Welcome to Nur Fadlan Blog

Jumat, 26 Februari 2010

Gilas Dunia dengan Baca Tulis



Nur Fadlan
(Peminat Kajian Sosial Budaya)


Akar historis dari budaya membaca dan menulis adalah bukan dari orang timur, khususnya orang Indonesia. Bisa dikatakan baca tulis adalah hal baru yang dikenal orang Indonesia. Orang Indonesia lebih akrap dengan budaya tutur dan budaya cerita. Bisa disaksikan dalam pengabadian kisah raja-raja dan kejadian-kejadian besar cukup disampaikan pada generasi berikutnya dengan tutur dan cerita. Akan tetapi, sangat berbeda dengan budaya orang-orang Barat, mereka telah mengenal budaya baca tulis sejak ribuan tahun yang lalu. Sehingga tidak aneh kalau di Barat banyak ditemukan manuskrip-manuskrip kuno yang menceritakan tentang kejadian besar dan silsilah para raja.

Kalau pun seorang Soekarno, Moh Hatta, Bj Habibie dan Gus Dur telah menjadi orang besar, tentunya mereka harus melewati beberapa fase bukan karena kebetulan. Mereka mengadopsi budaya baca dan tulis dari orang sebelumnya, baik melalui otodidak atau pun belajar di lembaga pendidikan formal yang berbudaya dan berkualitas tinggi. Sementara Pramudya Anantatur, Buya Hamka dan H. Agus Salim bisa kita katakan tidak pernah menempuh pendidian formal tinggi, akan tetapi lewat budaya baca tulis secara otodidak telah tumbuh mereka menjadi budayawan, ilmuan dan tokoh intelektual yang diperhitungkan. Tentunya mereka semua sejak kecil dan remaja telah memiliki cita-cita yang tinggi dan melakukannya dengan bertahap, dengan cara membudayakan membaca dan menulis.

Terlepas dari itu semua, saat ini masyarakat di dunia kian sadar akan peran dan posisi strategi budaya baca dan tulis. Mereka pun berlomba-lomba untuk bisa menggapai informasi yang lebih banyak dan mutakhir. Upaya untuk memberantas buta huruf dan meningkatkan taraf pendidikan masyarakat pun telah menjadi perhatian yang serius. Hal ini direalisasikan lewat penerapan sistem pendidikan baru dengan memanfaatkan teknologi informasi. Tujuannya tidak lebih hanya untuk merangsang budaya baca dan tulis masyarakat. Dengan hadirnya teknologi informasi (internet) tidak ada alasan lagi bagi masyarakat madani untuk tidak membaca dan menulis.

Kalau pun dulu, buku memainkan peran penting dalam pertukaran dan pewarisan ilmu pengetahuan dan budaya. Namun kini buku juga bergantung pada teknologi modern. Tahun 2010 menjadi masa boomingnya perangkat buku elektronik atau e-book. Dan popularitas perangkat canggih itu semakin meningkat. Selain itu, penjualan buku lewat internet pun mengalami perkembangan pesat dan mendapat sambutan baik dari masyarakat dunia. Perkembangan ini telah mengubah model tradisional penjualan buku, sehingga persoalan klasik seperti masalah ruang dan waktu antara penjual dan pembeli buku bukan hambatan lagi. Promosi dan penjualan buku lewat internet, semakin mempermudah konsumen buku untuk memperolehnya. Dengan demikian untuk meningkatkan minat baca dan tulis masyarakat semua fasilitas telah ada, tinggal manusianya mau baca tulis atau tidak.

Meski demikian, ketimpangan dalam produksi buku dan ilmu di dunia masih sangat kentara. Sejumlah data menunjukkan, untuk setiap satu juta orang di Afrika, hanya 20 judul buku yang mampu diterbitkan. Namun di kalangan masyarakat Eropa, mampu menerbitkan 800 judul buku untuk setiap satu juta penduduk. Lebih memprihatinkan lagi, kendati penduduk negara-negara Eropa dan AS hanya 20 persen dari total populasi dunia, namun sekitar 70 persen produksi buku dunia berasal dari mereka. Dari abstraksi ini, hendaknya kita (anak bangsa) rekonsiliasi bersama untuk melestarikan budaya sadar baca dan tulis. Dengan harapan mampu berimbang dengan peradaban lain.

Fluktuasi minat baca dan tulis memiliki kaitan langsung dengan tumbuhnya teknologi informasi. Kalau kita masih disibukkan dengan face book, kawan-kawan kita di Iran ternyata tidak memiliki hobi yang sama. Di kalangan negara-negara Timur Tengah, pertumbuhan pengguna internet tertinggi masih dipegang masyarakat Iran. Pada tahun 2005, masyarakat Iran yang memiliki akses terhadap internet sekitar 8 persen atau 5,5 juta orang dari total populasinya. Angka itu meningkat 23 persen dibanding tahun 2000. Hasil penelitian terbaru juga menunjukkan mayoritas pengguna internet di Iran merupakan kalangan muda berusia 18-28 tahun. Sebagian besar penggunaan internet dimanfaatkan untuk mengisi waktu senggang, mengakses informasi dan pengetahuan terbaru, serta untuk keperluan pendidikan. Tentunya beda dengan kita (anak bangsa) yang masih gagap dengan internet dan menggunakannya tidak maksimal, atau hanya untuk face book-an. Seharusnya dengan internet hendaknya kita bangkit untuk meningkatkan semangat baca tulis bukan larut di dalamnya, karena kesenangan semu.

Tentang baca dan tulis, ada sosiolog yang mengatakan bahwa, orang asing bisa belajar tentang representasi masyarakat Jepang hanya lewat salah satu komik Jepang yang telah dianimasikan seperti "Keluarga Sazae". Komik film ini sudah diproduksi sampai puluhan ribu seri sejak puluhan tahun yang lalu dan menggambarkan sebuah keluarga Jepang dua abad keturunan. Tokoh-tokoh kartun ini berkembang dari tokoh utama (Sazae) kecil sampai dia menikah dan mempunyai anak. Dari sini tampak betapa Jepang sangat membudayakan baca tulis sehingga untuk menyaksikan keadaan masyarakat Jepang cukup membaca komik tersebut.

Berbeda dengan keadaan nusantara kita, statistik menunjukkan bahwa dalam satu tahun, Indonesia yang berpenduduk lebih dari 225 juta jiwa baru sanggup menerbitkan sekitar 8.000 judul buku. Jumlah ini sama dengan Malaysia yang berpenduduk sekitar 27 juta jiwa dan jauh di bawah Vietnam yang bisa mencapai 15.000 judul buku per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa. Di Jepang, tidak kurang dari 60.000 judul buku diterbitkan setiap tahunnya, sedangkan di Inggris angkanya bahkan lebih besar, per tahunnya buku yang diterbitkan bisa mencapai 110.155 judul. Angka itu baru dilihat dari jumlah judul buku, belum mencakup penghitungan oplah.

Dari ilustrasi di atas, tampak betapa pentingnya budaya baca dan tulis dari pada budaya lisan dan cerita. Budaya lisan adalah budaya orang kebanyakan dan ini adalah budaya berbahasa orang grassroot level. Budaya ini kerap terjadi di warung kopi, mall dan pinggir jalan. Perlu menjadi catatan bahwa peradaban yang memiliki budaya baca tulis jauh lebih besar dari pada peradaban yang memiliki budaya tutur atau cerita.

Tentunya, pemerintah, pendidik dan para stakeholder semakin lelah sekedar untuk memikirkan karater kaum pendidik dan anak didik yang belum terbiasa dengan budaya baca tulis. Fenomena inilah penyebab mutu bangsa yang semakin menurun, apalagi untuk berkompentisi. Akibatnya, karena warganya belum terbiasa dengan budaya baca tulis maka masyarakat hanya memiliki pola berfikir yang kurang kritis dan analitis. Untuk keluar dari masalah ini, hendaknya dengan menghidupan kembali gerakan gemar membaca dan menulis dari level pendidikan yang paling dasar hingga level perguruan tinggi.[]



0 komentar:

Posting Komentar