional. Dengan kata lain, telah menjadi mekanisme pendeteksian eksploitasi dan penindasan dalam masyarakat kapitalis imperialis yang kompleks. Mereka adalah "komunitas manajer dan staf serta insinyur", atau di mana mereka "masyarakat besar", mereka menyatakan bahwa eksploitasi dan penindasan tidak memiliki kehadiran di sini. Ini adalah apa yang mereka sebut "masyarakat konsumen berkembang." [34]
G. Membandingkan dengan Pemikiran Jabiri dan Rekonstruksi Baru
Pemikiran Tîzhînî sepenuhnya dialokasikan untuk struktural yang terdiri atas kritik paradigma Pemikiran Arab. Secara umum, persepsi Dr. Mohammed Abed Al-Jabri, khususnya, dalam melihat Min al-Istisyrâq al-Gharbî ilâ al-Istigrâq al-Magrabî: Bahs fî al-Qirâ’ah al-Jâbiriyah li al-Fiqr al-Arabî wa fi Âfâqihâ al-Târîhkiyah. Hal ini dianggap sebagai skenario, mengingat popularitas dan proliferasi adalah salah satu hambatan utama pikiran Renaisans Arab. Tentunya dapat membatalkan dasar intelektual dan persepsi struktural non-historis mentalitas Arab. Hingga akhirnya persepsi logis terputus dari kenyataan. Di samping itu juga membatalkan analisis ganda.
Mengingat pentingnya dialog, pemikiran penulis meninjau di sini antara pemikiran Tîzhînî dan pemikiran Jabiri. Tîzhînî memulai tinjauannya dengan klaim Jabiri dan berbagai pandangan yang dikemukakan di sekelilingnya. Jika kita mengambil pandangan Jabiri sendiri, tampak dalam tulisan-tulisannya yang sangat penting ketika mereka membuka sebuah "era baru kodifikasi" dalam budaya Arab pada umumnya dan khususnya. Ia merasa bahwa kesimpulan yang sama diungkapkan dalam Takwin al-Aql al-Arabî. [35]
Ini adalah "pembukaan baru", yang diresmikan oleh Jabiri dalam penaklukan paradigma lam. Namun, lingkaran budaya Arab dianggap sebagai "penakluk" dan mereka yang telah mengakibatkan kemunduran. Sementara penulis menyatakan bahwa Jabiri tidak memberikan lebih dari satu klasifikasi kata kepada pendahulu akademis. Dengan kesaksian dari pendekatan Barat tanpa melalaikan prinsip. Jabiri (dalam penelitiannya pada masalah tradisi dan modernitas) hanya berbicara konstruksi. Sekarang, jika kita memperhitungkannya dalam konteks masalah-masalah dan tantangan Arab dan non-Arab, tentunya persyaratan dalam tulisan-tulisan Jabiri menjadi lebih terlihat dan menonjol. Memang, Jabiri membawa sebuah jawaban untuk sebagian besar masalah budaya Arab. Dengan demikian, sering kali dalam konteks fragmentasi "wacana Arab" dan membongkar "pikiran Arab" dan memberikan "era baru kodifikasi" budaya Arab, mungkin untuk menambahkan penelitian dalam tulisan-tulisannya.
Jabiri seperti mengumumkan dirinya sebagai "rahasia" atau "struktur tersembunyi" menyerang balik, seperti tampak dalam "Nahnu wa al-Turast". Kemudian digunakan sebagai pembenaran panggilan bagi para peneliti untuk memperhatikan, terutama jika apa yang kita pelajari berhubungan dengan Maroko. [36] Tîzhînî kemudian pindah metode, dan menyimpulkan bahwa pendekatan ini tidak pendekatan Jabiri yang kognitif ideologis.
Pemikiran konseptual, sebagai bagian dari pemikiran teoritis. Pada dasarnya, produk dari status manusia atau posisi sosial sebagai diagnostik, kehadiran akan tergantung pada "pembawa sosial" sebagai manusia. Dan di sini, seperti kebingungan untuk memisahkan antara dua identitas. Diyakini juga, sosial yang tidak hadir dari intelektual atau teoritis yang terbenam oleh ideologi korup. Hingga akhirnya mundur dari persyaratan ini dan pengetahuan ontologis dialektik, teori sosial dan intelektual, akan berlanjut dari tulisan-tulisan Muhammad Abed al-Jabiri. Hal ini secara eksplisit jelas dalam wajah yang ideal filosofis, sementara yang berasal dari "teori blok ide" untuk menjelaskan munculnya ide-ide di setiap saat terlihat dalam isu-isu teoritis abstrak, ideologi keagamaan dan isi ideologis warisan publik "cenderung berpikir tingkat kemerdekaan dari realitas sosial kelas". Sedangkan Tîzhînî menganggap yang astrak, seperti yang logis, filosofis dan matematika terpisah dalam abstraksi yang membuatnya sulit. Jika bukan untuk menghubungkan mereka pada setiap realitas sosial atau fisika tertentu, ideologi keagamaan serta konten ideologis warisan, maka jarak waktu dan periode sejarah yang berbeda menjadi dasar kelas sosial yang menghasilkan kontribusi terhadap produksi yang telah berubah seiring waktu dan zaman. Transformasi dalam sebuah doktrin atau suatu ideologi dapat memisahkan arti bagi mereka (para setiap iman) sosial yang tidak mencerminkan realitas, yang menyelenggarakan kelas dan dengan demikian mencerminkan kepentingan kelas manapun akan terwujud. Di sini adalah kemerdekaan relatif dalam pikiran. Jabiri tersembunyi dalam posisinya dalam penolakan terhadap pengungkapan dari pihak lain; hal itu adalah visi ideologi. tentunya didasarkan pada klaim mengabaikan ideologis kehadiran yang substantif. Secara teoretis, dirinya mau atau tidak mau terlibat dalam afiliasi kelas sosial yang bagaimana? [37]
Jadi kita melihat dalam persepsi Jabri, di sini terlalu banyak tekanan pada ideologi sistematis dan sewenang-wenang. Serta penghinaan terhadap pemikiran Arab, perlu dicatat bahwa ketiga elemen yang ditentukan oleh kognitif serta menyebutkan fakta bahwa persepsi didasarkan pada penyalahgunaan dari tiga konteks utama dari acara tersebut; sosial dan dialektis serta historis warisan. Ia menolak konsep hubungan antara pemikiran konseptual dan realitas sosial manusia serta tidak mempedulikan tindakan mekanisme yang mengatur hubungan antara pikiran milik realitas di satu sisi dan realitas (pikiran). [38]
Sekarang, ketika "sektor ketiga" yang bersangkutan sebagai komposisi pemilik budaya Arab (yang merupakan pernyataan dan pengakuan dan bukti), penulis menanyakan pertanyaan berikut: Bagaimana tersedia bagi Jabiri untuk "mempertimbangkan budaya Arab secara keseluruhan", membedakan mereka dalam tiga sektor, "masing-masing yang berbeda disiplinnya"? [39] Jika dalam struktur permukaan, menampilkan (berkontribusi untuk penulis dan kritikus) sebagai pengetahuan. Oleh karenanya, tugas penelitian kritis, mencapai pada pisau bedah yang mengangkat historis yang ketat -abstrak- antara mereka. Tentunya, diproses infiltrasi ideologi politik dalam struktur pengetahuan, sehingga kita bisa melihat dalam pengetahuan persaingan ideologis. [40] Masalah ini harus dihadapi dengan "demiliterisasi." Isu pertama mengkristal di geser Jabri "Arab Mind" untuk "mentalitas Arab." Isu kedua mulai terbentuk dalam bentuk leksikal Jabiri, sehingga situasi tak terduga muncul di atas reruntuhan "kalah dalam pertempuran metodologi", pertempuran yang menariknya untuk menjawab pertanyaan berikut: Bagaimana cara membaca peristiwa historis atau tradisional, "dari dalam", atau "dari luar" atau dari lokasi yang lain. [41] Terkesan kehilangan "kredibilitas" dan "keberanian" dalam properti membuat sekop-sekop. Jabiri dalam tulisan-tulisan orientalnya, yang menemukan keberhasilan dalam mendirikan istilah "kesehatan mental" dalam kendala bilateral antara "mentalitas Barat-Eropa" dan "mentalitas Arab-Timur". [42]
Masalah yang dihadapi oleh Tîzhînî adalah bagaimana membaca pemikiran keagamaan pada umumnya, dan al-Quran pada khususnya. Dalam buku Al-Islâm wa al-Asri: Tahadiyât wa Âfâq, Tîzhînî menyajikan posisinya mengenai masalah ini. Pertama, analisis konsepsi pluralisme dalam membaca al-Quran. Mari kita perhatikan bahwa definisi (sisi baik) dari al-Qur’an bukan teks atau tugas yang telah disepakati oleh para ulama. Dengan demikian, kenyataannya adalah didiagnosis, dalam arus dinamika atau kekakuan dalam memahami teks al-Qur’an, terutama ketika kita meletakkan tangan kita di atas kuantitatif dan kualitatif, evolusi besar-besaran atas metode penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora akan terjadi. Karena terhubung Islam dan al-Qur'an serta Sunnah yang keluar dari kebuntuan oleh momen sejarah, mungkin memerlukan pengenalan unsur-unsur yang mengatur masalah-masalah yang rumit ini dan kompleks. Kebebasan dalam penelitian ilmiah dan diperlukan dari debat ilmiah terbuka dan berkomitmen, serta rasionalitas, juga persyaratan untuk wawasan, sejarah dibuat sedemikian rupa untuk aktivitas dalam menangkap manusia secara terbuka dan horisontal. Hukum kontroversial dalam persyaratan hanya untuk melihat hal-hal dan fenomena serta peristiwa di alam semesta fisik dan keberadaan manusia dalam konteks sosial, hubungan dan pertumbuhan. [44] Hai ini, menggambarkan saluran (ideologis), yang dapat meningkatkan orang-orang yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan material dan kecenderungan serta keinginan politik yang berasal dari ini dan itu, sebagai sosial konflik, golongan, kasta, nasional dan lain-lain. Dengan ini, penulis katakan bahwa saluran-saluran yang mendikte publik yang tidak sesuai dengan realitas pluralisme dalam masyarakat harusnya didiagnosis, dengan cara menghadapi pluralisme keagamaan dalam teks. [45]
Untuk mencerminkan teks ini sangat penting, karena berisi pembedaan dua tingkatan (dinamis) al-Qur'an: tingkat pertama (sifat Ilahi-metafisik), ditentukan oleh amal (arahan ke surga), dan yang berikutnya adalah (sifat historis), tercermin dalam al-Qur’an menjadi peristiwa bersejarah. Jadi datang persimpangan metafisika dan tanggal yang ditandai para pemikir Islam. [46] Dengan demikian, tentunya tidak lagi mampu menghindari peneliti modern pada sejarah filsafat yang diproduksi oleh isu-isu sentral, yang menyoroti isu-isu di garis depan eksistensi (ontologi), pengetahuan dan nilai. Ketiga kategori ini tidak ada isu-isu dan masalah-masalah filsafat modern yang digantikan. Tetapi akan tetap penting dan ketika kita menemukan formula yang tepat untuk pengalokasian lokus bagi dunia Arab. Hal ini pada gilirannya, menuntut untuk melakukan tugas-tugas dengan terang bahwa filsafat mampu membaca warisan sejarah filsafat Arab, serta yang dihasilkan oleh para pemikir dan filsuf. Tentunya berasal dari Islam dan Kristen referensi induknya. [47]
Pertanyaan dasar pemikiran dalam sebuah proyek untuk kemajuan Arab dan pencerahan harus datang dari sejarah pribadi. Melalui tangan pertama kali pada "sejarah" sebagai jargon untuk sebuah "sampah Arab", yaitu bahwa yang terakhir adalah situasi yang benar-benar tidak konklusif, tapi hal ini adalah situasi historis, harus ditekankan dalam persimpangan yang tidak ditemukan di luar konteks historis. Argumen yang kedua, penulis dapat mengakses kesadaran, dan membuat subjek pertanyaan dalam "kesadaran historis-kritis". [48] Jadi, seperti yang telah penulis jelaskan, masalah "proyek" Renaisans baru dan pencerahan untuk keadaan baru sejak munculnya pada akhir abad kedelapan belas hingga disintegrasi Uni Soviet, itu menjadi jelas. tentunya setelah memasuki tahap keprihatinan besar dan osilasi serta upaya-upaya eliminasi dan marjinalisasi, juga skeptisisme radikal. Semuanya, bersama dengan usaha-usaha untuk menghapus orang-orang Arab dari sejarah mereka sendiri dan masuk dalam sejarah publik. Terbuka dan sistematis dalam dialog dan rasional kritis tidak mengecualikan siapa pun yang bekerja pada proyek ini, tetapi mereka yang tinggal di dunia Arab hendaknya perhatian dalam bidang ini. Meskipun kesadaran masyarakat masih dalam tataran format praktis. [49]
Hambatan yang paling penting dalam proyek renaisans intelektual adalah seperti tersebut di atas. Sedangkan konstruksi baru untuk keluar dan menghindari hambatan itu, bisa dengan jalan; Fundamentalisme dan Islam politik (monopoli kebenaran negara agama-wajah lain imperialisme), Evolusi (Renaisans meninggalkan proyek dan mencoba untuk mengejar ketinggalan dengan globalisasi, tanggal akhir), Struktural fungsional (kompromi, setiap kombinasi persepsi tertentu "ideologi" diri dan apa yang dianggap sebagai pemikiran orang-orang Yunani Barat, klaim filsafat pengetahuan), Struktural dekonstruksi dan pasca-modernisme (konsep keterasingan yang menuai buah dari pengecualian sejarah konsep komunikasi), Akhir sejarah dan matinya ideologi (untuk membenarkan teori runtuhnya model sosialis) serta globalisasi dan pasca-Zionisme (dan mengakhiri pembongkaran identitas nasional). [50]
Renaissance proyek dan isu-isu metodologi; masalah utama di sisi kelemahan metodologis adalah kecepatan produksi pengetahuan teoritis di dunia Arab dan dominasi produksi ideologis palsu. Di sini merujuk pada simbol yang sama pentingnya dengan membuat referensi metodologi untuk proyek ini meliputi isu menumbuh kembangkan kembali kurikulum Arab, termasuk rasional (rasionalisasi mental), historis (lihat peristiwa historis dalam konteks), termasuk keterbukaan demokratis, realitas kontroversial dan diberdayakan, kontroversial rumah dan di luar Arab, dialektika tetap dan variabel, serta struktur dan fungsi kontroversial atau membaca. Membaca juga termasuk metodologi untuk membedakan antara tiga jenis wacana: wacana pengetahuan, retorika dan wacana politik. [51]
Tesis utama dari proyek di Arab adalah kemungkinan untuk mencapai pekerjaan ajaib historis. Pada saat yang sama sejarah perkembangan yang akan memungkinkan bermain luar biasa pada perjalanan sejarah harusnya memasukkan suatu formula yang dekat dengan epik mitologi karena kasus ini, penulis anggap keajaiban. Akan tapi keajaiban sejarah, sebagai sebuah keajaiban kuasa-Nya. Ini adalah tindakan bersejarah pada perputaran sejarah yang sukar dipahami.
Dalam konteks ini, untuk meningkatkan dua dari mediator dalam sejarah Arab dan modern ada dua contoh keajaiban dalam sejarah; yang pertama, muncul dalam surat yang dikirim oleh Hulagu kepada Sultan Mesir dan Syam, Muzaffar Qutuz, yang berhasil mengalahkan Hulagu. Dan kedua, pada waktu, di dekat Suriah, yang diwujudkan dalam pribadi Yusuf kebesaran dan Menteri Pertahanan Suriah pada tahun 1920 ketika ia membela Damaskus sampai mati. [52]
VI. Epilog
Struktur prosedural proyek Arab Tayeb Tîzhînî memiliki dua lokus inti; Pertama, proyek Arab dan pertanyaan yang bertindak Renaissans. Ini adalah dialektika pembebasan dan perubahan serta rancangan perjuangan untuk menghasilkan konsensus di tengah bangsa-bangsa Arab yang sedang dihadapkan pada tantangan dan konfrontasi. Kemajuan melalui mekanisme politik, budaya, ekonomi, teknologi, ilmiah, militer dan dalam kasus-kasus tertentu adalah cita-cita dari proyek ini. Pemegang proyek ini adalah bangsa yang paling kaya warna serta nasional-demokratis. Yang Kedua, proyek Arab masukan yang berasal dari dan menuju budaya Arab. Pintu masuk ke aplikasi proyek ini, jika kita mengikuti sistem metodologi umum, dalam berurusan dengan pintu masuk sebagai berikut; wilayah politik, militer, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi, budaya, dan ranah kognitif. Dalam format ini, pemerintahan seharusnya memberikannya -kombinasi- seimbang. Kita dapat mencatat bahwa ide yang merugikan prioritas, yang menentukan di mana harus dimulai. Namun, ide ini mendapatkan prioritas relatif terbuka dan dinamis dalam menunjuk satu sama lain dalam rangka mobilitas, politik, budaya dan sosial rasionalitas demokratis.
Tentunya, proyek ini memiliki beberapa hambatan, dan penulis menawarkan supaya jauh atau menghindari dari hambatan-hambatan dalam kajian paradigma Arab sebagai berikut: Fundamentalisme dan Islam politik (Monopoli kebenaran-negara agama-wajah lain imperialisme), Evolusi (Renaisans meninggalkan proyek dan mencoba untuk mengejar ketinggalan dengan globalisasi, tanggal akhir), Struktural fungsional (kompromi, setiap kombinasi persepsi tertentu "ideologi" diri dan apa yang dianggap sebagai pemikiran orang-orang Yunani Barat, klaim filsafat pengetahuan), Struktural dekonstruksi dan pasca-modernisme (konsep keterasingan yang menuai buah dari pengecualian sejarah konsep komunikasi), Akhir sejarah dan matinya ideologi (untuk membenarkan teori runtuhnya model sosialis) serta globalisasi dan pasca-Zionisme (dan mengakhiri pembongkaran identitas nasional). Tentunya makalah ini hanya sebagai batu tapal awal dalam kajian kritik Tayeb Tîzhînî dan masih jauh dari kesempurnaan. []
* Lakpesdam PCI-NU Mesir, satu hari setelah Valentine Day 2010, seiring kabut tipis yang turun pelan-pelan di Gami’. Bersama kawan-kawan tercinta, terasa hangat dan lebih hangat. Suatu ketika pasti diantara kita akan merindukan saat-saat seperti ini, saat dimana; aku, kamu dan semua bersama dalan raih cita dan cinta.
[1] http://www.alarabiya.net/writers/writer.php?writer=805.
[2] http://www.awu-dam.org/dalil/03ta/dlil009.htm.
[3] Tayeb Tîzhînî, Ala Tharîq al-Wudhûh al-Manhajî, Bairut: Dar al-Fârâbî, 1989, hal. 6.
[4] Ibid, hal. 7.
[5] Ibid, hal. 254-255.
[6] Tayeb Tîzhînî, Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî fî al-Asri al-Wasîd, Damsyiq: Dar al-Damsyiq, 1971, hal. 6.
[7] Ibid, hal. 7.
[8] Tayeb Tîzhînî dan Abû Yu’rab al-Maryûqî, Âfaq Falsafah Arabiyah Mu’âsirah, Bairut: Dar al-Fiqr, 2001, hal. 212.
[9] Tayeb Tîzhînî, Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî fî al-Asri al-Wasîd, Damsyiq: Dar al-Damsyiq, 1971, hal. 9-11.
[10] Ibid, hal. 13-15.
[11] Ibid, hal. 11-12.
[12] Ibid, hal. 405.
[13] Ibid, hal. 126.
[14] Kamâl Abdul al-Lathîf, Salâmah Mûsâ wa Isykâliyah al-Nahdhah, Kairo: Al-Hai’ah al-Misriyah al-‘Amah, 2009, hal. 47-56.
[15] Tayeb Tîzhînî, Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî fî al-Asri al-Wasîd, Damsyiq: Dar al-Damsyiq, 1971, hal. 131-132.
[16] Ibid, hal. 134.
[17] Ibid, hal. 136.
[18] Ibid, hal. 138-139.
[19] Ibid, hal. 150.
[20] Ibid, hal. 153.
[21] Ibid, hal. 154.
[22] Sesuatu yang alami adalah sebagai akibat dari pembagian kerja serta intelektual manusia dalam masyarakat kelas. Seorang pria di komunitas ini, untuk mencapai hal-hal penting pada tingkat sosial dalam kerangka teoritis ideal filosofis, objektivitas dan persepsi dalam teologi metafisik telah dibuat untuk konteks sosial lingkungan.
[23] Tayeb Tîzhînî, Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî fî al-Asri al-Wasîd, Damsyiq: Dar al-Damsyiq, 1971, hal. 155-156.
[24] Wakaf dari Pelayanan Dua Tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz al-Su’ud, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 80.
[25] Aristoteles membatasi ruang lingkup efektivitas Tuhan, sehingga membuatnya menjadi lini pertama. Aristoteles adalah final akan tetapi tidak mengganggu molekul dunia. Dalam artian Aristoteles menjatuhkan resep dan kemampuan dari "takdir" dari Tuhan. Sebaliknya, para "Takdir" merupakan bagian penting dari konsep Islam.
[26] Tayeb Tîzhînî, Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî fî al-Asri al-Wasîd, Damsyiq: Dar al-Damsyiq, 1971, Ibid, hal. 204-208.
[27] Ibid, hal. 211.
[28] Tayeb Tîzhînî, Ala Tharîq al-Wudhûh al-Manhajî, Bairut: Dar al-Fârâbî, 1989, hal. 52-53.
[29] Tîzhînî menjelaskan sifat transformasi ini dalam sebuah wawancara surat kabar diterbitkan Journal al-Hayah adalah sebagai berikut; “Jawaban atas pertanyaan ini, saya akan mengatakan bahwa saya melihat beberapa rumus. Saya mulai dari pengamatan dari judul buku pertama saya, dalam proyek yang anda bicarakan. Judul «Min al-Turast ila al-Tsaurah», yang diterbitkan pada tahun 1976. Saya lihat sekarang peristiwa-peristiwa dan perkembangan di dunia Arab telah mendesak untuk memaksa saya untuk mulai dengan melihat buku. Saya bertanya-tanya, Apakah stessing ini masih berlaku setelah hancurnya dan disintegrasi Uni Soviet. Tentunya ide-ide yang dominan adalah pemikiran progresif dominan di arena Arab? Setelah memantau apa yang terjadi dan berturut-turut dalam perkembangan, saya meletakkan tanganku di masalah sekarang. Saya pikir itu, adalah upaya untuk menemukan apa yang harus dilakukan lagi. Kata-kata «al-Tsaurah» di judul tidak lagi di sana, terlepas dari rasionalisasi yang dapat dibuat. Oleh karena itu, Saya mulai berpikir dalam buku saya, kemudian mulai dari kenyataan ke buku dan dari buku dengan kenyataan. Saya mengerti bahwa konsep revolusi adalah sama. Dari dalam membaca Arab dan Eropa, saya menyadari apa yang tampak bagi saya bahwa alternatif yang sesuai dengan konsep revolusi dan proyek, yang merupakan konsep Renaisans.
[30] Wawancara Journal Al-Hayah, Min al-Turâs ilâ al Tsaurah.
[31] Penulis menemukan masalah agama yang diabaikan oleh elit budaya, Marxis, nasionalis, atau bahkan liberal. Dan penulis juga menemukan bahwa bahaya terletak pada kenyataan bahwa teks agama dibaca dalam berbagai cara adalah sama. Dari sini muncul sikap Marxisme dan positivisme serta nasional yang memikirkan pemikiran keagamaan. Di masa lalu, penulis tidak menyadari bahwa seorang wanita hamil dari setiap perubahan sosial hidup proporsi yang lebih besar dari para anggotanya, tentunya pemikiran religius, apa yang seharusnya telah mendorong kami untuk membaca rasional dan logis baru pemikiran keagamaan, setiap memikirkan hal itu didorong oleh masyarakat yang sesungguhnya benar-benar. Dengan munculnya identitas baru untuk proyek perubahan (Renaissance), kini ada alasan bagi banyak untuk mendapatkan alat intelektual. Penulis melihat bahwa tidak mungkin untuk mencapai setiap gagasan Renaisans nyata, tanpa membaca kembali pemikiran keagamaan dan memasuki pusat dengan semangat iman. Inilah yang menyebabkan penulis ingin menekankan sekali lagi bahwa beban sosial - budaya, yang hanya dapat mendukung hari ini adalah pemikiran transformatif, yang membentang dari Demokrasi Nasional ke kiri progresif.
[32] Wawancara Journal Al-Hayah, Min al-Turâs ilâ al Tsaurah.
[33] Tayeb Tîzhînî, Ala Tharîq al-Wudhûh al-Manhajî, Bairut: Dar al-Fârâbî, 1989, hal. 20-21.
[34] Ibid, 175-176.
[35] Untuk memantau fondasi produksi pengetahuan dalam budaya Arab hendaknya mengklasifikasikannya dalam struktur internal pengetahuan. Yaitu, mekanisme, metode, konsep-konsep dasar, klasifikasi yang mengetuk cakrawala baru hingga akhirnya kesuburan dan kedalaman akan terbuka untuk prospek kehidupan modern. Dengan demikian, untuk mengelompokkan semua jenis ilmu dan pengetahuan dalam Arab Islam ke dalam tiga kelompok budaya: Bayani, Burhani dan Irfani.
[36] Tayeb Tîzhînî, Min al-Istisyrâq al-Gharbî ilâ al-Istigrâq al-Magrabî: Bahs fî al-Qirâ’ah al-Jâbiriyah li al-Fiqr al-Arabî wa fi Âfâqihâ al-Târîhkiyah, Hamas: Dar al-Dhâkirah, 1996, hal. 21-24.
[37] Ibid, hal. 25-28.
[38] Ibid, hal. 46.
[39] Ibid, hal. 46-47.
[40] Ibid, hal. 25-49.
[41] Ibid, hal. 85.
[42] Ibid, hal. 97.
[43] Dalam teks-teks al-Qur’an terdapat sejarah yang tidak mungkin kelahiran menghambat tahap-tahap perkembangan, kemajuan dan perubahan atau skeptis tentang kualitas. Jadi, apa yang muncul setelah tahap tertentu, Islamis kemanusiaan dianggap sebagai titik tolak sejarah yang sistematis dan tidak membawa sesuatu yang benar-benar baru, karena sebelumnya masalah-masalah dan dilema sosial, ekonomi, politik, kognitif, etis dan ilmiah. Dalam penyangkalan historis dan logis hal baru. Kondisi riil alienasi dan mental harus mengelilingi kita diri apa yang mengelilingi kita dalam arus waktu sejarah.
[44] Muhamad Saîd Ramadhân al-Bauthî dan Tayeb Tîzhînî Al-Islâm wa al-Asri: Tahadiyât wa Âfâq, Damsyiq: Dar al-Fiqr, 1998, hal. 101-109.
[45] Ibid, hal. 114-116.
[46] Ibid, hal. 128-134.
[47] Abû Yu’raf al-Marzûqî dan Tayeb Tîzhînî Âfaq Falsafah Arabiyah Mu’âsirah, Bairut: Dar-al-Fiqr, 2001, hal. 193-196.
[48] Ibid, hal. 13-16.
[49] Tayeb Tîzhînî, Bayân fî al-Nahdhah wa al-Tanwîr al-Arabî, Damsyiq: Dar al-Farabi, 2005, hal. 9-48.
[50] Ibid, hal. 53-84.
[51] Ibid, hal. 85-129.
[52] Ibid, hal. 130-139.
Daftar Pustaka
1. Wakaf dari Pelayanan Dua Tanah Suci Raja Fahd bin Abdul Aziz al-Su’ud, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
2. Tîzhînî Tayeb, Ala Tharîq al-Wudhûh al-Manhajî, Bairut: Dar al-Fârâbî, 1989.
3. Tîzhînî Tayeb, Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî fî al-Asri al-Wasîd, Damsyiq: Dar al-Damsyiq, 1971.
4. Tîzhînî Tayeb dan Abû Yu’rab al-Maryûqî, Âfaq Falsafah Arabiyah Mu’âsirah, Bairut: Dar al-Fiqr, 2001.
5. Wawancara Journal Al-Hayah, Min al-Turâs ilâ al Tsaurah.
6. Tîzhînî Tayeb, Min al-Istisyrâq al-Gharbî ilâ al-Istigrâq al-Magrabî: Bahs fî al-Qirâ’ah al-Jâbiriyah li al-Fiqr al-Arabî wa fi Âfâqihâ al-Târîhkiyah, Hamas: Dar al-Dhâkirah, 1996.
7. Al-Jabiri Abed, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 2002.
8. Al-Bauthî Muhamad Saîd Ramadhân dan Tayeb Tîzhînî Al-Islâm wa al-Asri: Tahadiyât wa Âfâq, Damsyiq: Dar al-Fiqr, 1998.
9. Tîzhînî Tayeb, Bayân fî al-Nahdhah wa al-Tanwîr al-Arabî, Damsyiq: Dar al-Farabi, 2005.
10. Tîzhînî Tayeb, Masyrû’ Ru’yah Jadidah lil Fiqr al-Arabî: Min al-Turâs ilâ al Tsaurah: Haula Nadhariyah Muqtarihah fî al-Turâs al-Arabî, Beirut: Dar Ibnu Khaldun, 1976.
11. Kamâl Abdul al-Lathîf, Salâmah Mûsâ wa Isykâliyah al-Nahdhah, Kairo: Al-Hai’ah al-Misriyah al-‘Amah, 2009.
0 komentar:
Posting Komentar