Welcome to Nur Fadlan Blog

Selasa, 28 April 2009

Kaji Ulang Ibanah


HISTORI & KAJI ULANG


KITAB AL-IBÂNAH[1]


Nur Fadlan


I. Pendahuluan


Seorang pengkaji tentunya akan terlibat secara langsung dengan beberapa komponen yang mendukungnya dalam proses pengkajian. Baik itu berupa tulisan, catatan sejarah atau bentuk lainnya.


Lebih spesifik lagi, kitab Ibânah karya Imam Asy'ari yang di tulisnya pada abat ke empat Hijriah, tentunya menjadi obyek kajian yang tidak bisa dianggap remeh. Seorang pengkaji tidak mungkin akan melewatkan begitu saja tentang dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan obyek kajian itu.


Dalam hal ini penulis mengajak diskusi kepada teman-teman tentang eksistensi dan keutuhan dari substansi kitab itu. Perlu kita ketahui bahwa perjalanan sejarah tidak mungkin sama antara masa satu dengan masa lainnya.


Dari sini pengkajian tentang kitab Ibânah akan senantiasa melibatkan keautentikan dari sumber-sumber asli supaya tidak menyimpang dari substansial kitab itu sendiri. Maka dari itu penulis mencoba memulai tulisan kecil ini dengan pembahasan tek atau manuskrip kitab Ibânah.


Dimanakah bentuk manuskrip itu tersimpan hingga bagaimana cara mngaksesnya di samping itu juga kita harus mengetahui tipologi dari manuskrip tersebut. Dalam perjalanannya manuskrip bisa dikelompokkan dalam klsifikasi besar yaitu; manuskrip yang di tulis oleh pengarangnya sendiri atau manuskrip yang ditulis oleh pihak lain.


Selain tentang tek, penulis juga mengajak untuk melihat sisi historis dari kitab Ibânah. Bagaimana latar belakang Imam Asy'ari menulis kitab itu serta apa yang menjadi dorongan sang mu'alif menulis kitab itu hingga menjadi sebuah karya yang monumental sepanjang masa.


Penulis tidak berhenti pada histori perjalanan kitab Ibânah saja tapi selain itu penulis mengajak mendiskusikan sosok pengarangnya juga. Bagaimana pendapat-pendapat sarjana islam tentang figur Imam Asy'ari dalam perjalanan sejarahnya.


Pendapat-pendapat sarjana Islam kenamaan sangat antusias terhadap Imam Asy'ari kerena beliau memiliki perjalanan hidup yang sangat unik dan mencengangkan segolongan yang lain. Selanjutnya silahkan ikuti tulisan ringan dibawah ini dan kita diskusikan secara seksama.


II. Tentang Tek


Keauntentikan dari sebuah tek menempati urutan pertama dalam riset ilmiyah. Tidak jauh beda dengan pengkajian sebuah buku yang ditulis pada abat ke IX. Kajian seperti itu pasti akan melibatkan bukti real dari keberadaan tek itu sendiri. Pengkaji harus melewati sebuah perjalanan panjang untuk menjawab semua keganjalan yang muncul dalam riset ilmiah tersebut.


Demikian halnya dengan tek Ibânah. Buku ini di tulis pada awal tahun 300-an Hijriyah oleh Imam Abi Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Al-Asyari. Oleh sebab itu, keberadaan tek merupakan syarat ilmiah dari riset itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, segala sesuatu tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungannya. Seorang peneliti harus mengambil langkah cerdas dalam melakukan risetnya.


Dalam hal ini tidak hanya nisan, prasasti, artifak, sakrofagus atau lainnya yang terpengaruh oleh perjalanan sejarah manusia. Peninggalan seperti itu pastinya akan melewati masa panjang sejarahnya yang tidak terlepas dari pengaruh campur tangan manusia. Keadaan politik, ekonomi, sosial bahkan kolonialisme masa itu sangat mempengarui keberadaan peninggalan bersejarah.


Begitu juga dengan tek Ibânah. Tek itu tidak bisa terlepas dari campur tangan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Oleh sebab itu seperti yang sudah kita kemukakan di atas, tek itu pun terpengaruh dengan keberadaan politik, ekonomi, sosial bahkan kolonialisme.


Tek tersebut tersebar ke berbagai tempat dalam perjalanannya. Sebagai seorang peneliti sudah semestinya mengetahui secara pasti kebaradaan tek yang ingin dikaji. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil riset dari seorang peneliti benar-benar valid atau terselubung di dalamnya kebohongan untuk sebuah kepentingan.

Tek Ibânah yang masih berbentuk manuskrip, baik yang berupa autograf atau jenis lain merupakan kunci dari tingkat keilmiahan sebuah riset. Adapun manuskrip itu tersebar ke berbagai tempat yang berbeda. Secara historis merupakan hal yang sangat wajar ketika peninggalan bersejarah tersebar kemana-mana mengingat campur tangan manusia yang terus ikut andil dalam mempengarui segala sesuatu yang ada di dunia ini.


Adapun manuskrip dari kitab Ibânah tersebar ke berbagai tempat diantaranya adalah: Pertama, di Dâr Al-Kutb Al-Misriyah. Di sini tersimpan manuskrip kitab Ibânah halaman 1 sampai halaman 14 yang merupakan penjagaan tek dari Abi Qôsim Abdul Malik bin Isa bin Dirbâs. Kumpulan manuskrip ini menyebutkan secara jelas bahwa Imam As-Asy'ari merupakan madzhab salaf.


Di samping itu, Dâr Al-Kutb juga menyimpan manuskrip kitab Ibânah dari halaman 15 sampai halaman 154. Tercantum di manuskrip itu tanggal penulisan kitab. Adapun tanggal penulisan dari kitab itu adalah hari Sabtu bulan Dûl Hijah tahun 307 Hijriyah.


Analisa kritis tentunya menarik benang merah mengenai tersuratnya tanggal penulisan tek. Seperti halnya yang kita ketahui Imam Asy'ari hidup antara tahun 260 sampai 324 H sedangkan manuskrip kitab Ibânah yang terdapat di Dâr Al-Kutb bertuliskan 307 sebagai tahun penulisan. Konklusi dari fenomena ini berarti manuskrip Ibânah yang terdapat di Dâr Al-Kutb merupakn autograf atau merupakan tulisan asli dari Imam Asy'ari. Atau dengan kata lain dapat kita simpulkan mengenai keautentikan dari tek itu akan kebenaran maksud dari penulis tersendiri.


Kedua, di Dâr Al-Kutb Al-Misriyah. Manuskrip kitab Ibânah di sini merupkan tulisan dari Imam Abdul Malik bin Isa. Beliau menulis dari awal sampai akhir dari kitab Ibânah karya Imam Asy'ari. Tulisan itu dimulai dari nomer 1 samapai nomer 73 di sisi kanan dan kiri. Di samping itu, manuskrip itu dilengkapi dengan hari, bulan dan tahun penulisan. Adapun salinan karya Imam Asy'ari itu ditulis pada hari jum'at, tanggal 8 Robî'ul Awal, tahun 1310 H.


Dari sini tampak bahwa karya yang berupa salinan dari kitab Ibânah merupakan hasil tulis ulang dari Imam Abdul Malik bin Isa. Bentuk tulis ulang itu mencakup semua isi dari kitab Ibâna karya Imam Asy'ari. Bisa dikatakan karya tulis tulang itu, belum bisa kita sebut sebagai autograf karena hanya berupa salinan dari karya asli. Sebagai peneliti tentunya mengambil sumber bentuk salinan seperti itu, harusnya ditempatkan dalam tingkatan skunder.


Ketiga, di Al-Maktabah Al-Azhariyah. Manuskrip itu mencakup semua isi kita Ibânah. Ditulis dengan urut dari halaman 1 sampai halaman 95 sisi kanan dan kiri. Di samping itu, manuskrip di Al-Maktabah Al-Azhariyah dilengkapi dengan tanggal, bulan dan tahun penyalinan. Adapun tanggal penyalinan dari karya monumental itu pada 26 Safar, tahun 1308 H.


Seperti salinan kitab Ibânah karya Imam Abdul Malik bin Isa, manuskrip yang ada di Al-Maktabah Al-Azhariyah hanya merupakan salinan dan belum bisa kita sebut sebagai autograf juga. Dengan kata lain bisa kita katakan salinan itu bisa menjadi sumber tapi tetap dalam koridor skunder.


Keempat, di Al-Maktabah Al-Azhariyah. Manuskrip merupakan hasil tulis ulang yang tersusun secara urut dari nomer 1 sampai nomer 77 sisi kanan dan kiri. Salinan itu memuat semua isi dari kitab Ibânah karya Imam Asy'ari. Hari, tanggal, bulan dan tahun juga tersurat dalam manuskrip itu. Adapun hari penyalinan dari manuskrip itu adalah hari Ahad, tanggal 5 bulan Robî'ul Awal, tahun 1308 H.


Kelima, manuskrip Ibânah yang tersimpan di kotapraja Iskandaria. Bersamaan dengan tersimpannya semua manuskrip negara-negara arab. Posisi manuskrip kitab di bawah 78 di bawah kitab-kitab tauhid. Tentang tanggal, bulan dan tahun pembuatan tidak tersurat di manuskrip itu.


Kembali ke kitab Ibânah karya Imam Asy'ari tahkiq-kan Abu Amdû Muhammad bin Ali bin Raihân. Menurut penulis, dalam kitab itu terdapat beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan keautentikan dari tek Ibânah sendiri. Dalam kitab tersebut di lengkapi dengan copy-an manuskrip dari kitab Ibânah karya Imam Asy'ari. Pertanyaannya mengapa tidak semua copy-an dari manuskrip itu disertakan?


Apakah copy-an manuskrip itu hanya sebagai stimulus saja atau ada kepentingan lain yang terselubung? Kenapa kalau misalnya bisa untuk menggandakan atau mengcopymanuskrip tidak semuanya saja? Kenapa harus sebagian. Secara pribadi penulis pernah bertanya tentang manuskrip yang ada di perpustakaan Dâr Al-Kutb. Di sana terdapat film tulisan manuskrip dan LCD (liquid carbon display) yang bisa dipakai untuk membaca dan menggandakan manuskrip.


Atau kemungkinan kedua yaitu hanya sebagai stimulus untuk membaca kitab tersebut, atau lebih melihat pada asas ekonomis. Semakin banyak copy-an dari manuskrip maka akan semakin tebal kitab, ujungnya hargapun akan mempengarui.


III. Kilas Balik Sejarah Kitab Ibânah


Di dalam muqadimah kitab Al-Luma' fi al-Rad ala Ahli al-Zîg wal al-Bid'a Imam Asy'ari mengisyaratkan akan menghadirkan kitab Ibânah yang mengacu pada aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Seperti yang kita ketahui Imam Ahmad mengambil aqidah yang tawatir pada Rosulullah SAW. Beliau tetap mempertahankan kisi-kisi ajaran Rosulullah dalam memahami segala kesuatu yang berkaitan dengan katauhid-an.


Dimasa itu, paradigma tentang ketauhid-an sedikit demi sedikit bergeser dari ajaran Rosulullah. Pola pikir manusia yang dangkal menempati otoritas tertinggi dalam memahai aspek-aspek ketauhid-an. Ayat-ayat dalam kitab suci mereka tafsirkan secara harfiah tanpa melawati sebuah penelaahan secara mendalam.


Mereka membuat analog sederhana untuk memahami Allah SWT. Al-Qur'an menjelaskan bahwa menusia adalah mahluk yang paling sempurna. Dari sini mereka terus berupaya untuk menyederhanakan dalam memahami sang pencipta. Tuhan Yang Maha Esa mereka anggap seperti manusia dalam analog praktis komponen atau organ dari manusia merupakan inspirasi Tuhan dalam pencipataan manusia.


Mereka mengangkat beberapa contoh dalam ayat Al-Qur'an yang menguatkan argumen mereka. Lafal al-wajh dan al-yadâin mereka inteprestasikan seperti keadaan manusia. pemahaman seperti ini muncul pada golongan Mu'tazilah, Hurûriyah dan Jahmiyah.


Di samping itu seiring dengan kemunculan kitab Ibânah ternyata ada kitab al-Luma'.Di antara kaum muslimin sempat terjadi perdebatan panjang mengenai keberadaan dua kitab itu. Makdunâlid, Tarîtan dan kaum salafiyah mengatakan bahwa kitab Ibânah di tulis lebih akhir oleh Imam Asy'ari dari pada kitab al-Luma'.


Kelompok Makdunâlid dan kaum salaf berbeda dalam meneliti dua kitab tersebut. Dua kitab itu mereka katakan al-Luma' merupakan kitab tentang madzhab aqli sedangkan Ibânah menjelaskan tentang madzhab salaf. Di samping itu kelompok Makdunâlid mengatakan bahwa Imam Asy'ari meninggalkan madzhab Aqli dan mendukung pendapat Imam Hambal paska perjalanan beliau dari Bagdâd menjelang akhir hidupnya.


Pendapat lain mengatakan bahwa Imam Asy'ari dalam penulisan kitab Ibânah ada visi terselubung yaitu pembelaan terhadap Imam Ahmad bin Hambal. Tetapi pendapat ini mendapat reaksi keras dari para pemuka madzhab salaf. Mereka membalik dan memotong pendapat golongan ini dengan statemen; Imam Asy'ari memilih madzhab salaf karena beliau sudah mengetahui kebenaran dan kebathilan. Beliau berpindah dari madzhab Mu'tazilah ke madzhab Aqli. Karena beliau masih belum mendapat ketenangan hingga pada akhirnya beliau mengambil jalan final yaitu madzhab Salaf.


Dari fenomena di atas muncul salah satu pendapat yang mengatakan bahwa Imam Asy'ari adalah sosok muka dua. Tampak dari karya-karya beliau yang secara implisit bisa disimpulkan bahwa beliau adalah sosok seperti itu. Apalagi ketika beliau berpindah dari madzhab Mu'tazilah ke madzhab Aqli dan pindah lagi ke madzhab Salaf hingga pada akhirnya kelompok ini menarik benang merah bahwa Imam Asy'ari adalah seorang munafik.


Pendapat itu diambil dari tulisan Sheikh Al-Fadil Muhamad bin Abdur Rahman Al-Khomîs dalam muqodimah kitabnya I'tiqôd Ahli al-Sunah Syarah Ashâbil Hadist. Secara lebih jelas mereka mengatakan bahwa historis penulisan kitab Ibânah dan kitab al-Maqolah adalah upaya menyenangkan kelompok Hanabilah dan rasa takut Imam Asy'ari terhadap posisi dirinya.


Pendapat seperti di atas adalah sangat berbahaya. Pandangan yang sangat tidak layak dituduhkan kepada Imam Asy'ari. Tuduhan itu hanyalah fitnah yang berujung pada kepentingan golongan. Seperti yang kita ketahui bahwa Imam Asy'ari berpindah Aqidah karena jalan kebenaran yang sudah tampak di depennya. Belaiu sudah paham seiring dengan perjalanannya waktu antara mazdhab yang benar dan mazdhab yang salah. Golongan yang sangat terpukul atas perpindahan madzhab beliau hingga mengambil jalan fitnah.


Pendapat Abu Amdu mengatakan bahwa dua kitab imam Asy'ari; Al-Ibânah dan Al-Maqôlat merupakan karya beliau yang bersubstansi mazdhab salaf. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa sisi historis penulisan kitab itu adalah bentuk dukungan kepada Imam Ahmad. Seperti yang tersurat dalam kitab I'tiqôd Ahli al-Sunah Syarah Ashâbil Hadist adalah tidak benar.

Fakta sejarah menyebutkan secara jelas bahwa Imam Asy'ari sebenarnya pernah mengikuti jalan Ibni Kalâb Al-Basyri. Tapi yang perlu digaris bawai adalah beliau berpindah dari jalan ini ke jalan yang lain. Secara kronologis pada awalnya beliau menganut faham Mu'tazilah setelah itu mengikuti mazdhab Ibnu Kalâb setelah itu menetapkan hatinya untuk memilih aqidah salaf.

Beliau mengajak kepada kaum muslimin waktu itu untuk mengikuti ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dengan tetap berpedoman pada ajaran Al-Qur'an dan Al-Hadist.

Mengenai kitab Al-Ibânah adalah bentuk dari pilihan beliau untuk mengikuti ajaran Imam Ahmad bin Hambal. Beliau mengikutinya atas dasar kebenaran ajaran itu bukan karena pertimbangan takut akan kondisinya atau menarik simpatisan kaum muslimin atas beliau.

IV. Penjelasan Singkat Tentang Imam Asy'ari

Nama beliau Ali bin Ismail bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari. Beliau di lahirkan pada tahun 260 H bertepatan dengan tahun 839 M.

Biografi ini merupakan penjelasan dari Abu Qôsim Ali bin Hasan bin Hibatullah bin Asâkir Ad-Damsiqî dalam kitab Tabayinu Kadhib Al-Muftari fîmâ Nasaba ila Abi Hasan Al-Asy'ari dan Al-Khotib Al-Bagdadi dalam kitab Târih Bagdâd serta Ibnu Kholkan dalam kitabnya Wafiyat Al-A'yan.

Di samping itu penjelasan mengenai Imam Asy'ari dijelaskan juga oleh Al-Dahabî dalam kitabnya Târih Al-Islam, Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa An-Nihayah, Thobaqot As-Syafi'i, Tâju As-Subqi dalam kitabnya Thobaqot As-Syafi'iyah Al-Qubri, Ibnu Ibnu Farhub Al-Maliki dalam kitabnya Ad-Dibâz Al-Madzhab fi A'yan Ahlul Al-Madzhab, Murtadzî Az-Zabidhi dalam kitabnya Itihâf As-Sâdah Al-Mutaqîn bisarhi Asrôr Ihya' Ulumuddin serta Ibnu Imâd Al-Hambali dalam kitabnya Syadarak Ad-Dzahab fi A'yân min Dhahab.

Di jelaskan dari berbagai sumber bahwa Imam Asy'ari masuk di Bagdad untuk mempelajari Hadist. Beliau berguru kepada imam-imam besar yang sangat mumpuni dalam disiplin ilmu Hadist. Adapun guru beliau adalah Al-Hafidz Zakariyâ bin Yahya As-Sâji. Beliau adalah salah satu Imam Hadist dan Fiqh. Di samping itu Imam Asy'ari juga belajar kepada Abi Khôlifah Al-Jamhi, Sahal bin Sharah, Muhamad bin Ya'kub Al-Maqori dan Abdurrahman Bin Kholaf Al-Basriyyin.

Diriwayatkan dalam tafsirnya, tafsir Al-Muhtazan. Imam Asy'ari belajar ilmu kalam kepada gurunya Abi Ali Al-Jabâi. Beliau adalah imam basar Mu'tazilah.

Masa-masa beliau mempelajari ilmu Kalam beliau sangat aktif. Pertanyaan besar dan substansial sering terlitas dalam benaknya. Imam Asy'ari sering bertanya kepada guru-gurunya tentang ilmu Kalam. Ironinya para pengampu terkadang kesulitan dalam menjawab pertanyaannya bahkan sesekali ada yang kebingungan juga.

Di salah satu riwayat, pada suatu malam saat beliau mempunyai masalah beliau shalat dua rakaat. Setelah selesai dari shalatnya beliau tidak lupa untuk meminta petunjuk kepada Allah akan jalan yang lurus. Setelah itu beliau mimpi. Mimpi ini adalah mimpi yang sangat luar biasa beliau ketemu nabi Muhammad SAW. Dalam mimpinya Nabi muhammad SAW bersabda kepadanya, "Alaika Sunnati[2]"

Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Sabit[3] yang lebih dikenal dengan Khotib Bagdadi mengatakan, "Abu Hasan Al-Asy'ari adalah seorang mutakalim yang berpegang teguh pada Al-Qur'an. Beliau sering menulis yang membentah pendapat-pendapat kaum atheis, dan golongan lainnya seperti Mu'tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khowarij dan semua golongan yang mengandung bid'ah.[4]

Imam Asy'ari mengendalikan perbuatan dan bentuk keangkuhan Mu'tazilah. Mereka tidak akan menundukkan kepala hingga benar-benar melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Keangkuan yang sangat luar biasa hingga membuat Imam Asy'ari mengambil sikap.

Ibni Farhun dalam kitabnya Ad-Dhibân mengatakan Abu Muhammad bin Abi Zaid Al-Qoiruwani dan ulama' muslimin lain memuji atas Abi Hasan Al-Asy'ari. Ini menandakan bentuk simpatik kaum muslimin terhadap beliau. Entah dari sisi aqidah ataupun sisi lainnya pastinya beliau dalam jalan yang benar. Yaitu sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadist.

Dalam suatu riwayat Abu Imad Al-Hambali dalam kitabnya As-Syadharât pada juz dua halaman 303 mengatakan Abu Hasan Al-Asy'ari adalah Imam yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Beliau sangat tidak setuju dengan pandangan-pandangan kaum Mu'tazilah dan golongan Jahmiyah. Dari beberapa sumber beliau pernah berdebat dengan gurunya, Al-Jabâ'i.

Adapun debat mereka adalah sebagai mana yang dijelaskan oleh Ibnu Kholkan Abu Hasan Al-Asy'ari bertanya kepada gurunya tentang tiga hal. Yang pertama, tentang orang mu'min yang sholih. yang kedua, tentang orang kafir yang fasiq. Dan yang terakhir tentang anak kecil.

Pertanyaan beliau tentang tiga keadaan manusia. Imam Asy'ari bertanya mengenai keadaan dari masing-masing tiga manusia sebagaimana di atas kalau meninggal. Al-Jabâ'i menjawab pertanyaannya. Orang yang Zuhud maka dia berhak mendapat derajat di sisi Tuhannya. Sedangkan orang-orang kafir mereka akan mendapat tempat kembali yang sangat buruk. Adapaun mengenai keadaan anak kecil mereka adalah termasuk golongan yang selamat.

Imam Asy'ari balik bertanya lagi, apakah anak kecil yang meninggal akan memperoleh derajat seperti halnya derajat yang diperoleh golongan Zuhud. Al-Jabâ'i mengatakan Tidak ! !, karena sesungguhnya untuk mencapai derajat seperti halnya seorang Zuhud haruslah melakukan taat yang sangat luar biasa. Adapun dalam kontek ini seorang anak kecil yang meninggal belum pernah melalui perjalanan penjang ketaatan pada Allah SWT.

Imam Asy'ari mengatakan jawaban seperti itu masih belum sempurna. Secara logika mana mungkin anak kecil bisa melakukan ketaatan pada Allah SWT. Al-Jabâ'i mengatakan Tuhan Yang Maha Esa sangat mengetahui keadaan hambanya. Dia tau siapa dari golongan hambanya yang taat atau pembangkang. Para golongan yang taat senantiasa akan diberi ni'mat sementara para golongan yang membangkan atas perintah-Nya akan mendapat siksa.

Imam Asy'ari mengatakan ketika kakakku alimnya sealim diriku. Bagaimana dengan kasus seperti ini? Al-Jabani menjawabnya. Ibnu Imad berkata Allah SAW sudah menentukan siapa golongan yang akan mendapan ampunan dan golongan yang tidak mendapat ampunan.

Diriwayatkan oleh Tajudhin As-Subqi dalam kitabnya Thobaqot As-Syafi'iyah Al-khubri. Abu Hasan Al-Asy'ari adalah ulama' besar dari golongan Ahlus Sunnah setelah Imam Ahmad bin Hambal. Aqidahnya mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan beliau tentang aqidahnya; Aqidah saya adalah aqidah imam besar Ahmad bin Hambal. Di sisi lain beliau juga menjelaskan aqidahnya langsung lengan lisan.

Ibnu Asyâkir berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy'ari mengikuti Mazdhab Maliki. Oleh karennya bisa kita katakan bahwa Imam Asy'ari adalah golongan dari Ahlus Sunah.

Ibnu Furak berkata Abu Hasan Al-Asy'ari meninggal pada tahun 324 H.

V. Back to Aqidah Salaf

Dalam salah satu riwayat Al-Hafidz Mu'raj As-Syam abu Al-Qôsim Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah bin Asâkir Ad-Damsiqi[5] dalam kitabnya At-Tabayyin menatakan; Abu Bakar Ismail bin Abi Muhammad bin Ishak Al-Azadhi Al-Qîrawâni[6] berkata sesungguhnya pada awalnya Abu Hasan Al-Asy'ari adalah Mu'tazilah. Beliau mengikuti madzhab ini selama empat puluh tahun. Beliau adalah salah satu imam besar Mu'tazilah kala itu. Karena suatu hal akhirnya beliau mengurung diri di dalam rumahnya selama lima belas hari.

Setelah mengurung diri dalam rumah beliau pergi ke salah satu masjid yang ada di Basrah. Di sana beliau naik mimbar setelah shalat Jum'at.

Imam Asy'ari mengatakan, "Hai sekalian manusia, setelah saya melewati penyendirian selama lima belas hari, saya mendapat petunjuk akan sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah. Allah SWT telah memberi petunjuk kepadaku akan kebenaran itu. Dia menguruhku untuk kembali kepada kitab-Nya secara seutuhnya. Saya akan melepaskan madzhabku yang dulu seperti aku melepaskan pakaianku ini. Saya melepaskan pakain adalah sebuah ibarat akan madzhabku masa lalu. Saya akan kembali pada Al-Kitab dan Al-Hadist secara siklikat."

Refleksi dari kembalinya Imam Asy'ari pada madzhab yang haq. Dia akan menyertainya dengan pembuatan sebuat kitab. Beliau akan menyelesaikan tulisan kitab Al-Lumâ dan Ibânah, Ingsyaallah. Kitab itu bersubstansi mengenai pandangan ahli Hadist dan Figh dari ulama' Ahlus Sunnah.

Demikian juga Imam Asy'ari dalam mempengarui madzhab Mu'tazilah. Beliau memaparkan bahwa madzhab Mu'tazilah adalah bathil. Setelah mengetahui hal tersebut akhirnya dia istirahat dan melanjutkan pengembaraannya yang serupa dengan Harun bin Musa Al-A'yur.

Kisah dari Harun bi Musa Al-A'yur, pada awalnya beliau adalah golongan Yahudi kemudian masuk Islam. Setelah masuk Islam beliu menjadi muslim yang sangat taat. Bahkan dia menghafal Al-Qur'an dan menjaganya dengan sangat baik. Di samping itu beliau juga mempelajari disiplin ilmu Nahwu.

Para Imam Ahli Hadist sepakat bahwa Imam Asy'ari adalah salah satu dari Imam ahli Hadist. Madzhabnya madzhab ahli Hadist. Ketika perpendapat mengenai Usuliddiyanah beliau menggunakan jalan Ahlus Sunnah. Beliau sering mengkanter pendapat-pendapat Ahli Al-Zieq dan Ahli Al- Bid'ah.

Abu Bakar bin Furuq mengatakan bahwa Imam Abu Hasan Al-Asy'ari meninggalkan madzhab Mu'tazilah dan kembali ke madzhab Ahlu Sunnah pada tahun 300 H. Bertepatan dengan tahun 879 M.

Di dalam penjelasan yang lain, seperti dalam kitab Wa fiyat A'yân juz dua halaman 447 karangan Abu Abas Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholakan As-Syafi'i[7] tersurat bahwa pada awalnya Imam Hasan Al-Asy'ari menganut madzhab Mu'tazilah kemudian bertaubat.

Di samping itu dalam kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah karangan Imaduddin Abu Fada' Ismail bin Umar bin Katsir Al-Quraisy Ad-Damsiki[8] mengatakan bahwa; sesungguhnya Imam Asy'ari pada awalnya adalah mu'tazilah kebudian dia bertaubat. Deklarasi taubat beliau adalah di atas mimbar salah satu masjid di Basroh. Di samping itu beliau juga menjelaskan mengenai hal-hal yang mengganjal dalam ajaran Mu'tazilah.

Dalam salah satu riwayat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ad-Damsiki As-Syafi'i[9] dalam kitabnya Al-Ulû lil Alî Al-Ghôfar bahwa pada dasarnya Imam Asy'ari pada dasarnya adalah mu'tazilah mengikuti Abi Ali Al-Jabâ'i. Seiring dengan berjalannya waktu Imam Asy'ari berbalik menjadi oposisi madzhab Mu'tazilah bahkan sering mengeluarkan argumen balik terhadap kaum Mu'tazili. Ketelah itu beliau menjadi seorang mutakalim sunni. Dan senantiasa sependapat dengan imam-imam ahli Hadist yang lain.

Mengenai kembalinya Imam Asy'ari kepada madzhab haq. Tajuddin Abu An-Nasr abdul wahab bin Taqiyuddin As-Subki[10] dalam kitabnya Tobaqôt As-Syafi'i Al-Kubri juz dua halaman 246 mengatakan Abu Hasan Al-Asy'ari menganut madzhab Mu'tazilah selama empat puluh tahun. Kemudian menjadi imam besar madzhab Mu'tazilah. Kemudian beliau mengurung diriu di rumahnya. Hal ini seperti halnya yang dikatakan oleh Ibni Asâkir.

Di samping itu, Burhanuddin Ibrahim bin Ali bin Muhammad bin Farhûn Al-Yu'mari Al-Madanî Al-Maliki[11] dalam kitabnya Ad-Dhibâj Al-Madzhab fi Ma'rifati A'yân Ulama'u Madzhab halaman 193 bahwa Abu Hasan Al-Asy'ari pada awalnya adalah Mu'tazilah. Kemudian kembali kepada madzhab haq dan madzhab Ahlus Sunnah. Hal ini dikarenakan perjalanan spiritual panjang beliau. Salah satunya adalah mimpi bertemu rosulullah. Dalam mimpinya Rosulullah SAW memintanya untuk kembali kepada madzhab yang haq.

Penjelasan lain tentang Imam Asy'ari adalah seperti yang termaktub dalam kitab Itihâf As-Sâdah Al-Muttaqin bisarhi Asrôri Ihya' Ulumuddin juz dua halaman 3 karangan Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Hasîni Az-Zabîdzi[12] mengatakan bahwa; Abu Hasan Al-Asy'ari mengambil ilmu Kalam dari Abi Ali Al-Jabâ'i. Beliau adalah imam besar madzhab Mu'tazilah. Kemudian dalam salah satu malam Imam Asy'ari mimpi bertemu dengan beliau. Beliau mengatakan kepada Imam Asy'ari untuk kembali kepada madzhab Ahli Sunnah.

Beliau sangat menyesal dengan madzhab Mu'tazilah. Setelah beliau memahami bahwa madzhab yang selama ini beliau anut adalah bathil maka beliau senantiasa memberi kanter balik terhadap pendapat-pendapat madzhab mu'tazilah.

Ibnu Katsir mengatakan bahwa; Ada tiga hal yang berkaitan dengan Imam Abu Hasan Al-Asy'ari. Pertama, paradigma Mu'tazilah tidak pada substansi ajarannya. Kedua, menetabkan Sifat Akliyah yang tujuh diantaranya; Al-Hayâh, Al-Ilmi, Al-Qudrah, Al-Iradâh, As- Sami', Al-Basir, Al-Kâlam. Dan ta'wil Khobariyyah, seperti Al-Wajh, Al-Yadain, Al-Qodim, As-Sabiq dan lain sebagainya. Ketiga, menetapkan dari semua hal di atas tidak mengadopsi pada pendapat-pendapat mereka serta tidak menyerupakan sifat-sifat tadi dengan penyerupaan logika praktis.

VI. Penutup

Pengkajian secara mendalam adalah sangat dibutuhkan dalam mengetahui literatur keislaman. Pengkajian seperti ini pastinya tidak akan terlepas dari tulisan-tulisan cendekiwan muslim terdahulu.

Perjalanan kaji ulang terhadap literatur keislaman manjadikan bentuk tali komunikasi antara generasi zaman dulu dengan zaman sekarang. Maka dari itu menempati urutan yang sangat vital dalam pengkajian literatur keislaman demi tersambungnya tali komunikasi generasi mendatang.

Kitab Ibânah karya Imam Asy'ari adalah bukti sejarah tentang gejolak perjalanan usuluddiyanahpada abat ke tiga Hijriyyah. Dari sini pengkajian ulang terhadap literatur keislaman sangatlah penting, mengingat literatur itu adalah salah satu sumber dari beberap sumber lainnya.

Seperti yang penulis paparkan di atas, hanyalah secuil dari histori dan kaji ulang terhadap perjalanan madzhab Al-Asy'ari. Mungkin pengkajian lebih lengkapnya pada pertemuan mendatang, Ingsyaallah.

Pada akhirnya penulis minta ma'af atas segala benyuk kesalahan baik yang berupa ejaan atau substansial dari tulisan ini sendiri. Wallahua'lam []

* * *



[1] Disampaikan dalam diskusi SIT IKPM cabang mesir, tanggal 10 Agustus 2008

[2] Ikutilah Hadistku

[3] Meninggal pada tahun 463 H

[4] Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Sabit. Târih Al-Masyhur. Pada juz 16. Hal 347

[5] Meninggal pada tahun 571

[6] Beliau lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Azarah

[7] Beliau meninggal pada tahun 681 H

[8] Beliau meninggal pada tahun 774 H

[9] Beliau lebih dikenal dengan Ad-Dâhabi, meninggal pada tahun 748 H

[10] Beliau meninggal pada tahun 771 H

[11] Beliau meninggal pada tahun 799 H

[12] Beliau lebih dikenal dengan Murtadzi Al-Hanafi, meninggal pada tahun 1145 H

0 komentar:

Posting Komentar